Kamis, 02 Februari 2012

ARTIKEL DIALOG SEBAGAI KRITISISME BERAGAMA


 DIALOG SEBAGAI KRITISISME BERAGAMA
(Analisis Terhadap Kekerasan Atas Nama Agama)


Wira Hadi Kusuma
Jurusan Ushuluddin STAIN Bengkulu
Alamat : Jl. Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu


Abstrak
Tulisan ini menjelaskan tentang pentingnya melakukan dialog dalam upaya membangun relasi kedamian antar umat beragama dan intern umat beragama. Dialog yang dibangun selama ini cenderung simbolis dan ritualis, belum menyentuh pada substansi, sehingga belum menyentuh pada akar masalah yang sesungguhnya. Penulis berharap bahwa dialog yang dibangun atas dasar kesimbangan pemahaman secara utuh baik terhadap ajaran agama yang diyakininya maupun  ajaran agama orang lain. Hal ini harus dipahami oleh elit agama (tokoh agama) dan hendaknya disampaikan ke masyarakat akar rumput. Kritik ke dalam dan ke luar pada tahap berikutnya memerlukan  aksi dan prilaku nyata dari pemahaman itu, tentang pentingnya meyakini secara benar ajaran agamanya dan mengamalkannya, sekaligus memberikan kesempatan secara luas bagi orang lain meyakini ajaran agamanya dan mengamalknanya.

Kata Kunci : Dialog, Kritis, Agama.

A.      Pendahuluan
Konflik agama (religion conflict) merupakan sesuatu yang normal terjadi dalam masyarakat multi-agama (khususnya dalam masyarakat multi-kultural), di Indonesia misalnya. Salah satu faktor penyabab hal ini terjadi adalah human error dalam memahami teks-teks keagamaan, teks keagamaan ditafsirkan secara “serampangan” yang  tidak mempertimbangkan aspek sejarah (history), psikologi, sosial (social), budaya (culture), situasi-kondisi kapan dan dimana ia berada.[1]
Meletakkan agama sebagai salah satu varian potensi konflik adalah hal yang tidak mudah. Karena agama selalu diasosiasikan dengan ajaran yang penuh dengan nilai kedamaian dan keselamatan serta sacral. Sepanjang sejarah, agama mempunyai implikasi terhadap munculnya violence dan war.[2] fakta seringkali menunjukkan  bahwa agama dapat dan menjadi pemicu terjadinya kekerasan. Pemeluk agama menjadi doktrin agama sebagai main drive, primum mobile dan push factor kekerasan yang mereka lakukan.[3] 
Jangkauan tindak kekerasan atas nama agama dapat disaksikan pada hampir semua kawasan dunia (Israel vs Hamas-Paletina, misalnya sekarang sedang berlangsung). Konflik yang berkepanjangan atas nama agama memang sulit diselasaikan karena menurut Bhikhu Parekh karena agama yang dalam prakteknya bersifat absolutist, self-righteous, arrogant, dogmatic and impatient of compromise.[4]
Idealisme agama yang penuh damai dan toleransi serta cinta kasih, yang diajarkan dan terdapat dalam teks b suci agama-agama mengalami masalah berat, karena dalam realitasnya agama bersentuhan dengan discrimination, intolerant, attitude, prejudices, hatred, threat, fundamentalism, dan lain sebagainya hingga puncaknya bomb (terrorism, extremism, radicalism, hard liners).[5] Perbedaan antara idealisme dan realisme tersebut membutuhkan kerja keras semua manusia khususnya yang berakal (ilmuan) untuk mencari solusinya. Salah satu solusi yang sekarang sedang hangat diperbincangkan adalah dialogue (dialog).[6]
Wacana dan gerakan dialog antarumat beragama telah mengalami kemajuan yang signifikan. Tentu saja hal ini berangkat dari kesadaran bahwa pada dasarnya semua umat beragama (dalam hal ini manusia sebagai pelaku) sangat mendambakan perdamaian, kasih sayang, cinta kasih dan hidup bahagia bersama orang-orang yang dicintainya. Secara normatif hal itu telah menjadi ajaran semua agama yang termaktub dalam teks-teks b suci masing-masing. Demikian indah bayangan masing-masing pemeluk agama, sekiranya manusia mengamalkan ajaran agama secara benar, tidak hanya sebatas level agama simbolik, tetapi seharusnya telah mengarah pada level agama subyektif dan agama obyektif.[7] Walaupun memang ketiga level tersebut adalah sangat berkaitan, tetapi bila dalam pelaksaannya hanya berlaku salah satunya, maka di sinilah akan terjadi ketimpangan dan akan menjadi akar menuju konflik dan kekerasan. 

Dialog antar agama mulai digalakkan secara serius yaitu sejak konsili vatikan II dideklarasikan pada 1965,  dan untuk pertama kalinya dialog diadakan secara resmi di Beirut yang dihadiri oleh 28 orang utusan Kristen, 4 wakil Budha, 5 wakil hindu dan 5 orang dari Islam.[1] Dialog yang sedang digalakkan ini merupakan suatu cara untuk dapat saling memahami satu sama lainnya. Sehingga terwujud kerukunan, pembinaan toleransi, membudayakan keterbukaan, mengembangkan rasa saling menghargai, saling pengertian kerjasama dan sebagainya.
Fenomena di lapangan, bahwa dialog yang terjadi baru pada tataran “elit agama”, sehingga dialog yang dicanangkan hanya sebatas selogan dan pada tataran agamawan dan kelompok intelektual saja, belum menjadi dialog kultural. Seperti yang pernah penulis alami ketika mengikuti sebuah acara “dialog lintas agama” Nasional, dialog dilaksanakan justru menimbulkan konflik karena masih adanya unsur kecurigaan (suuzhan) satu sama lain. Kasusnya sangat sederhana, karena panitia pelaksana menyamaratakan jenis makanan yang dikonsumsi (kususnya daging) bagi  peserta dialog. Tentu bagi peserta  Hindu (agama) hal  ini dianggap palecehan   terhadap nilai agama mereka. Dari kisah sederhana tersebut tampak bahwa tingkat pemahaman agama seseorang masih pada level simbolik, penulis tidak bermaksud mencari siapa yang “benar dan salah”. Tetapi hal ini menunjukkan betapa urgennya pemahaman terhadap dialog ini bagi semua lapisan. Dalam dialog sangat ditekankan perinsip kejujuran dan keterbukaan. 
Dari uraian di atas, penulis ingin mengungkapkan beberapa faktor pemicu terjadinya konflik, dialog adalah jalan penguatan keagamaan dan tingkat keyakinan seseorang terhadap nilai-nilai ajaran keyakinan yang ia yakini. Ketika dialog telah menjadi suatu budaya, maka paling tidak kerukunan (perdamaian) antar umat manusia khususnya antar umat beragama dapat tercapai.

A.      Faktor Pemicu Konflik
Sebelum lebih jauh membahas masalah dialog, penulis akan memaparkan beberapa faktor atau hal-hal yang sangat sensitif terhadap munculnya konflik bagi masyarakat yang berbeda paham keagamaan atau aliran keagamaan. Berikut ini beberapa hal yang rentan menimbulkan konflik yaitu sebagai berikut:
 Pertama, Dogma (belief), perbedaan pandangan yang terjadi sangat sensitif dan rentan menimbulkan konflik, karena hal ini bersinggungan dengan dimensi emosional dan psikologis beragama. Sehingga kekerasan yang terjadi sering atas nama kebenaran, atau telah mendapat legitimasi tuhan (faith).[2] Karena perjuangan atas nama tuhan semua yang dianggap bertentangan dalah wajib diperangi atau dimusnakan.
Kedua, Ritual (performana cartain activities) yang mengangkut persoalan to be survivel for the fittest. Adalah warisan sejarah bahwa agama-agama dunia mempunyai tradisi, sehingga seringkali tradisi keagamaan turut menjastifikasi kekerasan, peperanagan atas nama tuhan.[3]  Perbedaan ritual ini tidak hanya antar umat beragama saja, internal umat beragama juga banyak terjadi, Syi`ah-Sunni misalnya (dalam Islam).
Ketiga, Text merupakan hal yang sensitif dan rawan mengundang konflik, karena teks tidak terlepas dari interpretasi manusia. Sehingga dalam interpretasi juga tidak terlepas dari interes terhadap sesuatu yang ingin ia capai dari pemahamannya. puncaknya mereka tidak mengakui keberadaan pemahaman ajaran yang lain.
Keempat, Pembentukan otoritas oleh tokoh-tokoh agama melalui ajaran keagamaan, sehingga melahirkan pengikut-pengikut yang fanatik. dengan kefanatikan seringkali menjelma kepada tindakan-tindakan radikal. pengkultusan terhadap seorang tokoh yang mereka kagumi adalah dampak yang lebih menyedihkan.
  Kelima, “telling stories” adalah hal yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya. secara histories peperangan yang terjadi memiliki interes yaitu nilai dan status yang diperjuangkan masyarakat. Karena warisan sejarah yang dianggap sakral, bagaimanapun cara dan dengan alat apapun eksisitensi warisan leluhur (agama) harus dipertahankan. 
Keenam, agama sebagai sumber “moralitas” menjadi titik yang cukup sensitif, karena moralitas adalah bagaian dari aktivitas sosial. Namun sangat disayangkan banyak masyarakat tidak mengindahkan aspek-aspek penting dan benar-benar ajaran agama dan setiap keyakinan dan ritus-ritus, sehingga sulit memahami ajaran esensi dari ajaran agama yang sesungguhnya agama.
 Ketujuh, Institusional (Instituational) agama, karena masing-masing institusi memiliki nilai yang akan diperjuangkan. Dalam prakteknya para pelaku kebijakan kurang peka  dalam memperhatikan aspek sosiologis, psikologis, historis dan social fact.  
Dari beberapa faktor pemicu konflik tersebut di atas, salah satu alat atau cara untuk mengatasi konflik bahkan sampai pada aksi kekerasan adalah dengan cara dialog. Memang dialog bukan satu-satunya solusi yang dapat menyelesaikan masalah ini, tetapi paling tidak seperti yang telah dijelaskan, dengan dialog dapat meminimalisasikan konflik-konflik yang bermpak pada aski kekeran atas nama agama atau pemahaman agama tersebut.

B.       Dialog Antaragama dan Permasalahannya
Secara etimologis kata dialog berasal dari bahasa Yunani “dia-logos”, yang berarti bicara antara dua pihak, atau “dwiwicara”. Lawannya adalah “monolog” yang berarti “bicara sendiri”. Arti yang sesungguhnya, dialog adalah percakapan dua orang atau lebih dalam di mana diadakan pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak.[4] Dialog juga dapat berarti tulisan dalam bentuk percakapan atau pembicaran, diskusi antar orang-orang atau pihak-pihak yang berbeda pandangan. Dialog dapat berupa karangan prosa atau puisi untuk menyatakan berbagai pandangan yang berbeda.[5]
Dalam konteks dialog antaragama adalah penyatuan hati dan pikiran antar pelbagai agama. Tetapi bukan suatu proses mengurangi loyalitas dan komitmen seseorang terhadap kebenaran keyakinan yang telah dipegang dan diyakininya selama ini, akan tetapi lebih menguatkan dan memperkaya keyakinan. Dialog yang di maksud adalah dialog dalam arti yang seluas-luasnya. Bisa dilakukan secara formal dalam ruangan tertentu dengan pemeluk agama tertentu pula. Bisa juga dilakukan secara alami yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan dimana pemeluk agama berada. Dialog bukan perdebatan. Dalam dialog setiap peserta dialog atau kawan harus mendengarkan kawan yang lainnya secara terbuka dan simpatik, serta penuh dengan kejujuran, sehingga masing-masing peserta dialog dapat secara benar memahami apa yang menjadi persoalan dialog.
Untuk lebih mengefektifkan dialog ini, Swidler[6] membuat aturan-aturan dasar dalam melakukan dialog (disebutnya sebagai ground rules). Aturan-aturan tersebut antara lain, pertama, tujuan dialog  adalah untuk belajar, dan dalam proses dialog bisa saja dapat mengubah persepsi tentang pemahaman peserta dialog. Kedua, Setiap partisipan dialog harus dilakukan dengan jujur, tulus dan ikhlas.[7] Dan sebaliknya sebagian partisipan harus berasumsi bahwa patner dialognya menjunjung asas kejujuran, ketulusan dan keikhlasan.
Ketiga, dalam dialog peserta dialog tidak boleh membandingkan pemikiran ideal  dengan pemikiran yang dikemukakan patner . Keempat, peserta dialog harus secara sadar bahwa ia hanya mendefenisiksn dirinya. Atau dengan kata lain peserta dialog harus bicara sesuai kapasitas keyakinan yang ia yakini. Orang Muslim misalnya, harus secara benar-benar membicarakan pada posisi itu. Kelima, dialog hanya dilakukan pada posisi yang sama. Artinya dialog dapat dilakukan hanya pada posisi penuh dengan persamaan. Keenam, dialog dilakukan atas dasar saling percaya.[8] Ketujuh, peserta dialog paling tidak dari dialog yang dilakukan dapat memberi kritik terhadap dirinya sendiri, agar ajaran keagamaan yang ia yakini dapat menambah dan memperkaya religiusitas pribadi. Kedelapan, peserta dialog hendaknya mencoba untuk mengalami agama atau ideologi patner dialognya “dari dalam”, sehingga tidak hanya pada pemahaman yang ada di kepala, tetapi juga spirit, hati dan semua kemanusiaan.
Bagi John Dunne yang terakhir ini disebut sebagai “passing over”. Metode ini bila dapat dijalankan dengan sungguh dapat mencapai apa yang didambakan semua manusia. Menurut Hans Kung bahwa dialog bukan hanya terhenti pada ko-eksistensi, melainkan juga pro-eksistensi.[9] Artinya dialog tidak  hanya mengantarkan sikap setiap agama untuk bereksistensi secara bersama-sama, melainkan juga mengakui dan mendukung, bukan berarti menyamakan eksistensi semua agama. Dialog semacam ini menuntut sikap terbuka dari pada defensif.
Agar dialog lebih efektif, peserta dialog harus memperhatikan beberapa kemungkinan rintangan dalam dialog dan diupayakn untuk dihindari. Sehingga  tujuan dialog tidak tercapai, menurut Said Agil Husin Al Munawar[10] beberapa rintangan yang harus diatasi oleh peserta dialog, antara lain :
1.    Rintangan bahasa. Sebuah kata yang sama ucapannya dapat menimbulkan pengertian yang berbeda bagi orang lain. Sehingga pembicaran tidak searah yang menimbulkan salah paham. Seperti kata “bapa”, adalah hal biasa dalam sehari-hari dijumpai, tetapi kata ini bila dikaitkan dalam suasana dialog yang tidak pada posisinya akan menimbulkan kesalahpahaman. Di sini sangat dituntut kehati-hatian masing peserta dialog.
2.    Gambaran tentang orang lain yang keliru. Biasanya hal ini didomoinasi oleh sifat kurang baik yang memperoleh informasi dari kelompok yang tidak lengkap. Misalnya seorang Muslim yang memiliki gambaran tentang orang Kristen yang sadis dan sebaliknya.
3.    Nafsu membela diri. Dalam dialogi nafsu untuk menang dan membelah diri harus dijauhkan dan tidak memiliki tempat. Walaupun pada dasarnya rasa itu adalah wujud manusia sebagai makhluk yang lemah.
Uraian di atas, menjelaskan bahwa dialog yang dilakukan secara proporsional dapat menjadi jalan menuju kerukunan baik intern maupun ektern. Sejak perang dunia kedua ada dua  kecendrungan agama-agama besar dunia, yaitu ekumenisme (pendekatan ke dalam) dan kosultasi (kerukunan keluar).[11] Karena pada dasarnya semua ajaran agama mengajar tentang hidup rukun. Kata rukun  berasal dari bahasa Arab ruknun yang berarti tiang, dasar dan sila. Atau dalam bentuk jamak “arkaan”; artinya suatu bangunana sederhana yang terdiri atas bebagai unsur. Dan dapat ditarik kesimpulan bahwa rukun adalah merupakan satu kesatuan yang terdiri dari berbagai unsur yang berlainan dan setiap unsur tersebut saling menguatkan.[12]
Dalam konteks kerukunan antar agama,  seharusnya manusia satu sama lain saling menguatkan dengan manusia yang lainnya. Justru dengan perbedaan yang ada menambah khasanah keilmuan dan saling menguatkan keyakinan yang telah dianutnya. Bukan berarti menafikan keyakinan yang telah menjadi aqidahnya. Sejalan dengan  hal ini, maka dialog adalah salah satu jalan menuju kerukunan. Dialog yang dapat dilakukan selain dialog teologis intlektual pada tataran tertentu, juga dialog kultural. Dialog dapat diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Masyarakat agama harus melatih diri dalam perbedaan.


C.      Dialog Sebagai Kritisisme Beragama
Berbagai peristiwa keagamaan yang belakangan terjadi, seperti penutupan secara paksa atas sejumlah gereja  oleh kelompok agama tertentu, dan pelarangan pendirian masjid dan penggunaan aksesoris agama di tempat tertentu, merupakan tanda yang sangat eksplisit, betapa kehidupan keberagamaan sedang dirundung masalah. Kondisi bangsa ini, terutama menyangkut hubungan antar agama, benar-benar dalam kondisi sakit. Dalam situasi demikian, pendewasaan kehidupan beragama dengan mengedepankan kejujuran dan semangat saling menghargai merupakan kata kunci. Dengan semangat kejujuran itu, problem perjumpaan dan dialog menjadi hal yang sangat penting. Penulis pernah mengikuti dialog antar-agama ketika penulis diundang tokoh-tokoh agama lokal di Bengkulu yang mewakili kelompok pemuda Muslim. Dalam forum tersebut tokoh-tokoh agama akan diajak berdiskusi tentang berbagai hal menyangkut kehidupan umat beragama di wilayah tersebut.
Di tengah-tengah istirahat, tiba-tiba seorang ustadz mendekat dan berbisik kepada penulis. Dengan jujur, dia mengatakan, "Mas, seumur-umur baru sekarang saya duduk satu meja dengan orang Kristen". Cerita ini menunjukkan, perjumpaan antar tokoh-tokoh agama di daerah merupakan problem serius. Jarangnya perjumpaan di antara mereka karena berbagai alasan, tidak jarang problem kehidupan di antara mereka hanya menjadi bisikan dan prasangka belaka. Adanya forum-forum lintas agama tingkat lokal yang diprakarsai oleh simpul-simpul masyarakat sipil sangat bermakna untuk mencairkan kebekuan dan kecanggungan di antara tokoh-tokoh agama.
Menurut penulis, problem dialog agama sebenarnya lebih terletak pada "lapisan menengah", dari pada elite atau masyarakat lapisan bawah. Lapisan menengah yang penulis maksud adalah lapisan agamawan yang senantiasa mengomunikasikan pesan-pesan keagamaan secara langsung kepada masyarakat, seperti khatib dan da'i dalam lingkungan Islam. Kelompok inilah sebenarnya yang menentukan karakter keagamaan masyarakat. Kabar kebencian agama biasanya dimunculkan oleh lapisan ini. Sedangkan lapisan elite biasanya sudah lebih cair hubungan-hubungan di antara mereka.
Menurut Hans Kung,[13] seorang teolog Katolik yang dipecat secara yuridis setelah missio canonica (hak resmi dari Vatikan) untuk mengajar doktrin Gereja Katolik dicabut karena apa yang diajarkan dinilai tidak sesuai lagi dengan semangat ajaran Katolik, dialog agama akan mempunyai makna jika di dalamnya terkandung tiga aspek.
Pertama, hanya jika seseorang memahami kepercayaan, nilai-nilai, ritus, dan simbol-simbol orang lain atau sesama , maka  dapat memahami orang lain secara sungguh-sungguh. Kedua, hanya jika seseorang memahami kepercayaan orang lain,  dapat memahami iman  sendiri secara sungguh-sungguh: kekuatan dan kelemahan, segi-segi yang konstan dan yang berubah. Ketiga, hanya jika seseorang berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka  dapat menemukan dasar yang sama -meskipun ada perbedaannya-untuk menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara damai.
Dengan memperhatikan proposisi Hans Kung tersebut, dialog tidak hanya berhenti pada ko-eksistensi, tapi juga pro-eksistensi; tidak hanya membiarkan orang lain ada yang terkenal dengan istilah toleransi, tetapi juga ikut mengadakannya secara aktif serta menumbuhkan sikap empati dan simpatik kepada "orang lain". Dialog ini memang memerlukan sikap terbuka dari pada defensif, semangat mau belajar satu atas yang lain dari pada merasa dirinya sudah cukup (self sufficient), perasaan rendah hati dari pada perasaan merasa dirinya selalu benar, dan seterusnya.
1.    Melihat Perbedaan
            
Ada satu adagium yang sering  dengar dalam forum-forum dialog antar agama, bahwa yang perlu dicari dalam dialog adalah persamaan-persamaan dari pada perbedaan-perbedaan. Dengan ditemukannya titik temu persamaan, orang yang berbeda agama akan bisa bekerja sama tanpa disibukkan dengan perbedaan-perbedaan. Pernyataan demikian seolah masuk akal dan menarik. Namun jika ditelusuri agak mendalam, pernyataan demikian sebenarnya menyimpan problem yang justru menjadi ganjalan kerja sama.
Ada beberapa asumsi di balik pernyataan tersebut. Pertama, ada asumsi bahwa perbedaan merupakan ancaman yang harus dijauhi. Perbedaan hanya akan memunculkan laknat dari pada rahmat, sehingga harus disingkirkan, setidaknya "pura-pura" tidak tahu. Kedua, orang yang berbeda dan tahu akan perbedaannya itu dianggap tidak bisa kerja sama, sehingga perbedaan harus dilipat dan disimpan. Sedangkan yang perlu diangkat ke permukaan adalah persamaan, karena inilah yang bisa dijadikan basis untuk kerja sama.
Ideologi dialog agama seperti ini, menurut penulis, sangat berbahaya karena menyimpan api dalam sekam. Dialog demikian seolah-olah memang ingin menyelesaikan masalah meskipun sebenarnya bukan memecahkan masalah, tapi sekadar lari dari masalah. Padahal titik akhir dari dialog, menurut penulis, bukan selalu mencari persamaan tapi adanya kesadaran posisi orang lain dan diri sendiri. Setiap orang, secara naluriah, pasti akan lebih siap hidup dalam persamaan daripada dalam perbedaan. Oleh karena itu, yang perlu didialogkan adalah perbedaan, bukan persamaan. Mengapa? Karena yang menjadi masalah dalam kehidupan beragama adalah karena "perbedaan" bukan "persamaan".
Oleh karena itu, kalau persamaan yang selalu didialogkan, maka akan tahshîl al-hâshil (menghasilkan sesuatu yang sebenarnya sudah berhasil).[14] Namun, harus ditegaskan bahwa perbedaan didialogkan bukan sekedar mencari persamaan, namun yang lebih penting dari itu adalah menyadari dan memahami perbedaan sebagaimana apa adanya seraya memahami posisi masing-masing. Menyadari posisi masing-masing bukan berarti sekadar "pembiaran" adanya "yang lain", tapi juga "pengakuan" dan "penghargaan. Pengakuan dan penghargaan sebenarnya menuntut orang untuk kritis, bukan saja terhadap "orang lain", tetapi juga untuk dirinya sendiri.
2.      Perlunya Kritis  Berimbang
Kritis terhadap orang lain dan diri sendiri ini harus dilakukan secara berimbang. Orang yang terlalu berat pada kritis terhadap orang lain tanpa diimbangi kritis pada diri sendiri akan cenderung menjadikan orang bersikap ofensif dan menutup diri. Sedangkan sikap sebaliknya, terlalu berat kritis pada diri sendiri dan tidak kritis terhadap yang lain akan menjadikan seseorang  terjatuh pada sikap naif karena menjadikan seseorang tidak yakin pada identitasnya sendiri.
Dengan melakukan perimbangan antara kritis kepada (agama) orang lain dan diri sendiri, akan memunculkan sikap bahwa tidak ada yang perlu dibela mati-matian, dan tidak ada yang perlu dibenci habis-habisan. Hal ini memang bukan perkara mudah, karena kritis kepada diri sendiri mengandaikan sikap terbuka dalam melihat sejarah dan doktrin agamanya. Sedangkan kritis terhadap orang lain mengandaikan sikap proporsional dalam melihat "orang lain" yang diikuti dengan ketulusan dan kejujuran.
Dengan demikian, menempatkan dialog sebagai fungsi kritis tidak terlepas dari sikap untuk mencari kebenaran secara terus menerus. Kebenaran bukanlah sesuatu yang, dalam istilah Hans Kung, "ready made". Kebenaran bukanlah barang-barang yang dijejer di super market yang bisa dipilih dan diambil di saat  membutuhkannya. Kebenaran menampakkan dirinya dalam hidup, sejarah, dan relasi dengan orang lain, dalam pergulatan hidup yang dinamis dengan segala ambiguitasnya. Kebenaran tidak identik dengan doktrin dan tradisi.[15] Dalam kerangka itulah, kritik wacana agama seperti ditawarkan Nasr Hamid Abu Zaid menjadi penting untuk dipertimbangkan. Dialog tanpa disertai kesediaan untuk melakukan kritik diri tidak akan ada gunanya. Dalam kaitan ini, kritik wacana agama menyediakan perangkat untuk melakukan kritisisme tersebut.
D.    Kesimpulan
Dialog yang diharapkan menjadi solusi tindak kekerasan dan sikap buruk sangka serta berpandangan sempit, yang menganggap bahwa keyakinan yang ia miliki hanya satu-satunya berhak subur dan berkembang. Sehingga memunculkan sikap apatis dan bahkan mengarah pada tidak kekersan (violence) atau bahkan memunculkan peperangan (war). Tentu saja pelaku dialog baik dialog kultural (seperti dialog kehidupan) maupun dialog teologi intelektual, hendaknya mengikuti aturan-aturan dan batas-batas tertentu seperti yang telah dijelaskan dari beberapa uraian di atas.. Sehingga sikap saling pengertian, toleransi dan saling menghargai dapat menjadi kebutuhan dan menjadi sikap hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mencapai makna dialog yang ideal (masyarakat damai dalam kemajemukannya), masyarakat agama (hal ini dipelopori oleh tokoh-tokoh agama) harus memiliki dan memahami agamanya masing-masing tidak hanya sebatas  agama simbolik, tetapi telah mengarahkan dirinya untuk sampai pada agama obyektif dan subyektif. Dengan demikian, diharapkan dialog dapat dimaknai secara seimbang yaitu antara melakukan pemahaman terhadap ajaran agama yang berbeda  dan dialog juga dapat dijadikan wadah untuk mengkritik diri sendiri terhadap keyakinan yang diyakininya.





DAFTAR  PUSTAKA
Abdullah, Amin. “Religious Violence: Its Origin, Growth and Spread,” Kuliah Umum pada Prodi Agama dan Filsafat tentang  Filsafat Agama dan Resolusi Konflik  di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2010.
Ali, A. Mukti. 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta : Rajawali Pers.

Al Munawar, Said Agil Husin. 2005. Fikih Hubungan AntarAgama, Jakarta : Ciputat Press.

Carter, Judy dan Gordon S. Smith. 2004. Religious Peacebulding: From Potential to Action, within Harold Coward nad Gordon S. Smith (Eds), Religion and Peace Building, Albany: State University on New York Press.

Daya, Burhanuddin. 2004. Agama Dialogis Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antar Agama, Yogyakarta : LKiS.

Handoko, Imam Priyo. “Upaya Menjadikan Dunia Lebih Indah,” Kompas, Rabu 15 Februari 2006.

http//www.pdf-research.”Dialog Antaragama”. Diakses pada tanggal  9 Oktober 2010

Mas`ud, Masdar Farid. 1993. Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Nafis, Muhammad Wahyuni. 2001. Passing Over Melintas Batas Agama, Jakarta : PT. SUN.

Nottingham, Elizabeth K. 2002. Religion and Society, terj. Abdul Muis Naharong, Agama dan Masyarakat, Jakarta: Rajawali Press.

Oliver Mcternan. 2003. Violence in Gods Name Religion in an Age of conflict, London: Darton, Longman and and Todd.

Parekh, Bhikhu.  2001. Politics, Religion & Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory Cambridge, Massachutts: Harvard University Press.

Sunardi, St. 1993.  Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


[1] Burhanuddin Daya, Agama Dialogis, hlm. 24.
[2] Elizabeth K. Nottingham, Religion  and  Society, terj. Abdul Muis Naharong,  Agama dan Masyarakat  (Jakarta: Rajawali Press, 2002), hlm. 21.
[3] Oliver Mcternan, Violence in Gods Name Religion in an Age of Conflict  (London: Darton, Longman and Todd, 2003), hlm. 45.
[4] Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan AntarAgama (Jakarta : Ciputat Press, 2005, cet. III), hlm. 41.
[5] Burhanuddin  Daya, Agama Dialogis., hlm. 20.
[6] Muhammad Wahyuni Nafis, Passing Over Melintas Batas Agama (Jakarta : PT. SUN, 2001, cet. III), hlm. 96-97.  
[7] Menurut Istilah Reuel L. Howe, peserta dialog harus memiliki pribadi yang “utuh”, dengan kata lain peserta dialog harus terbebaskan dari sikap memberikan penjelasan yang setengah-setengah, ia hadir dengan seluruh pribadi dan memeliki perhatian yang sungguh-sungguh terhadap patner dialog. Dan ditambahkannya bahwa peserta dialog harus disiplin. Artinya, peserta dialog harus secara konsekuen mematuhi tata tertib dialogi. Lihat dalam Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan AntarAgama (Jakarta : Ciputat Press, 2005, cet. III), hlm. 42-43.
[8] Dalam perinsip psikolgis dialog sejati hendaknya didasari oleh (1) keterbukaan pihak lain, (2) kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan kepada pihak lain, (3) saling percaya bahawa kedua bela pihak memberikan informasi yang benar dan caranya sendiri. Lihat, Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan AntarAgama (Jakarta : Ciputat Press, 2005, cet. III), hlm. 41.
[9] Lihat dalam tulisan St. Sunardi, Dialog cara baru beragama, yang dikumpulkan dalam  Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1993, cet. I), hlm. 76-77.
[10] Al Munawar, Fikih Hubungan AntarAgama.,  hlm. 42-43.
[11] Ekuminisme adalah suatu gerakan yang berusaha mendekatkan berbagai macam aliran dalam suatu agama kedalam satu wadah (persatuan kedalam). Ekuminisme yang digunakan oleh Gereja-gereja untuk hubungan kedalam (antar pemeluk agama Kristen). Sedangkan dialog digunakan Greja untuk menjalin hubungan keluar. Lihat, A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta : Rajawali Pers, 1987, cet. I, edisi. I), hlm. 363.
[12] Al Munawar, Fikih Hubungan AntarAgama,  hlm. 4. Dalam pengertian sehari-hari kata  rukun dan kerukunan  adalah damai dan perdamaian.
[13] Sunardi,  Dialog Cara Baru Beragama., hlm. 76.
[14] http//www.”Dialog antaragama”. Di akses pada tanggal  9 Oktober 2010
[15] St Sunardi, dalam Dialog Kritik dan Identitas Agama., hlm. 78.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar