DIALOG SEBAGAI KRITISISME BERAGAMA
(Analisis
Terhadap Kekerasan Atas Nama Agama)
Wira Hadi Kusuma
Jurusan Ushuluddin
STAIN Bengkulu
Alamat : Jl. Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu
Email : wirahadikusumakusuma@yahoo.com
Abstrak
Tulisan ini menjelaskan tentang pentingnya
melakukan dialog dalam upaya membangun relasi kedamian antar umat beragama dan
intern umat beragama. Dialog yang dibangun selama ini cenderung simbolis dan
ritualis, belum menyentuh pada substansi, sehingga belum menyentuh pada akar
masalah yang sesungguhnya. Penulis berharap bahwa dialog yang dibangun atas
dasar kesimbangan pemahaman secara utuh baik terhadap ajaran agama yang
diyakininya maupun ajaran agama orang
lain. Hal ini harus dipahami oleh elit agama (tokoh agama) dan hendaknya
disampaikan ke masyarakat akar rumput. Kritik ke dalam dan ke luar pada tahap
berikutnya memerlukan aksi dan prilaku
nyata dari pemahaman itu, tentang pentingnya meyakini secara benar ajaran
agamanya dan mengamalkannya, sekaligus memberikan kesempatan secara luas bagi
orang lain meyakini ajaran agamanya dan mengamalknanya.
Kata Kunci : Dialog, Kritis, Agama.
A.
Pendahuluan
Konflik agama (religion conflict) merupakan
sesuatu yang normal terjadi dalam masyarakat multi-agama (khususnya dalam
masyarakat multi-kultural), di Indonesia misalnya. Salah satu faktor penyabab
hal ini terjadi adalah human error dalam memahami teks-teks keagamaan,
teks keagamaan ditafsirkan secara “serampangan” yang tidak mempertimbangkan aspek sejarah (history),
psikologi, sosial (social), budaya (culture), situasi-kondisi
kapan dan dimana ia berada.[1]
Meletakkan agama sebagai
salah satu varian potensi konflik adalah hal yang tidak mudah. Karena agama
selalu diasosiasikan dengan ajaran yang penuh dengan nilai kedamaian dan
keselamatan serta sacral. Sepanjang sejarah, agama mempunyai implikasi terhadap
munculnya violence dan war.[2] fakta seringkali
menunjukkan bahwa agama dapat dan
menjadi pemicu terjadinya kekerasan. Pemeluk agama menjadi doktrin agama
sebagai main drive, primum mobile dan push factor kekerasan yang
mereka lakukan.[3]
Jangkauan tindak
kekerasan atas nama agama dapat disaksikan pada hampir semua kawasan dunia (Israel
vs Hamas-Paletina, misalnya sekarang sedang berlangsung). Konflik yang
berkepanjangan atas nama agama memang sulit diselasaikan karena menurut Bhikhu
Parekh karena agama yang dalam prakteknya bersifat absolutist,
self-righteous, arrogant, dogmatic and impatient of compromise.[4]
Idealisme agama yang penuh damai dan
toleransi serta cinta kasih, yang diajarkan dan terdapat dalam teks b suci
agama-agama mengalami masalah berat, karena dalam realitasnya agama bersentuhan
dengan discrimination, intolerant, attitude, prejudices, hatred, threat,
fundamentalism, dan lain sebagainya hingga puncaknya bomb (terrorism, extremism,
radicalism, hard liners).[5] Perbedaan
antara idealisme dan realisme tersebut membutuhkan kerja keras semua manusia
khususnya yang berakal (ilmuan) untuk mencari solusinya. Salah satu solusi yang
sekarang sedang hangat diperbincangkan adalah dialogue (dialog).[6]
Wacana dan gerakan dialog antarumat
beragama telah mengalami kemajuan yang signifikan. Tentu saja hal ini berangkat
dari kesadaran bahwa pada dasarnya semua umat beragama (dalam hal ini manusia
sebagai pelaku) sangat mendambakan perdamaian, kasih sayang, cinta kasih dan
hidup bahagia bersama orang-orang yang dicintainya. Secara normatif hal itu
telah menjadi ajaran semua agama yang termaktub dalam teks-teks b suci
masing-masing. Demikian indah bayangan masing-masing pemeluk agama, sekiranya
manusia mengamalkan ajaran agama secara benar, tidak hanya sebatas level agama
simbolik, tetapi seharusnya telah mengarah pada level agama subyektif dan agama
obyektif.[7] Walaupun
memang ketiga level tersebut adalah sangat berkaitan, tetapi bila dalam
pelaksaannya hanya berlaku salah satunya, maka di sinilah akan terjadi
ketimpangan dan akan menjadi akar menuju konflik dan kekerasan.
Dialog antar agama mulai digalakkan
secara serius yaitu sejak konsili vatikan II dideklarasikan pada 1965, dan untuk pertama kalinya dialog diadakan
secara resmi
di Beirut yang dihadiri oleh 28 orang utusan Kristen, 4 wakil Budha, 5 wakil
hindu dan 5 orang dari Islam.[1] Dialog
yang sedang digalakkan ini merupakan suatu cara untuk dapat saling memahami
satu sama lainnya. Sehingga terwujud kerukunan, pembinaan toleransi,
membudayakan keterbukaan, mengembangkan rasa saling menghargai, saling
pengertian kerjasama dan sebagainya.
Fenomena di lapangan, bahwa dialog
yang terjadi baru pada tataran “elit agama”, sehingga dialog yang dicanangkan
hanya sebatas selogan dan pada tataran agamawan dan kelompok intelektual saja,
belum menjadi dialog kultural. Seperti yang pernah penulis alami ketika mengikuti
sebuah acara “dialog lintas agama” Nasional, dialog dilaksanakan justru menimbulkan
konflik karena masih adanya unsur kecurigaan (suuzhan) satu sama lain. Kasusnya sangat sederhana, karena panitia
pelaksana menyamaratakan jenis makanan yang dikonsumsi (kususnya daging) bagi peserta dialog. Tentu bagi peserta Hindu (agama) hal ini dianggap palecehan terhadap
nilai agama mereka. Dari kisah sederhana tersebut tampak bahwa tingkat
pemahaman agama seseorang masih pada level simbolik, penulis tidak bermaksud
mencari siapa yang “benar dan salah”. Tetapi hal ini menunjukkan betapa
urgennya pemahaman terhadap dialog ini bagi semua lapisan. Dalam dialog sangat
ditekankan perinsip kejujuran dan keterbukaan.
Dari uraian di atas, penulis ingin
mengungkapkan beberapa faktor pemicu terjadinya konflik, dialog adalah jalan
penguatan keagamaan dan tingkat keyakinan seseorang terhadap nilai-nilai ajaran
keyakinan yang ia yakini. Ketika dialog telah menjadi suatu budaya, maka paling
tidak kerukunan (perdamaian) antar umat manusia khususnya antar umat beragama
dapat tercapai.
A.
Faktor Pemicu Konflik
Sebelum lebih jauh membahas masalah dialog, penulis akan memaparkan
beberapa faktor atau hal-hal yang sangat sensitif terhadap munculnya konflik bagi
masyarakat yang berbeda paham keagamaan atau aliran keagamaan. Berikut ini beberapa hal
yang rentan menimbulkan konflik yaitu sebagai berikut:
Pertama, Dogma (belief), perbedaan pandangan yang terjadi
sangat sensitif dan rentan menimbulkan konflik, karena hal ini bersinggungan
dengan dimensi emosional dan psikologis beragama. Sehingga kekerasan yang
terjadi sering atas nama kebenaran, atau telah mendapat legitimasi tuhan (faith).[2] Karena perjuangan atas nama tuhan semua yang dianggap
bertentangan dalah wajib diperangi atau dimusnakan.
Kedua, Ritual (performana cartain activities) yang
mengangkut persoalan to be survivel for the fittest. Adalah warisan
sejarah bahwa agama-agama dunia mempunyai tradisi, sehingga seringkali tradisi
keagamaan turut menjastifikasi kekerasan, peperanagan atas nama tuhan.[3] Perbedaan ritual ini tidak hanya antar umat
beragama saja, internal umat beragama juga banyak terjadi, Syi`ah-Sunni
misalnya (dalam Islam).
Ketiga, Text merupakan hal yang sensitif dan rawan mengundang
konflik, karena teks tidak terlepas dari interpretasi manusia. Sehingga dalam
interpretasi juga tidak terlepas dari interes terhadap sesuatu yang ingin ia
capai dari pemahamannya. puncaknya mereka tidak mengakui keberadaan pemahaman
ajaran yang lain.
Keempat, Pembentukan otoritas oleh tokoh-tokoh agama
melalui ajaran keagamaan, sehingga melahirkan pengikut-pengikut yang fanatik.
dengan kefanatikan seringkali menjelma kepada tindakan-tindakan radikal. pengkultusan terhadap seorang tokoh yang mereka
kagumi adalah dampak yang lebih menyedihkan.
Kelima, “telling stories” adalah hal
yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya. secara histories
peperangan yang terjadi memiliki interes yaitu nilai dan status yang
diperjuangkan masyarakat. Karena warisan sejarah yang dianggap sakral,
bagaimanapun cara dan dengan alat apapun eksisitensi warisan leluhur (agama)
harus dipertahankan.
Keenam, agama sebagai sumber “moralitas” menjadi titik
yang cukup sensitif, karena moralitas adalah bagaian dari aktivitas sosial.
Namun sangat disayangkan banyak masyarakat tidak mengindahkan
aspek-aspek penting dan benar-benar ajaran agama dan setiap keyakinan dan
ritus-ritus, sehingga sulit memahami ajaran esensi dari ajaran agama yang
sesungguhnya agama.
Ketujuh, Institusional (Instituational)
agama, karena masing-masing institusi memiliki nilai yang akan diperjuangkan. Dalam prakteknya para pelaku
kebijakan kurang peka dalam memperhatikan
aspek sosiologis, psikologis, historis dan social fact.
Dari beberapa faktor pemicu konflik
tersebut di atas, salah satu alat atau cara untuk mengatasi konflik bahkan sampai pada aksi kekerasan adalah dengan cara dialog. Memang dialog bukan satu-satunya solusi yang dapat
menyelesaikan masalah ini, tetapi paling tidak seperti yang telah dijelaskan,
dengan dialog dapat meminimalisasikan konflik-konflik yang bermpak pada aski kekeran atas nama agama atau pemahaman
agama tersebut.
B.
Dialog Antaragama dan Permasalahannya
Secara etimologis kata dialog berasal dari
bahasa Yunani “dia-logos”, yang berarti
bicara antara dua pihak, atau “dwiwicara”.
Lawannya adalah “monolog” yang berarti “bicara sendiri”. Arti yang
sesungguhnya, dialog adalah percakapan dua orang atau lebih dalam di mana diadakan
pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak.[4] Dialog
juga dapat berarti tulisan dalam bentuk percakapan atau pembicaran, diskusi
antar orang-orang atau pihak-pihak yang berbeda pandangan. Dialog dapat berupa
karangan prosa atau puisi untuk menyatakan berbagai pandangan yang berbeda.[5]
Dalam konteks dialog antaragama adalah
penyatuan hati dan pikiran antar pelbagai agama. Tetapi bukan suatu proses
mengurangi loyalitas dan komitmen seseorang terhadap kebenaran keyakinan yang
telah dipegang dan diyakininya selama ini, akan tetapi lebih menguatkan dan
memperkaya keyakinan. Dialog yang di maksud adalah dialog dalam arti yang
seluas-luasnya. Bisa dilakukan secara formal dalam ruangan tertentu dengan
pemeluk agama tertentu pula. Bisa juga dilakukan secara alami yang terwujud
dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan dimana pemeluk agama berada. Dialog
bukan perdebatan. Dalam dialog setiap peserta dialog atau kawan harus
mendengarkan kawan yang lainnya secara terbuka dan simpatik, serta penuh dengan
kejujuran, sehingga masing-masing peserta dialog dapat secara benar memahami
apa yang menjadi persoalan dialog.
Untuk lebih mengefektifkan dialog ini,
Swidler[6] membuat
aturan-aturan dasar dalam melakukan dialog (disebutnya sebagai ground rules). Aturan-aturan tersebut
antara lain, pertama, tujuan dialog adalah untuk belajar, dan dalam proses dialog
bisa saja dapat mengubah persepsi tentang pemahaman peserta dialog. Kedua, Setiap partisipan dialog harus
dilakukan dengan jujur, tulus dan ikhlas.[7] Dan
sebaliknya sebagian partisipan harus berasumsi bahwa patner dialognya
menjunjung asas kejujuran, ketulusan dan keikhlasan.
Ketiga, dalam dialog peserta dialog tidak boleh membandingkan pemikiran
ideal dengan pemikiran yang dikemukakan
patner . Keempat, peserta dialog
harus secara sadar bahwa ia hanya mendefenisiksn dirinya. Atau dengan kata lain
peserta dialog harus bicara sesuai kapasitas keyakinan yang ia yakini. Orang
Muslim misalnya, harus secara benar-benar membicarakan pada posisi itu. Kelima, dialog hanya dilakukan pada
posisi yang sama. Artinya dialog dapat dilakukan hanya pada posisi penuh dengan
persamaan. Keenam, dialog dilakukan
atas dasar saling percaya.[8] Ketujuh, peserta dialog paling tidak
dari dialog yang dilakukan dapat memberi kritik terhadap dirinya sendiri, agar
ajaran keagamaan yang ia yakini dapat menambah dan memperkaya religiusitas
pribadi. Kedelapan, peserta dialog
hendaknya mencoba untuk mengalami agama atau ideologi patner dialognya “dari
dalam”, sehingga tidak hanya pada pemahaman yang ada di kepala, tetapi juga spirit, hati dan semua
kemanusiaan.
Bagi John Dunne yang terakhir
ini disebut sebagai “passing over”. Metode ini bila dapat dijalankan dengan sungguh
dapat mencapai apa yang didambakan semua manusia. Menurut Hans Kung bahwa
dialog bukan hanya terhenti pada ko-eksistensi, melainkan juga pro-eksistensi.[9] Artinya
dialog tidak hanya mengantarkan sikap
setiap agama untuk bereksistensi secara bersama-sama, melainkan juga mengakui
dan mendukung, bukan berarti menyamakan eksistensi semua agama. Dialog semacam
ini menuntut sikap terbuka dari pada defensif.
Agar dialog lebih efektif, peserta dialog
harus memperhatikan beberapa kemungkinan rintangan dalam dialog dan diupayakn
untuk dihindari. Sehingga tujuan dialog
tidak tercapai, menurut Said Agil Husin Al Munawar[10]
beberapa rintangan yang harus diatasi oleh peserta dialog, antara lain :
1.
Rintangan bahasa.
Sebuah kata yang sama ucapannya dapat menimbulkan pengertian yang berbeda bagi
orang lain.
Sehingga pembicaran tidak searah yang menimbulkan salah paham. Seperti kata
“bapa”, adalah hal biasa dalam sehari-hari dijumpai, tetapi kata ini bila dikaitkan dalam
suasana dialog yang tidak pada posisinya akan menimbulkan kesalahpahaman. Di sini sangat dituntut
kehati-hatian masing peserta dialog.
2.
Gambaran tentang
orang lain yang keliru. Biasanya hal ini didomoinasi oleh sifat kurang baik
yang memperoleh informasi dari kelompok yang tidak lengkap. Misalnya seorang
Muslim yang memiliki gambaran tentang orang Kristen yang sadis dan sebaliknya.
3.
Nafsu membela
diri. Dalam dialogi nafsu untuk menang dan membelah diri harus dijauhkan dan
tidak memiliki
tempat. Walaupun pada dasarnya rasa itu adalah wujud manusia sebagai makhluk
yang lemah.
Uraian di atas, menjelaskan bahwa dialog
yang dilakukan secara proporsional dapat menjadi jalan menuju kerukunan baik
intern maupun ektern. Sejak perang dunia kedua ada dua kecendrungan agama-agama besar dunia, yaitu ekumenisme (pendekatan ke dalam) dan kosultasi (kerukunan keluar).[11] Karena
pada dasarnya semua ajaran agama mengajar tentang hidup rukun. Kata rukun berasal dari bahasa Arab ruknun yang berarti tiang, dasar dan sila. Atau dalam bentuk jamak “arkaan”; artinya suatu bangunana
sederhana yang terdiri atas bebagai unsur. Dan dapat ditarik kesimpulan bahwa
rukun adalah merupakan satu kesatuan yang terdiri dari berbagai unsur yang berlainan
dan setiap unsur tersebut saling menguatkan.[12]
Dalam konteks kerukunan antar agama, seharusnya manusia satu sama lain saling
menguatkan dengan manusia yang lainnya. Justru dengan perbedaan yang ada
menambah khasanah keilmuan dan saling menguatkan keyakinan yang telah
dianutnya. Bukan berarti menafikan keyakinan yang telah menjadi aqidahnya. Sejalan
dengan hal ini, maka dialog adalah salah
satu jalan menuju kerukunan. Dialog yang dapat dilakukan selain dialog teologis
intlektual pada tataran tertentu, juga dialog kultural. Dialog dapat
diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Masyarakat agama
harus melatih diri dalam perbedaan.
C.
Dialog Sebagai Kritisisme Beragama
Berbagai peristiwa keagamaan yang belakangan
terjadi, seperti penutupan secara paksa atas sejumlah gereja oleh kelompok agama tertentu, dan pelarangan
pendirian masjid dan penggunaan aksesoris agama di tempat tertentu, merupakan tanda
yang sangat eksplisit, betapa kehidupan keberagamaan sedang dirundung masalah.
Kondisi bangsa ini, terutama menyangkut hubungan antar agama, benar-benar dalam
kondisi sakit. Dalam situasi demikian, pendewasaan kehidupan beragama dengan
mengedepankan kejujuran dan semangat saling menghargai merupakan kata kunci.
Dengan semangat kejujuran itu, problem perjumpaan dan dialog menjadi hal yang
sangat penting. Penulis pernah mengikuti dialog antar-agama ketika penulis diundang
tokoh-tokoh agama lokal di Bengkulu yang mewakili kelompok pemuda Muslim. Dalam
forum tersebut tokoh-tokoh agama akan diajak berdiskusi tentang berbagai hal
menyangkut kehidupan umat beragama di wilayah tersebut.
Di tengah-tengah istirahat, tiba-tiba
seorang ustadz mendekat dan berbisik kepada penulis. Dengan jujur, dia
mengatakan, "Mas, seumur-umur baru sekarang saya duduk satu meja dengan
orang Kristen". Cerita ini menunjukkan, perjumpaan antar tokoh-tokoh
agama di daerah merupakan problem serius. Jarangnya perjumpaan di antara mereka
karena berbagai alasan, tidak jarang problem kehidupan di antara mereka hanya
menjadi bisikan dan prasangka belaka. Adanya forum-forum lintas agama tingkat lokal yang diprakarsai
oleh simpul-simpul masyarakat sipil sangat bermakna untuk mencairkan kebekuan
dan kecanggungan di antara tokoh-tokoh agama.
Menurut penulis, problem dialog agama
sebenarnya lebih terletak pada "lapisan menengah", dari pada elite
atau masyarakat lapisan bawah. Lapisan menengah yang penulis maksud adalah
lapisan agamawan yang senantiasa mengomunikasikan pesan-pesan keagamaan secara
langsung kepada masyarakat, seperti khatib dan da'i dalam lingkungan Islam.
Kelompok inilah sebenarnya yang menentukan karakter keagamaan masyarakat. Kabar
kebencian agama biasanya dimunculkan oleh lapisan ini. Sedangkan lapisan elite
biasanya sudah lebih cair hubungan-hubungan di antara mereka.
Menurut Hans Kung,[13] seorang
teolog Katolik yang dipecat secara yuridis setelah missio canonica (hak
resmi dari Vatikan) untuk mengajar doktrin Gereja Katolik dicabut karena apa
yang diajarkan dinilai tidak sesuai lagi dengan semangat ajaran Katolik, dialog
agama akan mempunyai makna jika di dalamnya terkandung tiga aspek.
Pertama, hanya
jika seseorang memahami kepercayaan, nilai-nilai, ritus, dan simbol-simbol orang
lain atau sesama , maka dapat memahami
orang lain secara sungguh-sungguh. Kedua, hanya jika seseorang memahami
kepercayaan orang lain, dapat memahami
iman sendiri secara sungguh-sungguh:
kekuatan dan kelemahan, segi-segi yang konstan dan yang berubah. Ketiga, hanya
jika seseorang berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka dapat menemukan dasar yang sama -meskipun ada
perbedaannya-untuk menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara
damai.
Dengan memperhatikan proposisi Hans Kung
tersebut, dialog tidak hanya berhenti pada ko-eksistensi, tapi juga
pro-eksistensi; tidak hanya membiarkan orang lain ada yang terkenal dengan
istilah toleransi, tetapi juga ikut mengadakannya secara aktif serta
menumbuhkan sikap empati dan simpatik kepada "orang lain". Dialog ini
memang memerlukan sikap terbuka dari pada defensif, semangat mau belajar satu
atas yang lain dari pada merasa dirinya sudah cukup (self sufficient), perasaan
rendah hati dari pada perasaan merasa dirinya selalu benar, dan seterusnya.
1. Melihat Perbedaan
Ada satu adagium yang sering dengar dalam forum-forum dialog antar agama, bahwa yang perlu dicari dalam dialog adalah persamaan-persamaan dari pada perbedaan-perbedaan. Dengan ditemukannya titik temu persamaan, orang yang berbeda agama akan bisa bekerja sama tanpa disibukkan dengan perbedaan-perbedaan. Pernyataan demikian seolah masuk akal dan menarik. Namun jika ditelusuri agak mendalam, pernyataan demikian sebenarnya menyimpan problem yang justru menjadi ganjalan kerja sama.
Ada satu adagium yang sering dengar dalam forum-forum dialog antar agama, bahwa yang perlu dicari dalam dialog adalah persamaan-persamaan dari pada perbedaan-perbedaan. Dengan ditemukannya titik temu persamaan, orang yang berbeda agama akan bisa bekerja sama tanpa disibukkan dengan perbedaan-perbedaan. Pernyataan demikian seolah masuk akal dan menarik. Namun jika ditelusuri agak mendalam, pernyataan demikian sebenarnya menyimpan problem yang justru menjadi ganjalan kerja sama.
Ada beberapa asumsi di balik pernyataan tersebut. Pertama, ada
asumsi bahwa perbedaan merupakan ancaman yang harus dijauhi. Perbedaan hanya
akan memunculkan laknat dari pada rahmat, sehingga harus disingkirkan,
setidaknya "pura-pura" tidak tahu. Kedua, orang yang berbeda
dan tahu akan perbedaannya itu dianggap tidak bisa kerja sama, sehingga
perbedaan harus dilipat dan disimpan. Sedangkan yang perlu diangkat ke
permukaan adalah persamaan, karena inilah yang bisa dijadikan basis untuk kerja
sama.
Ideologi dialog agama seperti ini, menurut penulis, sangat berbahaya
karena menyimpan api dalam sekam. Dialog demikian seolah-olah memang ingin
menyelesaikan masalah meskipun sebenarnya bukan memecahkan masalah, tapi
sekadar lari dari masalah. Padahal titik akhir dari dialog, menurut penulis,
bukan selalu mencari persamaan tapi adanya kesadaran posisi orang lain dan diri
sendiri. Setiap orang, secara naluriah, pasti akan lebih siap hidup dalam
persamaan daripada dalam perbedaan. Oleh karena itu, yang perlu didialogkan
adalah perbedaan, bukan persamaan. Mengapa? Karena yang menjadi masalah dalam
kehidupan beragama adalah karena "perbedaan" bukan
"persamaan".
Oleh karena itu, kalau persamaan yang selalu
didialogkan, maka akan tahshîl al-hâshil (menghasilkan sesuatu yang
sebenarnya sudah berhasil).[14] Namun,
harus ditegaskan bahwa perbedaan didialogkan bukan sekedar mencari persamaan,
namun yang lebih penting dari itu adalah menyadari dan memahami perbedaan
sebagaimana apa adanya seraya memahami posisi masing-masing. Menyadari posisi
masing-masing bukan berarti sekadar "pembiaran" adanya "yang
lain", tapi juga "pengakuan" dan "penghargaan. Pengakuan dan
penghargaan sebenarnya menuntut orang untuk kritis, bukan saja terhadap
"orang lain", tetapi juga untuk dirinya sendiri.
2. Perlunya Kritis Berimbang
Kritis terhadap orang lain dan diri sendiri
ini harus dilakukan secara berimbang. Orang yang terlalu berat pada kritis
terhadap orang lain tanpa diimbangi kritis pada diri sendiri akan cenderung
menjadikan orang bersikap ofensif dan menutup diri. Sedangkan sikap sebaliknya,
terlalu berat kritis pada diri sendiri dan tidak kritis terhadap yang lain akan
menjadikan seseorang terjatuh pada sikap naif
karena menjadikan seseorang tidak yakin pada identitasnya sendiri.
Dengan melakukan perimbangan antara kritis
kepada (agama) orang lain dan diri sendiri, akan memunculkan sikap bahwa tidak
ada yang perlu dibela mati-matian, dan tidak ada yang perlu dibenci
habis-habisan. Hal ini memang bukan perkara mudah, karena kritis kepada diri
sendiri mengandaikan sikap terbuka dalam melihat sejarah dan doktrin agamanya.
Sedangkan kritis terhadap orang lain mengandaikan sikap proporsional dalam
melihat "orang lain" yang diikuti dengan ketulusan dan kejujuran.
Dengan demikian, menempatkan dialog sebagai
fungsi kritis tidak terlepas dari sikap untuk mencari kebenaran secara terus
menerus. Kebenaran bukanlah sesuatu yang, dalam istilah Hans Kung, "ready
made". Kebenaran bukanlah barang-barang yang dijejer di super
market yang bisa dipilih dan diambil di saat membutuhkannya. Kebenaran menampakkan dirinya
dalam hidup, sejarah, dan relasi dengan orang lain, dalam pergulatan hidup yang
dinamis dengan segala ambiguitasnya. Kebenaran tidak identik dengan doktrin dan
tradisi.[15]
Dalam kerangka itulah, kritik wacana agama seperti ditawarkan Nasr Hamid Abu
Zaid menjadi penting untuk dipertimbangkan. Dialog tanpa disertai kesediaan
untuk melakukan kritik diri tidak akan ada gunanya. Dalam kaitan ini, kritik
wacana agama menyediakan perangkat untuk melakukan kritisisme tersebut.
D. Kesimpulan
Dialog yang diharapkan
menjadi solusi tindak kekerasan dan sikap buruk sangka serta berpandangan
sempit, yang menganggap bahwa keyakinan yang ia miliki hanya satu-satunya
berhak subur dan berkembang. Sehingga memunculkan sikap apatis dan bahkan
mengarah pada tidak kekersan (violence) atau
bahkan memunculkan peperangan (war). Tentu
saja pelaku dialog baik dialog kultural (seperti dialog kehidupan) maupun
dialog teologi intelektual, hendaknya mengikuti aturan-aturan dan batas-batas
tertentu seperti yang telah dijelaskan dari beberapa uraian di atas.. Sehingga
sikap saling pengertian, toleransi dan saling menghargai dapat menjadi
kebutuhan dan menjadi sikap hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mencapai makna dialog
yang ideal (masyarakat damai dalam kemajemukannya), masyarakat agama (hal ini
dipelopori oleh tokoh-tokoh agama) harus memiliki dan memahami agamanya
masing-masing tidak hanya sebatas agama simbolik,
tetapi telah mengarahkan dirinya untuk sampai pada agama obyektif dan
subyektif. Dengan demikian, diharapkan dialog dapat dimaknai secara seimbang
yaitu antara melakukan pemahaman terhadap ajaran agama yang berbeda dan dialog juga dapat dijadikan wadah untuk
mengkritik diri sendiri terhadap keyakinan yang diyakininya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. “Religious Violence: Its
Origin, Growth and Spread,” Kuliah
Umum pada Prodi Agama dan Filsafat tentang Filsafat Agama dan Resolusi Konflik di
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2010.
Ali,
A. Mukti. 1987. Beberapa Persoalan Agama
Dewasa Ini, Jakarta : Rajawali Pers.
Al
Munawar, Said Agil Husin. 2005. Fikih Hubungan AntarAgama, Jakarta : Ciputat Press.
Carter, Judy dan Gordon S. Smith. 2004. Religious
Peacebulding: From Potential to Action, within Harold Coward nad Gordon S.
Smith (Eds), Religion and Peace Building, Albany: State
University on New York Press.
Daya,
Burhanuddin. 2004. Agama Dialogis Merenda
Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antar Agama, Yogyakarta : LKiS.
Handoko, Imam
Priyo. “Upaya Menjadikan Dunia Lebih Indah,” Kompas, Rabu 15 Februari
2006.
http//www.pdf-research.”Dialog Antaragama”. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2010
Mas`ud,
Masdar Farid. 1993. Dialog: Kritik dan
Identitas Agama. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Nafis,
Muhammad Wahyuni. 2001. Passing Over
Melintas Batas Agama, Jakarta : PT. SUN.
Nottingham, Elizabeth K. 2002. Religion
and Society, terj. Abdul Muis Naharong, Agama dan Masyarakat, Jakarta:
Rajawali Press.
Oliver
Mcternan. 2003. Violence in Gods Name
Religion in an Age of conflict, London: Darton, Longman and and
Todd.
Parekh, Bhikhu. 2001. Politics,
Religion & Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity
and Political Theory Cambridge,
Massachutts: Harvard University Press.
Sunardi,
St. 1993.
Dialog: Kritik dan Identitas
Agama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
[2] Elizabeth K. Nottingham, Religion and Society, terj. Abdul Muis Naharong, Agama dan Masyarakat (Jakarta: Rajawali
Press, 2002), hlm. 21.
[3] Oliver Mcternan, Violence in Gods Name Religion in an Age of Conflict (London: Darton,
Longman and Todd, 2003), hlm. 45.
[4] Said Agil Husin Al Munawar, Fikih
Hubungan AntarAgama (Jakarta : Ciputat Press, 2005, cet. III), hlm. 41.
[5] Burhanuddin Daya, Agama Dialogis., hlm. 20.
[6] Muhammad Wahyuni Nafis, Passing
Over Melintas Batas Agama (Jakarta : PT. SUN, 2001, cet. III), hlm. 96-97.
[7] Menurut Istilah Reuel L. Howe, peserta dialog harus memiliki
pribadi yang “utuh”, dengan kata lain peserta dialog harus terbebaskan dari
sikap memberikan penjelasan yang setengah-setengah, ia hadir dengan seluruh
pribadi dan memeliki perhatian yang sungguh-sungguh terhadap patner dialog. Dan
ditambahkannya bahwa peserta dialog harus disiplin. Artinya, peserta dialog
harus secara konsekuen mematuhi tata tertib dialogi. Lihat dalam Said Agil Husin Al
Munawar, Fikih Hubungan AntarAgama (Jakarta
: Ciputat Press, 2005, cet. III), hlm. 42-43.
[8] Dalam perinsip psikolgis dialog sejati hendaknya didasari oleh (1)
keterbukaan pihak lain, (2) kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan kepada
pihak lain, (3) saling percaya bahawa kedua bela pihak memberikan informasi
yang benar dan caranya sendiri. Lihat, Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan AntarAgama (Jakarta : Ciputat Press, 2005, cet. III),
hlm. 41.
[9] Lihat dalam tulisan St. Sunardi, Dialog cara baru beragama, yang dikumpulkan dalam Dialog:
Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1993, cet. I),
hlm. 76-77.
[11] Ekuminisme adalah suatu gerakan yang berusaha mendekatkan berbagai
macam aliran dalam suatu agama kedalam satu wadah (persatuan kedalam).
Ekuminisme yang digunakan oleh Gereja-gereja untuk hubungan kedalam (antar
pemeluk agama Kristen). Sedangkan dialog digunakan Greja untuk menjalin
hubungan keluar. Lihat, A. Mukti Ali, Beberapa
Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta : Rajawali Pers, 1987, cet. I, edisi.
I), hlm. 363.
[12] Al Munawar, Fikih Hubungan
AntarAgama, hlm. 4. Dalam pengertian
sehari-hari kata rukun dan
kerukunan adalah damai dan perdamaian.
[15] St Sunardi, dalam Dialog Kritik dan Identitas Agama., hlm. 78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar