PENELITIAN
AGAMA DI INDONESIA
A.
Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya seluruh rakyat
Indonesia (bahkan pada hakikatnya seluruh manusia) secara fitrah mempunyai
potensi untuk percaya kepada Sang Khaliq, dan karenanya agama yang mengajarkan
dan memberikan konsepsi tentang Ketuhanan secara jelas dengan semua
konsekuensinya, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bangsa
Indonesia.
Kehidupan beragama haruslah semakin
dikembangkan dan diamalkan seirama dengan peningkatan dan pengembangan pembangunan,
baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial kemasyarakatan, terutama
demi terbinanya kerukunan hidup antar umat beragama dan antara umat beragama
dengan pemerintah.
Agama adalah wahyu yang
diturunkan Tuhan untuk manusia. Wahyu diturunkan oleh Tuhan ini masih besifat
abstrak, sehingga untuk memahaminya diperlukan pengkajian yang mendalam. Ibarat
sebuah kemasasan, wahyu dapat diibaratkan sebagai bungkusnya dan kita baru
mengenal pada bungkus itu, sedangkan isi yang sesungguhnya adalah apa yang
terkandung di dalam bungkus itu. Untuk mengetahui isi bungkus itu tentunya
harus membuka dan melihat isi yang ada dalam bungkus tersebut. Agama dapat
memberikan seseorang orientasi, motivasi, dan membantu manusia untuk mengenal
dan menghayati sesuatu yang sakral.
Mukti Ali dalam tulisannya berjudul Penelitian
Agama di Indonesia dalam Sumardi (1982:28) menyatakan bahwa penelitian
agama tidak bermaksud memperkembangkan teori-teori baru tentang agama, umat dan
sebagainya. Tetapi ingin melukiskan salah satu kelompok sosial dan
gejala-gejala dalam masyarakat dan gejala-gejala dalam masyarakat agama.
Biasanya suatu kelompok serta persoalan-persoalannya diberikan perhatian.
Sebagai latar belakang tidak dipakainya satu visi sosiologis saja, tetapi
diambil beberapa konsep dan paham dari pelbagai ilmu sosial.
Sebenarnya masih banyak
persoalan mendasar yang harus digarap dalam penelitian agama. Tetapi
sebagai latar belakang persoalan pokok untuk kita sekarang ialah : sejauh mana
ilmu-ilmu sosial dapat membantu untuk membentuk penelitian agama semacam ini? Sejauh mana sudah ada
pendekatan-pendekatan dan metode-metode yang dapat diterapkan dalam lapangan
agama.
Harus kita akui
bersama bahwa pengetahuan tentang agama Islam di Indonesia tidak mengalami
perkembangan yang berarti dibanding dengan perubahan-perubahan yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat bangsa kita, yang menyangkut baik sistem budaya
maupun sistem sosial. Dengan penelitian keagamaan itu diharapkan akan diketahui
bagaimana perwujudan sosial dan kultural agama Islam, juga agama-agama lain
dalam masyarakat Indonesia yang bermacam-macam itu, dan sejauh mana kebudayaan
setempat ikut mewarnai perwujudan sosial dan kultural agama Islam tersebut, dan
agama-agama lain di Indonesia.
Mattulada
menyatakan dalam tulisannya yang berjudul Penelitian Berbagai Aspek
Keagamaan dan Kehidupan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia dalam
Sumardi (1982:54), setuju dengan keterangan Prof. Dr. K.H. Mukti Ali
bahwa penelitian agama belum mendapatkan tempat yang sewajarnya dalam dunia
ilmu pengetahuan, juga di Indonesia ini. Orang belum mengetahui caranya, kalau
ia harus meneliti agama itu. Ahli-ahli pengetahuan sosial dalam meneliti agama
ini, lebih banyak menekankan pada aspek-aspek sosialnya dan melihat agama
sebagai suatu yang timbul dari pergaulan sesama manusia. Cara seperti itu
banyak dipergunakan oleh ahli sosiologi atau ahli antropologi sosial dalam
meneliti agama itu. Sudah barang tentu pendekatan yang demikian itu tidak akan
memperoleh pengertian yang tepat tentang agama.
Untuk menunjang
pelaksanaan usaha-usaha itu diperlukan penelitian agama dan keagamaan dalam
berbagai aspeknya untuk mendapatkan data-data otentik guna untuk
dijadikan bahan penyusunan konsepsi-konsepsi pengembangan dan
pembinaan, serta penyusunan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang keagamaan.
Mulyanto Sumardi
menyatakan pada buku berjudul Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran
(1982:1) bahwa sejak Badan Penelitian dan Pengembangan Agama dibentuk pada
tahun 1975, salah satu diantara sekian topik yang muncul adalah masalah
“metodologi penelitian agama”. Serangkaian pertemuan telah diselenggarakan oleh
Badan Litbang Agama untuk membicarakan persoalan ini, dan hasilnya adalah para
ahli mempunyai dua pendapat yang berbeda untuk memecahkan masalah tersebut. Pertama,
menyatakan bahwa perlu dibangun suatu metodologi penelitian agama yang khas,
sekalipun hal ini harus mengambil unsur-unsur dari disiplin-disiplin
terdekat. Hal tersebut perlu
dilakukan karena:
- Mereka menganggap bahwa metode-metode yang selama ini digunakan dalam penelitian agama seringkali kurang tepat sehingga tidak mampu menerangkan secara jelas apa sebenarnya makna di belakang fakta-fakta keagamaan tersebut.
- Dilandasi oleh adanya pendapat sementara ahli, khususnya non-Barat, yang menganggap bahwa dalam penelitian agama mungkin sudah waktunya dipikirkan adanya pendekatan yang “bukan Barat” seridak-tidaknya dalam masalah konsep yang dipergunakan.
Usaha ke arah itu lebih lanjut
pernah dicoba para peserta Program Studi Purna Sarjana (SPS) (sekarang
Pascasarjana) dosen-dosen IAIN, tahun 1975, di Yogyakarta. Dengan mempelajari
sejumlah kepustakaan tentang metode penelitian, mereka mencoba menyusun suatu
naskah yang diberi judul “Metode Penelitian Agama”. Sejauh mana hasil rangkuman
ini bisa dinilai sebagai suatu metode penelitian agama yang khas dengan segala
otonominya, barangkali perlu ditinjau lebih dalam. Namun sepintas saja, siapa
pun yang menelaah naskah itu akan memperoleh kesan bahwa bagian-bagian dari
isinya mencerminkan “kutipan” dari sejumlah kepustakaan teertentu, tanpa adanya
usaha membangun pemikiran-pemikiran ke arah spesifikasi yang dibutuhkan.
Kedua, mereka yang berpandangan bahwa dalam penelitian agama
tidak perlu membangun metode baru. Sebagaimana yang telah berjalan selama ini,
para ahli bisa melakukan penelitian agama dengan cara memanfaatkan pengetahuan
serta metode dari berbagai disiplin (interdisipliner atau multidisipliner),
khususnya dari dua disiplin terdekat, yakni ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan
budaya. Sekalipun dalam hal ini sudah barang tentu diperlakukan adanya
persiapan-persiapan khusus, sesuai dengan keanekaragaman serta
spesifikasi obyek penelitian yang dihadapi. Seorang antropolog sudah tentu
tidak usah meninggalkan disiplin dan metodenya, sekiranya ia meneliti religi
kelompok etnis tertentu. Begitulah bagi para peneliti dari disiplin dari
disiplin yang lain, mereka tetap akan melihat gejala keagamaan sesuai dengan
sudut dan konsep disiplinnya masing-masing. Walaupun mereka memiliki suatu
disiplin, namun itu tidak berarti mereka harus terpaku dalam disiplin itu
sendiri, sebab bagaimanapun juga untuk persoalan keagamaan yang gejalanya khas itu,
para peneliti dituntut untuk memiliki kepekaan teoritis lebih dari sekedar
pendekatan empiris semata-mata, yang mampu menerangkan dinamika motivasional
yang melandasi tindak-tanduk keagamaan masyarakat. Pada garis besarnya pihak
kedua ini berpendapat bahwa dalam penelitian agama tidak perlu dibangun suatu
metodologi tersendiri, akan tetapi cukup dengan memanfaatkan berbagai disiplin
yang ada, sesuai dengan segi dan masalah keagamaan yang hendak diteliti.
B.
Permasalahan
Atas dasar latar belakang masalah di
atas, maka yang menjadi fokus kajian/ permasalahan adalah:
1. Mengapa
Penelitian Agama di Indonesia itu diperlukan?
2. Perlukah kita
membuat rumusan pendekatan bukan- Barat?
3. Perlukah
adanya metodologi tersendiri dalam penelitian agama?
C. Pentingnya Penelitian Agama
Menurut Mukti Ali dalam Sumardi
(1982) Penelitian agama di Indonesia adalah penting karena bangsa Indonesia
adalah bangsa religius, dan masyarakat sosialistis religius. Penelitian agama
adalah penting bukan saja bagi kalangan ilmuwan dan dunia ilmu pengetahuan,
akan tetapi juga bagi para perencana dan pelaksana pembangunan di negeri kita.
Allah SWT
berfirman dalam Al Qur’an Surat Ali Imran 190 – 191, Artinya:
190. Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal,
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka
peliharalah kami dari siksa neraka. (Quran
In Word Ver 1.0.0 Created by Mohamad Taufiq)
Dari ayat di atas
(dan banyak lagi ayat-ayat yang senada) dapatlah kita ambil beberapa pengertian
sebagai berikut:
- Bahwa alam semesta ini merupakan tanda tentang adanya Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya, terutama bagi orang-orang yang berfikir kritis, tentunya di sini termasuk para peneliti.
- Bahwa kesadaran tentang tentang alam semesta ini (yaitu kesadaran ilmiah) akan meningkatkan kesadaran seseorang tentang kebesaran Allah SWT, sehingga disadarinya pula bahwa semua penciptaan Allah SWT itu punya tujuan tertentu yang dalam filsafat disebut “theologies”.
- Dalam kaitannya dengan penelitian agama/keagamaan dapatlah secara eksplisit kita katakana bahwa penelitian terhadap seluruh isi alam ini akan membawa seseorang kepada kesadaran tentang adanya kekuasaan Allah SWT. Dengan kata lain: bahwa penelitian tentang seluruh alam beserta isinya akan membantu memperkuat masalah keimanan terhadap ciptaan Allah SWT, yang merupakan esensi dari agama. Secara teknis ini berarti bahwa penelitian agama/keagamaan dapat menggunakan metode penelitian-penelitian lain yang ada. Lebih tegasnya lagi dapat dikatakan, bahwa semua penelitian yang ada di dunia ini pada dasarnya dapat membantu penelitian agama. Maka bila sementara ahli berpendapat bahwa penelitian agama dapat dibanrtu oleh metode/metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial dan budaya, atas dasar asumsi di atas kiranya pendapat itu menyangkut fenomena agama, tentulah terdapat ciri-ciri khas yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain.
Menyadari perlunya
penelitian agama maka pemerintah lewat Keputusan Presiden RI No. 45 Tahun 1974
(khususya Lampiran 14) yang dijabarkan oleh Keputusan Menteri Agama Nomor 18
Tahun 1975 telah membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Agama pada
Departemen Agama yang tugas dan fungsinya antara lain: “menyelenggarakan
pembinaan semua unit-unit penelitian dan pengembangan di lingkungan Departemen
Agama yang mencakup semua jenis penelitian dan pengembangan, baik yang
diselenggarakan sendiri oleh Badan LITBANG maupun yang diselenggarakan oleh
unsur-unsur lain dalam Departemen Agama.
Yang mendorong
adanya penelitian agama, khususnya bagi kita di Indonesia ialah adanya
kesadaran umum yang kuat, bahwa kenyataan sosial dan kultural bangsa Indonesia,
adalah kenyataan yang bersifat religius. Agama dan masyarakat itu ada dan
saling mempengaruhi. Agama mempengaruhi jalannya masyarakat, dan selanjutnya
pertumbuhan masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama. Pengaruh
timbal-balik antara perkembangan masyarakat dan pertumbuhan agama
merupakan kenyataan sosial budaya yang menjadi tantangan untuk dipahami seluas
dan sedalam mungkin. Untuk menjawab tantangan itu, penelitian-penelitian ilmiah
diperlukan penggiatannya , baik untuk kepentingan akademis maupun untuk
keperluan kebijakan-kebijakan dalam pembangunan masyarakat pada umumnya.
Deliar Noer di
akhir tulisannya yang berjudul Diperlukan Pendekatan Bukan Barat terhadap
Masyarakat Indonesia dalam Sumardi (1982:46-47) menyatakan : kita
juga harus mengingat bahwa sifat dalam hukum Islam bukan terbatas pada suruhan
dan larangan belaka, melainkan juga yang bersifat menganjurkan (sunnat),
mencegah secara lunak tetapi mengandung pengertian tidak apa-apa bila masih
juga dikerjakan (makruh). Disamping empat kategori ini kita masih
mengenal sifat membiarkan atau membolehkan (jaiz, mubah).
Kalau berbicara
tentang kategori hukum ini, maka tambah banyak perbedaan yang kita jumpai
antara pandangan pertama tadi (sarjana-sarjana Barat) dengan yang kedua, yaitu
mengkaitkan pengamatan dengan ajaran Islam. Dalam membicarakan hukum dalam
masyarakat Indonesia, tampaknya penulis Barat tidak dapat melihat kelima
kategori dalam al-ahkam al-khamsa tadi.Sifat hukum mereka memang
terbatas pada larangan dan suruhan. Bagi mereka, bila yang diwajibkan
tidak dikerjakan, atau bila yang dilarang dikerjakan terjadilah
pelanggaran, dan oleh sebab itu hukuman bisa dijatuhkan. Tiga kategori lain
tidak mereka pusingkan.
Sedangkan dalam
Islam segala macam aspek hidup dibicarakan dalam hukum. Oleh karena
kategori jaiz atau mubah termasuk bidang yang luas, maka
sebenarnya ruang gerak bagi si Muslim sangat luas pula. Dalamnya termasuk
bagian-bagian adat dalam masyarakat yang sungguhpun mungkin berasal dari zaman
sebelum Islam dikenal, bisa saja dilanjutkan sesudah Islam masuk asalkan
ia tidak bertentangan dengan pokok-pokok kaidah. Memandang satu-satu masalah
dengan pandangan atau pendekatan sedemikian, akan mempertemukan adat dengan
Islam.
Selanjutnya kita
perlu mengubah pendekatan kita. Sudah jelas bahwa penulis-penulis Barat umumnya
tidak memperhatikan cirri-ciri pokok Islam dan pengaruhnya dalam masyarakat.
Penilaian mereka bersandar pada niai-nilai yang tumbuh dalam diri mereka,
dan penilaian kita seharusnya bersandar pada nilai-nilai yang tumbuh dalam diri
kita. Lebih lanjut Deliar Noer menyaatakan: tak usah saya sebut nama
orang-orang kita, sarjana atau bukan, yang hingga waktu ini masih mengikuti
jejak guru-guru mereka di Barat. Kitan penulis-penulis Barat itu bertaburan di
perpustakaan kita, dan kitab orang-orang kita yang senafas dengan mereka banyak
pula.
Ada dua
jalan yang perlu ditempuh untuk dapat membuat kajian tentang masyarakat kita,
dan agaknya masyarakat mana pun lebih dapat dipertanggung-jawabkan.
Pertama, bahwa sarjana-sarjana kita perlu mengkaji esensi masyarakat kita yang
memang beragama Islam. Kedua, bahwa kita perlu menumbuh-kembangkan
istilah-istilah khusus untuk menggambarkan dengan lebih tepat
masyarakat yang kita bahas itu.
Ronny Kountur
(2003:1) menyatakan dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian
untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, bahwa penelitian berhubungan dengan
usaha untuk mengetahui sesuatu. Selain itu penelitian berhubungan pula dengan
usaha untuk mencari tahu jawaban atas suatu atau beberapa permasalahan. Telah
dikenal dua cara yang pernah digunakan oleh para ahli dalam upaya untuk mencari
tahu sesuatu pengetahuan yang baru yaitu cara atau pendekatan rasional
dan empiris.
Pendekatan
Rasional merupakan suatu cara untuk mencari tahu sesuatu pengetahuan yang baru
dengan anggapan bahwa segala sesuatu yang ingin diketahui itu ada di dalam
pikiran manusia (internal wisdom). Adalah kemampuan seseorang untuk
berfikir, dengan menggunakan akal sehat atau rasional, untuk menemukan
pengetahuan tersebut dari pikirannya. Dengan kata lain, menurut pendekatan
rasional, pengetahuan dimulai dari suatu gagasan atau pikiran yang didasarkan
atas kebijaksanaan yang dimilki seseorang.
Pendekatan
rasional digunakan pada waktu yang lalu dan salah seorang yang menggunakan
pendekatan ini adalah Aristotle, walaupun bukan dia yang memulainya. Kemudian
pendekatan ini dianggap tidak layak dan disanggah oleh beberapa ahli pada waktu
itu. Diantara para ahli yang mulai mengkritik pendekatan ini adalah Francis
Bacon.
Ketidak mampuan
pendekatan rasional dalam memecahkan suatu permasalahan diilustrasikan oleh
ahli filsafat dan ilmuwan Francis Bacon yang diceritakan oleh Mees dan
diterjemahkan secara bebas sebagai berikut (Howard, 1985):
Di tahun 1432, timbul
pertengkaran diantara para tua-tua tentang jumlah gigi yang ada di mulut seekor
kuda. Selama
tiga belas hari pertengkaran terus berlangsung tanpa jalan keluar. … Pada
hari ke empat belas, seorang anak muda yang memiliki maksud yang baik dan polos
bertanya … untuk membuka mulut seekor kuda dan mencari tahun jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan mereka. … tangkap dia oleh karena, kata mereka, pasti
setan telah menggodai orang baru yang berani ini untuk menyatakan cara yang
tidak suci dan tidak pernah didengar untuk mencari tahu kebenaran yang
berlawanan dengan ajaran-ajaran para pendahulu.
Ilustrasi tersebut menunjukkan
ketidakmampuan pendekatan rasional untuk memecahkan permasalahan atau untuk
mencari tahu sesuatu menyangkut berapa jumlah gigi yang ada di mulut seekor
kuda. Berapa jumlah gigi kuda tidak bisa ditemui pada pikiran ataupun gagasan.
Cara yang terbaik untuk mengetahuinya adalah dengan membuka mulut kuda dan
menghitung berapa jumlah gigi kuda tersebut dan bukan dengan berfikir.
Pendekatan empiris
sudah dimulai kurang lebih tiga ratus tahun lalu dari pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan oleh Bacon, Locke, dan Hume (Cook & LaFleur, 1975). Menurut
pendekatan empiris pengetahuan diperoleh dari hasil pengamatan terhadap
fenomena yang terjadi (external process). Jawaban atas suatu
permasalahan ada pada objek di mana masalah tersebut berada dan bukan di dalam
pikiran seseorang. Apa yang harus kita lakukan adalah mengamati apa yang
terjadi dan membuat kesimpulan. Seperti contoh pada ilustrasi “gigi kuda” di
atas, cara yang terbaik adalah mengamati. Buka mulut kuda dan amati (dengan
cara menghitung) maka permasalahan berapa jumlah gigi kuda tersebut akan segera
terjawab.
Menurut pendekatan
empiris, pengetahuan didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil
penelitian dan observasi. Salah satu bagian dari pendekatan empiris adalah
metode ilmiah.
Metode ilmiah (scientific
method) merupakan suatu cara memperoleh pengetahuan yang baru atau suatu
cara untuk menjawab permasalahan-permasalahan penelitian yang dilakukan secara
ilmiah. Suatu pendekatan untuk mencari tahu sesuatu dikatakan ilmiah apabila
pendekatan tersebut mengikuti langkah-lankah metode ilmiah.
Secara umum
metode ilmiah dimulai dengan mengidentifikasi masalah. Setelah masalah
teridentifikasi langkah berikutnya adalah merumuskan hipotesis. Hipotesis dapat
diartikan sebagai jawaban sementara atas permasalahan penelitian yang
kebenarannya masih perlu diuji. Kebenaran atas hipotesis ini perlu diuji dengan
cara mengumpulkan data dari fenomena yang diteliti kemudian dianalisis.
Berdasarkan analisis atas data tersebut, kesimpulan dibuat apakah akan menerima
atau menolak hipotesis. Penelitian-penelitian yang dilakukan saat ini didasarkan
atas metode ilmiah yang merupakan bagian dari pendekatan empiris.
Jalaluddin
Rakhmat dalam tulisannya, berjudul Metodologi Penelitian Agama dalam
Taufik Abdullah (1989:93), dengan meminjam analisis “religion commitment”
dari Glock dan Stark keberagamaan muncul dalam lima dimensi: ideologis,
intlektual, eksperiensial, ritualistic, dan konsekuensional. Dua
dimensi yang pertama adalah aspek kognitif keberagamaan; dua yang terakhir,
aspek behavioral keberagamaan, dan yang ketiga, aspek afektif keberagamaan.
Dimensi
ideologis berkenaan dengan seperangkat kepercayaan (beliefs) yang
memberikan premis eksistensial untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia,
dan hubungan diantara mereka. Kepercayaan ini dapat berupa makna yang
menjelaskan tujuan Tuhan dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu (purposive
beliefs). Kepercayaan, yang terakhir, dapat berupa pengetahuan tentang
perangkat tingkah laku yang baik yang dikehendaki agama. Kepercayaan jenis
inilah yang didasari struktur etis agama.
Dimensi
intelektual mengacu pada pengetahuan agama, apa yang tengah atau harus
diketahui orang tentang ajaran-ajaran agamanya. Pada dimensi ini, penelitian
dapat diarahkan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat melek agama (religious
literacy) para pengikut agama yang diteliti; atau tingkat ketertarikan
mereka untuk mempelajari agamanya.
Dimensi
eksperiensial adalah bagian keagamaan yang bersifat afektif-yakni, keterlibatan
emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama. Inilah perasaan
keagamaan (religion feeling) yang dapat bergerak dalam empat tingkat: konfirmatif
(merasakan kehadiran Tuhan atau apa saja yang diamatinya), responsive
(merasa bahwa Tuhan menjawab kehendaknya atau keluhannya), eskatik (merasakan
hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan), dan partisipatif
(merasa menjadi kawan setia kekasih, atau wali Tuhan dan menyertai Tuhan dalam
melakukan karya ilahiah).
Dimensi
ritualistic merujuk pada ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan oleh agama dan
atau dilaksanakan oleh para pengikutnya. Dimensi ini meliputi pedoman-pedoman pokok
pelaksanaan ritus dan pelaksanaan ritus tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Kita dapat meneliti frekuensi, prosedur, pola, sampai kepada makna ritus-ritus
tersebut secara individual, sosial, maupun kultural.
Dimensi
konsekuensional, ditempat lain, saya sebut dimensi sosial-meliputi segala
implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama. Dimensi inilah yang menjelaskan
apakah efek ajaran Islam terhadap etos kerja, hubungan interpersonal,
kepedulian kepada penderitaan orang lain dan sebagainya.
Kita percaya bahwa
kita dapat memperoleh pengetahuan tidak hanya melalui pengamatan empiris, juga
tidak hanya lewat analisis logis, tetapi juga melalui serangkaian pengalaman
mistikal (irfaniah).
Atas dasar kajian
tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Penelitian tentang seluruh alam
beserta isinya akan membantu memperkuat masalah keimanan terhadap ciptaan Allah
SWT, yang merupakan esensi dari agama. Lebih tegasnya lagi dapat
dikatakan, bahwa semua penelitian yang ada di dunia ini pada dasarnya dapat
membantu penelitian agama. Maka bila sementara ahli berpendapat bahwa penelitian
agama dapat dibanrtu oleh metode/metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial dan
budaya, atas dasar asumsi di atas kiranya pendapat itu menyangkut fenomena
agama, tentulah terdapat ciri-ciri khas yang membedakannya dengan ilmu-ilmu
lain.
2. Yang mendorong adanya penelitian
agama, khususnya bagi kita di Indonesia ialah adanya kesadaran umum yang kuat,
bahwa kenyataan sosial dan kultural bangsa Indonesia, adalah kenyataan yang
bersifat religius. Agama dan masyarakat itu ada dan saling mempengaruhi.
3. Ahli barat dalam memandang hukum Islam
hanya dilihat dari dua sisi saja, yakni yang berkaitan dengan suruhan dan
larangan saja, sedangkan 3 aspek lainnya (sunnat, makruh, dan mubah) tidak
diperhatikan. Dengan melihat masalah ini maka sudah seharusnya dalam melakukan
penelitian agama kita sudah saatnya meninggalkan konsep-konsep dari Barat
tersebut. Ada dua hal yang perlu kita perhatikan antara lain: pertama, bahwa
sarjana-sarjana kita perlu mengkaji esensi masyarakat kita yang memang beragama
Islam. Kedua, bahwa kita perlu menumbuhkembangkan istilah-istilah
khusus untuk menggambarkan dengan lebih tepat masyarakat yang kita
bahas itu
4. Dengan mengingat kekurangan
masing-masing para ahli ilmu sosial dan ahli ilmu agama, maka perlu adanya
kerja sama antara kedua belah pihak dalam melakukan penelitian agama.
5. Untuk mendapatkan hasil penelitian
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka perlu adanya pendekatan
empiris, dan irfaniah (mistikal). Sedangkan pendekatan rasional
tidak mampu memberikan jawaban yang benar atas suatu permasalahan, sehingga
para ilmuwan sudah lama meninggalkan metode ini.
6. Dalam Paradigma
penelitian agama muncul lima dimensi:
a. ideologis (seperangkat kepercayaan untuk menjelaskan Tuhan, alam,
manusia, dan hubungan diantara mereka),
b. intlektual (apa yang tengah atau harus diketahui orang tentang
ajaran-ajaran agamanya/seberapa jauh tingkat pemahaman agamanya/minat untuk
mempelajarinya),
c. eksperiensial (afektif-yakni, keterlibatan emosional dan
sentimental pada pelaksanaan ajaran agama. Ada empat tingkatan:
1) konfirmatif (merasakan kehadiran Tuhan atau apa saja yang
diamatinya),
2) responsive (merasa bahwa Tuhan menjawab kehendaknya atau
keluhannya),
3) eskatik (merasakan hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan),
dan
4) partisipatif (merasa menjadi kawan setia kekasih, atau wali Tuhan dan
menyertai Tuhan dalam melakukan karya ilahiah).
d. ritualistic merujuk pada ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan oleh
agama dan atau dilaksanakan oleh para pengikutnya, meliputi pedoman-pedoman
pokok pelaksanaan ritus dan pelaksanaan ritus dalam kehidupan
sehari-hari. Kita dapat meneliti frekuensi, prosedur, pola, sampai kepada makna
ritus-ritus tersebut secara individual, sosial, maupun kultural.
e. konsekuensional atau dimensi sosial, meliputi segala implikasi
sosial dari pelaksanaan ajaran agama. Dimensi inilah yang menjelaskan apakah
efek ajaran Islam terhadap etos kerja, hubungan interpersonal, kepedulian
kepada penderitaan orang lain dan sebagainya.
E. Metodologi Penelitian Agama
Islam
Prof. Dr. K.H.
Mukti Ali dalam tulisannya berjudul Penelitian Agama di Indonesia dalam
Mulyanto Sumardi (1982: 26-28) menyatakan : harus diketahui bahwa fakta-fakta
sosial biasanya mengandung banyak interpretasi. Interpretasinya sangat
tergantung dari pertanyaan-pertanyaan si peneliti.
Orang memahami
bahwa pada umumnya di bidang ilmu-ilmu sosial, tidak perlu bahwa seseorang
lebih dahulu berpengalaman sebagai ahli dalam suatu bidang untuk kemudian
menyelidikinya. Misalnya saja, tidak perlu berpengalaman lebih dahulu dalam
bidang kejahatan untuk kemudian menyelidiki persoalan kriminalitas. Atau tidak
perlu lebih dahulu berpengalaman dalam ketentaraan untuk kemudian menyelidiki
persoalan-persoalan ketentaraan dalam abad modern ini. Ini juga berlaku dalam
sosiologi agama misalnya: tidak perlu sosiolog atau si penyelidik berpengalaman
sebegai orang yang iman atau theology. Sosiologi agama selama ini cenderung
menyelidiki agama-agama dan institusi-institusi agama dengan pendekatan yang
sama seperti di bidang sosiologi keluarga, sosiologi perusahaan, sosiologi umum
dan sebagainya. Si penyelidik sendiri tidak perlu terlibat dalam salah satu
agama. Kalau ia sendiri beragama, dia toh sedikit banyak berusaha menjauhkan
diri dari latar belakang agamanya untuk menjamin keobyektifan penelitiannya.
Dalam hubungan ini
kami ingin menekankan suatu unsur hingga dengan demikian seluruh pendekatan
empiris diwarnainya, yakni sikap peneliti agama. Agama pada manusia adalah
begitu pribadi dan dalam sehingga hanya dapat diamati dengan berhati-hati.
Seorang peneliti yang secara teknis mungkin sangat baik belum pasti dapat
menemukan persoalan-persoalan agama pada orang yang diwawancarai atau diteliti
kecuali kalau ia sendiri beriman dan berefleksi, bukan saja pada situasi
sementara penelitian dilakukan, tetapi juga di luar konteks penelitian yaitu
dalam hidup sehari-hari. Kalau si peneliti bukan orang beragama, akhirnya ia
hanya sanggup mengkonstatir ungkapan-ungkapan kepercayaan dan gejala-gejala
agamiah, tetapi bukan iman atau agama itu sendiri. Mungkin dalam arti tertentu
sosiologi dan psikologi sudah puas dengan menemukan gejala-gejala tersebut.
Tetapi justru dalam penelitian agama, ungkapan-ungkapan dan gejala-gejala itu
tidak dapat diterima dengan face value-nya. Dalam penelitian agama,
releksi perlu dijalankan. Penelitian agama tidak mungkin dilakukan kalau peneliti
itu tidak tahu seluk-beluk persoalan pokok agama. Karena itu peneliti dan juga
para pekerja lapangan dalam bidang agama itu sendiri harus beragama dan
berefleksi atas agamanya. Dan disinilah justru perbedaan antara penelitian
agama dengan sosiologi agama dan psikologi agama.
Dalam ilmu-ilmu
social barangkali kurang lebih ada tiga (3) corak penelitian: deskripsi,
eksplorasi, dan verifikasi. Kriterium yang membedakan ketiga corak penelitian
itu adalah peranan hipotesis-hipotesis. Dalam penelitian deskriptif tidak ada
hipotesis-hipotesis; dalam penelitian eksploratis hipotesis-hipotesis baru
dibentuk pada akhir penelitian; sedangkan hipotesis-hipotesis justru merupakan
titik tolak untuk diuji dalam penelitian verifikatif.
Mungkin perbedaan
ini sedikit terlalu ketat, tetapi cukup untuk menjelaskan kepentingan hipotesis
itu. Penelitian agama tidak bermaksud memperkembangkan teori-teori baru tentang
agama, umat dan sebagainya. Tetapi ingin melukiskan salah satu kelompok sosial
dan gejala-gejala dalam masyarakat dan gejala-gejala dalam masyarakat agama.
Biasanya suatu kelompok serta persoalan-persoalannya diberikan perhatian.
Sebagai latar belakang tidak dipakainya satu visi sosiologis saja, tetapi
diambil beberapa konsep dan paham dari pelbagai ilmu sosial. Menurut hemat kami
tipe penelitian deskriptif ini, yang tanpa hipotesis tertentu lebih cocok untuk
penelitian agama itu.
Pada pokoknya
seluruh metode penelitian agama sebaiknya berwarna atau bersifat agamiah, yakni
bahwa penelitian agama itu bertitik tolak dari permasalahan agama dan bahwa
proses diagnose dan prognase diarahkan oleh salah satu skema evaluasi yang
diambil dari agama.
Sebenarnya masih
banyak persoalan mendasar yang harus digarap dalam penelitian agama.
Tetapi sebagai latar belakang persoalan pokok untuk kita sekarang ialah :
sejauh mana ilmu-ilmu sosial dapat membantu untuk membentuk penelitian agama
semacam ini? Sejauh mana sudah ada pendekatan-pendekatan dan
metode-metode yang dapat diterapkan dalam lapangan agama.
Menguasai metode
penelitian adalah hanya merupakan salah satu aspek dari penelitian. Ia
merupakan satu hal yang tidak dapat ditinggalkan, tetapi tidak cukup
untuk menjamin bahwa penelitiannya itu adalah tepat. Metode dan teknik
penelitian hanya merupakan alat saja untuk penelitian. Masih banyak hal-hal
yang diperlukan untuk berhasilnya penelitian itu, seperti kedalaman dalam
memahami masalah-masalah social dan agama, integritas, pribadi, sensitive dan
persepsi, disiplin dalam imajinasi, reserve dalam mental. Faktor peneliti memainkan
peranan yang sangat penting dalam penelitian itu.
Oleh karena itu
maka dalam penelitian agama perlu dibahas faktor-faktor pribadi dan ilmiah,
strategi, teknik penelitian dan sebagainya.
Di dalam penelitian agama yang
perlu digarap adalah:
a. Dengan seksama mengamati
fakta-fakta
b. Menentukan dimana letak
kemungkinan-kemungkinan yang paling menonjol, artinya mencoba memahami apakah
arti fakta-fakta itu
c. Berdasarkan pemahaman yang
rasional pada tahap 1 dan 2, mencoba melihat dari cahaya agama
d. Menilai dalam cahaya agama pelaksanaan
konkret sesuai dengan situasi historis.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Untuk mendapatkan hasil penelitian
yang valid dalam bidang agama, maka si peneliti harus betul-betul orang yang
memiliki keahlian dalam bidang agama serta mengamalkannya. Sedangkan penelitian
di bidang sosiologi agama dan psikologi agama atau bidang ilmu pengetahuan lain
tidak mensyaratkan keahlian di bidang agama atau bidang yang ditelitinya.
2. Faktor peneliti memainkan peranan yang
sangat penting dalam penelitian agama seperti kedalaman dalam memahami
masalah-masalah sosial dan agama, integritas, pribadi, sensitive dan persepsi,
disiplin dalam imajinasi, reserve dalam mental. Sedangkan metode penelitian
hanya merupakan sebuah alat saja. Ia merupakan satu hal yang tidak dapat
ditinggalkan, tetapi tidak cukup untuk menjamin bahwa penelitiannya itu adalah
tepat.
3. Penelitian agama tidak bermaksud
memperkembangkan teori-teori baru tentang agama, umat dan sebagainya, tetapi
ingin melukiskan salah satu kelompok sosial dan gejala-gejala dalam masyarakat
dan gejala-gejala dalam masyarakat agama, maka menurut Prof. Dr. Mukti Ali tipe
penelitian deskriptif yang tanpa hipotesis-hipotesis lebih cocok untuk
penelitian agama.
F. Ruang Lingkup Penelitian Agama
Membicarakan
masalah metode penelitian agama menurut Mukti Ali dalam tulisannya
berjudul Penelitian Agama di Indonesia dalam Mulyanto Sumardi (1982 :
29) menyatakan, bahwa barangkali perlu dibahas juga tentang
beberapa cara untuk dipergunakan dalam penelitian agama, antara lain adalah:
Dokumen pribadi. Kita mengetahui
bahwa pengalaman orang yang paling subyektif adalah pengalaman kehidupan agama.
Oleh karena itu barangkali saja mempelajari dokumen pribadi adalah salah satu
cara yang paling dekat untuk memahami pengalaman agama seseorang. Sudah barang
tentu dokumen pribadi itu tidak murni merupakan suatu metode, tetapi itu
merupakan alat yang paling pokok untuk mendekati kehidupan agama seseorang.
Dalam mempergunakan dokumen pribadi itu bisa dipergunakan pendekatan nomothetic
dan idiographic. Dalam pendekatan nomothetic orang
mempelajari berbagai masalah untuk menemukan generalisasi yang umum. Dokumen
pribadi bisa dipergunakan secara nomothetic apabila jumlahnya banyak.
Tetapi seringkali peneliti agama lebih cenderung untuk mempelajari hanya hanya
sebuah dokumen saja. Dokumen pribadi itu jarang sekali terdapat, dan oleh
karena itu mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pengungkapan
pengalaman kehidupan orang. Umpamanya kitab Al Muqidh Minadhalal tulisan
Al Ghazali, The Confessions tulisan St. Augustinus dan The Road to
Mecca, tulisan Muhammad Assad.
Adalah jelas bahwa
generalisasi terhadap orang-orang lain yang didasarkan hanya pada satu kasus
adalah salah sekali. Oleh karena itu tidak sedikit ahli ilmu pengetahuan yang
menolak bobot ilmiah dari hanya mempelajari satu dokumen saja.
Sungguh pun
demikian meneliti satu dokumen bisa juga menyingkapkan generalisasi
masalah-masalah lain sepanjang konteks kasus dokumen yang diteiti. Ini adalah
pendekatan idiographic. Penelitian dokumen pribadi scara idiographic
itu dapat mempunyai bobot ilmiah apabila didukung oleh sumber-sumber lain.
Kemudian questionnaire
dan interview, apakah dengan interview yang sudah “dibakukan” atau
“terbuka” perlu juga dipertimbangkan apakah bisa dipergunakan dalam penelitian
agama. Demikian juga public opinion poll untuk mengetahui pendapat umum
perlu dipertimbangkan.
Observasi
sosiologis
dan antropologis biasanya juga dipergunakan apabila orang ini mengatahui
tindak laku agamaniah dari kelompok; tetapi dalam penelitian agama barangkali
lebih baik mempergunakan particiant observation. Metode perbandingan
juga dipergunakan apabila orang ingin membandingkan satu kelompok agama dengan
kelompok agama lain. Pertumbuhan agama barangkali saja lebih baik diteliti
dengan melalui pendekatan genethic, baik terhadap perseorangan maupun
kelompok. Kemudian daripada itu grafik dan statistic perlu juga
kita teliti, sejauh mana dapat digunakan untuk penelitian agama.
Sebenarnya masih
banyak lagi cara-cara yang dapat kita pertimbangkan, dapat tidaknya
dipergunakan untuk penelitian agama.
Departemen Agama,
selama ini memusatkan perhatiannya kepada delapan wilayah persoalan (problem
areas) penelitian agama, Badan Litbang Agama Depag RI (1981, 26-27), yaitu:
1. Masalah Kerukunan umat beragama
2. Pengamalan Agama
3. Pendidikan Agama
4. Pelayanan Ibadah Agama
5. Sarana Agama
6. Agama dan Perubahan Lingkungan
7. Ketenagaan dan
8. Penyediaan data baku di bidang agama
G. Sumbangan dalam Keilmuan
(Agama Islam)
Badan Litbang
Agama Departemen Agama RI (1981, 50-51) menjelaskan bahwa, Penelitian keagamaan
tentang perkembangan dan pengaruh agama Islam dalam masyarakat Indonesia sendiri
adalah amat penting dan perlu dalam rangka pengembangan pengetahuan ke-Islaman
di Indonesia. Masyarakat Indonesia tidaklah dalam keadaan kosong dan hampa
budaya ketika Islam dating ke Indonesia. Sudah barang tentu terjadi perbenturan
dan pergeseran di samping penyesuaian dan penyerasian nilai-nilai dan
norma-norma secara timbal balik antara Islam dan kebudayaan suku-suku bangsa di
Indonesia. Dengan penelitian keagamaan itu diharapkan akan diketahui bagaimana
perwujudan sosial dan kultural agama Islam dalam masyarakat Indonesia
yang berbagai-bagai itu, dan sejauh mana kebudayaan setempat ikut mewarnai
perwujudan sosial dan kultural agama Islam tersebut.
Sebenarnya
penelitian keagamaan itu tidak hanya perlu bagi pengembangan pengetahuan
ke-Islaman saja, melainkan juga perlu bagi pemimpin agama Islam dan bagi para
perencana dan pelaksana pembangunan di Negara kita. Bagi para pemimpin agama
Islam, hasil penelitian keagamaan itu akan sangat berguna dalam rangka
meningkatkan usaha-usaha dakwah, pendidikan sosial, yang jika dilihat dari segi
pembangunan kehidupan keagamaan amatlah penting artinya. Sedangkan bagi
para perencana dan pelaksana pembangunan, hasil penelitian itu akan
menghindarkan mereka dari berbuat “kekeliruan” yang menyinggung sentiment
dan kepekaan rasa agama dari masyarakat, yang besar atau kecil tentu akan
mengganggu usaha-usaha pembangunan. Dengan perkataan lain, penelitian keagamaan
itu amat diperlukan, baik untuk kepentingan pembangunan nasional maupun untuk
pembangunan kehidupan agama itu sendiri.
H. Kesimpulan
Dari uraian
tersebut di atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- Penelitian Agama di Indonesia sangat diperlukan, mengingat:
a. Firman Allah dalam Al Qur’an
Surat Ali Imran 190-191 bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan langit dan bumi
beserta isinya yang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT bagi orang yang
berakal. Maka untuk mengetahui dan memahami hakikat berbagai perkara serta
kebesaran Allah SWT tersebut diwajibkan bagi orang-orang berakal untuk
melakukan penelitian. Penelitian tentang seluruh alam beserta isinya akan
membantu memperkuat masalah keimanan terhadap ciptaan Allah SWT, yang merupakan
esensi dari agama.
b. Keputusan Presiden RI No. 45 Tahun
1974 (khususya Lampiran 14) yang dijabarkan oleh Keputusan Menteri Agama Nomor
18 Tahun 1975 telah membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Agama pada
Departemen Agama yang tugas dan fungsinya antara lain: “menyelenggarakan
pembinaan semua unit-unit penelitian dan pengembangan di lingkungan Departemen
Agama yang mencakup semua jenis penelitian dan pengembangan, baik yang
diselenggarakan sendiri oleh Badan LITBANG maupun yang diselenggarakan oleh
unsur-unsur lain dalam Departemen Agama.
c. Dengan mengingat kekurangan
masing-masing para ahli ilmu sosial dan ahli ilmu agama, maka perlu adanya
kerja sama antara kedua belah pihak dalam melakukan penelitian agama.
d. Penelitian agama tidak bermaksud
memperkembangkan teori-teori baru tentang agama, umat dan sebagainya, tetapi
ingin melukiskan salah satu kelompok sosial dan gejala-gejala dalam masyarakat
dan gejala-gejala dalam masyarakat agama, maka menurut Prof. Dr. Mukti Ali tipe
penelitian deskriptif yang tanpa hipotesis-hipotesis lebih cocok untuk
penelitian agama.
2. Ahli barat dalam memandang hukum Islam hanya dilihat dari dua sisi saja,
yakni yang berkaitan dengan suruhan dan larangan saja, sedangkan 3 aspek
lainnya (sunnat, makruh, dan mubah) tidak diperhatikan. Dengan melihat masalah
ini maka sudah seharusnya dalam melakukan penelitian agama kita sudah saatnya
meninggalkan konsep-konsep dari Barat tersebut. Ada dua hal yang perlu kita
perhatikan antara lain: pertama, bahwa sarjana-sarjana kita perlu mengkaji
esensi masyarakat kita yang memang beragama Islam. Kedua, bahwa kita perlu
menumbuhkembangkan istilah-istilah khusus untuk menggambarkan
dengan lebih tepat masyarakat yang kita bahas itu.
3. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya, maka perlu adanya pendekatan empiris, dan irfaniah (mistikal).
Sedangkan pendekatan rasional tidak mampu memberikan jawaban yang
benar atas suatu permasalahan, sehingga para ilmuwan sudah lama meninggalkan
metode ini. Secara teknis ini berarti bahwa penelitian agama/keagamaan dapat
menggunakan metode penelitian-penelitian lain yang ada. Lebih tegasnya lagi
dapat dikatakan, bahwa semua penelitian yang ada di dunia ini pada dasarnya
dapat membantu penelitian agama.
Daftar Pustaka:
Abdullah dkk., M. Amin., 2006. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan
Multidisipliner. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga.
Abdullah, Taufik, 1989. Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Ali, H.M. Sayuthi, 2002. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori
dan Praktek. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Badan Litbang Agama Departemen Agama RI., 1981. Penelitian dan
Pengkajian Agama di Indonesia: Arah, Kebijakan, Wilayah dan Pendekatannya.
Jakarta: Balitbang Agama Depag RI.
Kountur, Ronny, 2003. Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan
Tesis. Jakarta: Penerbit PPM.
Sumardi, Mulyanto, dkk., 1982. Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran.
Jakarta: Sinar Harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar