Senin, 13 Februari 2012

POLITICS, RELIGION AND FREE SPEECH


POLITICS, RELIGION AND FREE SPEECH
Oleh : Wira Hadi Kusuma.


          A.  Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang paling mulia dari pada makhluk lainnya, sehingga dengan kemuliaannya ia dijadikan Tuhan sebagai khalifah fi al-ard. Sebagai wakil tuhan manusia  diberi kebebasan untuk mengelolah alam semasta. Dalam prakteknya kebebasan ini mengalami kemandekan kerena terjadi konflik yang panjang antara egoisme kelompok yang mengatas namakan agama  (religion) dan politik (politic).
 Tuhan yang maha kuasa, yang ditafsirkan dan disakralisasikan tanpa bisa dikritik. Maka dalam prakteknya para penguasa dengan dalih agama dapat menghalalkan segala cara. Sehingga  menurut Bhiku Parekh antara religion and politic sulit dipisahkan dalam kehidupan manusia,[1]  hal ini juga bagi Prof Amin Abdullah selama manusia hidup sulit memisahkan antara religion and politic.[2]  Tetapi yang harus mendapat perhatian serius di era modern ini adalah antara religion and state, menurut Parekh hal inilah salah satu penyabab konflik yang berkepanjangan terutama bila agama (religion) dibawa keruang “public.”[3]
Sejarah politik dipenuhi konflik dan kekerasan yang memperoleh pembenaran keagamaan. Sebaliknya, dinamika keagamaan penuh konspirasi politik dari mereka yang menyatakan membela Tuhan dan agama-Nya. Kekuasaan politik yang melegitimasi keagamaan atau sebaliknya, membuat keduanya eksklusif, dalam pelaksanaannya penuh dengan kekerasan intelektual, spiritual dan fisikal. Hal ini terjadi karena pemahaman tentang Tuhan dan agama-Nya dipahami eksklusif yang menafikan kemanusiaan.[4]
Di Barat sejarah kemanusiaan yang mencari format agar konflik yang terjadi dapat diminimalisasikan. Membicarakan asal usul gagasan kemerdekaan Eropa tentunya membicarakan tentang akar liberalisme modern pada abad ke-15, ketika pemerintahan feodal sedang berjuang untuk memerdekakan diri mereka sendiri dari hegemoni Paus dan gereja (Kristen Katholik). Pada saat itu, bangsa-bangsa yang merdeka dan berdaulat belum ada. Setiap kota atau kerajaan berada di bawah perwalian pangeran atau bangsawan. Para bangsawan atau penguasa feodal ini, pada gilirannya, di bawah pengaruh pendeta setempat dan Paus Suci Roma. Negara yang paling kacau adalah Italia. Di sinilah muncul seorang Filosof bernama Niccolo Machiavelli (1469-1527) bukunya The Prince, memberikan kerangka filsafat yang kemudian dikenal dengan Machiavellianisme.[5]
Mengikuti pembebasan negara-negara dari hegemoni Gereja Katholik dan Paus, pemikiran yang bebas dan ilmiah bererti membebaskan dirinya dari hegemoni inkusisi yang menakutkan. Hasilnya adalah kekangan tradisi keagamaan dan otoritas atas pemikiran dan kehidupan rakyat menjadi longgar; tetapi ia meminta korban ilmuan besar seperti Galileo Galilei (1564-1642) Pemikiran yang bersifat investigatif dan akal yang sedang berkembang tidak lagi mengalami kekakuan, stagnasi dan tirani kependetaan Katholik.
Langkah selanjutnya dalam Renaisans Eropa adalah reformasi keagamaan dan Protestanisme yang dilakukan di bawah pimpinan Marthin Luther (1483-1546), John Calvin (1509-1564), dan yang lainnya. Umat Protestan menolak tahayul dan larangan-larangan agama Katholik. Mereka bertujuan kembali kepada kemurnian ajarannya yang sederhana, spiritualitas dan kebebasan. Demikian juga mereka berjuang bagi kebebasan berseni dan berbudaya.[6] Gerakan ini memuncak pada pencarian bagi kebebasan sosial dan politik dituntut oleh revolusi Prancis yang Agung (1789-1799) dan Rezim demokratis lainnya, hingga pada tahun 1948 oleh PBB di deklarasikan HAM.[7] 


           B. Agama, Politik dan Ruang Publik
Menurut Hans Kung, agama adalah suatu realisasi sosio individu yang hidup (dalam ajaran, tingkah laku, ritus/upacara keagamaan) dari suatu relasi dengan melampawi kodarat manusia dan dunianya dan berlangsung lewat tradisi dan dalam masyarakatnya.[8]
Politik adalah seperangkat makna atau nilai-nilai serta pilihan-pilihan yang diambil dari dalam masyarakat untuk membenarkan fungsi tatanan masyarakat yang berlaku. Nilai-nilai terjadi bila dalam masyarakat terdapat ideologi dan kekuasaan yang menjamin efektivitasnya. Sedangkan ideologi dapat diartikan sebagai bentuk imajinasi sosial yang menerangkan eksistensi suatu masyarakat, cita-cita yang hendak diwujudkan serta mendorong kearah tindakan (praktis).[9]
Dari penjelasan tentang defenisi agama dan politik pada dasarnya tersirat tujuan untuk mengusahakan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat dalam suatu bangsa sesuai dengan harkat kemanusiaannya dan demi persahabatan dan perdamaian antar bangsa tetap terjaga. Walaupun dalam praktiknya hal ini belum begitu membuahkan hasil yang “manis”, sehingga dirasakankan oleh masyarakat secara umum.
Selama ini ada keinginan sebagian kelompok (terutama masyarakat sekuler) untuk memisahkan agama dan politik, agar agama tetap sakral dan tidak digunakan menjadi alat melegitimasi politik.[10] Kaum sekuler menganggap bahwa agama adalah persoalan personal, sedangkan politik adalah aktivitas public dan communal. Agama terkait soal nasib jiwa manusia, sementara politik terkait persoalan kerjasama di dunia. Agama adalah persoalan keyakinan yang tidak dapat dipaksakan, sedangkan politik menyangkut pemaksaan dan berlangsung dengan hal-hal yang konformitas  dapat dituntut dengan pemberian hukuman.[11]
Bagi kaum sekuler memandang agama secara berbeda dan terdapat dua pendapat yang lazim, yaitu;  pertama, pendapat yang memisahkan negara dan agama. Seharusnya negara tidak melaksanakan, mengatur dan mengesahkan agama. Negara mesti diselenggarakan atas dasar kesepakatan bersama oleh warga negaranya. Kedua, merupakan pendapat yang lebih kuat, juga memisahkan agama dan politik, dan menganggap bahwa pertimbangan-pertimbangan politik hendaknya dihubungkan dengan konsep-konsep sekuler itu sendiri.
 Meski agama merupakan hak pokok bagi individu-individu,  tapi bagi warga negara selayaknya berdiri di atas agama yang dikendalikan oleh prinsip-prinsip sekuler, karena politik adalah hasil kesepakatan semata.[12] Bila dilihat secara bijak, menurut Bhikhu Parekh pendapat kaum sekuler juga sebetulnya kurang demokratis dan mengabaikan sebagian besar keinginan warga Negara.
Agama adalah fakta sosial dan sepanjang sejarah tidak ada negara yang mengabaikan peran agama. Menurut Parekh Kaum sekuler telah salah yang menganggap agama memiliki sedikit kontribusi bagi kehidupan politik. Secara  historis, berbicara agama adalah sumber munculnya berbagai gerakan emansipatoris, seperti gerakan anti perbudakan, anti penjajahan, dan lain sebagainya, yang sering dipimpin oleh tokoh-tokoh agama sebagai bentuk komitmen mereka terhadap ajaran agama. Agama juga berperan dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan kebijakan dan memelihara sensitivitas. Agama mempunyai dimensi-dimensi universal dan kemanusiaan yang dapat digunakan untuk mengkritik berbagai kecenderungan kaum nasionalis.[13]
 Sehingga menurut Parekh religion and politic, “it is Ok” (sulit memisahkannya), tetapi bila dalam ruang “public” religion and states harus dibedakan atau dipisahkan. Karena agama yang dalam prakteknya menurut Parekh absolutist, self-righteous, arrogant, dogmatic and impatient of compromise.[14]
Sedangkan bagi Prof. Amin Abdullah dalam agama terdapat unsur volutory (suka rela) dan guidance, sedangkan dalam states sifatnya compulsory dan governance.[15] Sehingga menurutnya agama di ruang “public” harus dipisahkan agar konflik yang terjadi dapat diminimalisaisikan.
Melalui berbagi forum antar agama, agama membuktikan peranannya dalam membangun pola kehidupan politik, melalui saling memahami dan sharing pendapat dalam berbagai persoalan. Dalam konteks inilah agama perlu diajarkan disekolah-sekolah, bagaimana hidup bersama dalam kelompok, termasuk berpolitik dan bernegara. Memang harus diakui pengajaran agama yang ada disekolah-sekolah mengalami kesulitan (khususnya di Indonesia), selain waktu yang diberikan relative singkat, juga penguasaan materi yang diajarkan hanya terfokus pada ajaran doktrin belaka, misalnya dalam Islam tentang fiqih, tauhid, akhlak, hadist dan lain-lain. sehingga seolah-olah dirasakan belum begitu menyentuh persoalan manusia  sebagai masyarakat secara menyaluruh.
Menurut Bhikhu Parekh dalam berbagai ilmu yang diajarkan kepada anak didik, seperti sejarah, ilmu kewarganegaraan dan juga berbagai ilmu sosial (ilmu politik, ilmu antropologi, sosiologi, psikologi) lainnya dapat digunakan untuk pendekatan dalam belajar agama.[16] Dalam konteks ini penulis sepakat bahwa agama tidak hanya diajarkan tentang doktrin-doktrin keagamaan tentang hubungan manusia dengan tuhan saja, tetapi lebih kepada semua persoalan yang berkaitan tentang kehidupn sosial, yang dalam realitasnya manusia hidup dalam masyarakat multikultural. Meminjam istilah Prof. Dr. Amin Abdullah, pengajaran agama harus diajarkan melalui integrasi-interkoneksi agar agama tidak dipandang hanya ”peduli” pada persoalan spiritual belaka.[17] Memang hal ini tidak mudah untuk diwujudkan, karena dibutuhkan orang-orang yang tidak hanya memahami ilmu agama saja, tetapi berbagai ilmu terkait, agar ilmu agama tidak terkesan “statis” dan “membosankan.”
          C.  Kebebasan Berbicara
Bebas berarti lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan lain sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara dan berbuat dengan leluasa). Membebaskan bermakna melepaskan diri dari ikatan, tuntunan, tekanan, hukuman kekuasaan dan lain sebagainya. Sedangkan kebebasan adalah kemerdekaan atau dalam keadaan bebas.[18] Sedangkan menurut Loren Bagus, kebebasan (freedom) adalah merupakan suatu keadaan tidak dipaksa atau ditentukan oleh sesuatu dari luar, atau mampu bertindak sesuai dengan apa yang disukai.[19]
Istilah kebebasan seringkali disebut-sebut sebagai bentuk ekspresi manusia sebagai makhluk yang merdeka. Ia melekat sekaligus berwujud dalam bentuk tingkahlaku manusia. Manusia sebagai makhluk yang merdeka atau bebas, maka Bagus juga mendefinisikan kebebasan juga dipahami berpusai pada tindakan yang lahir dari motif-motif internal dan bukan eksternal. Maka hal inilah dianggap sebagian orang untuk melakukan kebebasan sebagai pilihan yang merupakan hasil dari sifat dasariah manusia, tanpa pengaruh dari luar.[20]
Dalam berbagai konteksnya, banyak orang melakukan sesuatu berdasarkan kebebasan ini, sehingga dalam praktenya kebebasan pribadi acapkali kurang memperhatikan hak-hak masyarakat, yang merasa prilaku kebebasan pribadi telah melanggar kebebasan orang banyak. Misalnya kasus kebebasan yang dilakukan oleh Salman Rushdi dengan The Satanic Versesnya.[21] Sehingga muncul reaksi dari masyarakat Islam yang akhirnya oleh Imam Khomaeini yang menentukan, yang menghukum mati Salman Rushdi karena novelnya The Satanic Verses (1988), Di Iran, sebagaimana yang sesungguhnya terjadi di sebagian dunia muslim-novel ini dipandang sebagai upaya sengaja menghina dan mengejek tokoh-tokoh yang dihormati dalam Islam.
Fatwa merupakan istilah Islam lain yang kini dikenal Barat karena penggunaannya melawan Salman Rushdi, penulis The Satanic Verses (1988). Istilah ini berarti pendapat atau keputusan resmi mengenai sebuah pokok hukum Islam. Sebuah fatwa dapat dikeluarkan oleh setiap pemimpin agama menyangkut berbagai topik. Ia tidak memiliki status hukum dan sebenarnya, harus diratifikasi dalam suatu pengadilan yang sesuai, jika akan menyandang status hukum. Jangkauan otoritas fatwa secara umum juga terbatas secara geografis serta budaya, dalam ruang lingkup otoritas pemuka muslim yang mengeluarkan fungsi fatwa tersebut.
Fatwa Imam Khomaeini yang menentukan, yang menghukum mati Salman Rushdi karena novelnya The Satanic Verses (1988), perlu diletakkan dalam konteks historis ini. Di Iran, sebagaimana yang sesungguhnya terjadi di sebagian dunia muslim-novel ini dipandang sebagai upaya sengaja menghina dan mengejek tokoh-tokoh yang dihormati dalam Islam. Setiap tokoh agama di Iran akan melakukan apa yang telah dilakukan Khomeini. Penting untuk diingat bahwa muslim di negara-negara Islam dilindungi oleh undang-undang penghinaan. Di Pakistan dan Iran, mengolok-olok Al Qur’an dan Nabi adalah sebuah pelanggaran konstitusi. Intinya disini bukanlah bahwa muslim menghormati Al Qur’an dan Nabi karena hal itu terdapat dalam konstitusi mereka, tetapi lebih pada pengertian bahwa konstitusi mereka mencerminkan harapan muslim dengan mewujudkan tuntutan publik ini dalam hukum-hukumnya.
The Satanic Verses telah menimbulkan beberapa persoalan, yaitu logika dialog interkultural, keseimbangan interkultural, haka dan kewajiban bagi kaum imigran, fitnah komunal, dasar-dasar kebebasan berbicara dan penempatan agama dalam kehidupan publik. Rushdi mengaku bahwa dalam menulis novelnya ia menempatkan dirinya sebagai “orang bebas,” tetapi kebebasan yang dimiliki oleh Rushdi[22] dianggap telah merendahkan kelompok lain (Islam).
Kebebasan berbicara akan mempunyai dampak yang berbeda-beda, tergantung pada sejarah suatu komunitas, tradisi yang berkembang, keadaan politik dan lain-lain.[23] Dalam negara dengan sejarah kekerasan antar etnis, atau telah terjadi ketegangan sistem antar kelompok, atau agama telah menjadi identitas kelompok kebebasan berbicara akan mengalami kendala yang besar.
Dalam melihat kasus Rushdi tersebut terdapat dua faktor yang perlu dilihat secara arif, satu sisi itu merupakan buku murni hasil renungan Rushdi, bukan sejarah atau polemik tetapi novel, namun disisi lain pesan-pesanya merefleksikan makna buruk, mengandung tema-tema besar secara kasar dan berbahasa yang menyerang. Bagaimanapun protes yang dilakukan oleh umat Islam mengandung beberapa hal, yaitu untuk mengekspresikan celaan terhadap Islam (membelah diri), untuk mengingat para penulis berikutnya agar mempertimbangkan etika dan memperhatikan masyarakat lain, untuk mengajak masyarakat Inggris mempertimbangkan tentang batas dan dasar kebebasan berpendapat.[24] Penting untuk dicermati kasus the satanic verses Salman Rushdi juga menggambarkan kondisi Umat Islam yang masih jauh tertinggal terutama dalam membedakan antara agama (religion) dan politik (politic) dengan agama (religion) dan negara (state).
          D. Fitnah Kelompok

 The Satanic Verses telah menimbulkan beberapa persoalan penting,  termasuk fitnah kelompok di dalamnya. Fitnah bukan sekedar mengatakan tidak benar, tetapi telah merendahkan martabat, merusak posisi sosial dan menghancurkan reputasi yang difitnah.[25]
Sebagaimana individu, kelompok juga dapat menjadi objek fitnahan, dimana akan menjadi beban anggota-anggotanya. Sehingga dengan fitnahan communal ini dapat mengakibatkan keterasingan secara sosial maupun politik. Secara moral dan etika politik, fitnahan kelompok tidak dapat dibenarkan dan diterima, apalagi yang berhubungan dengan kebencian terhadap ras, perlawanan agama dan kebencian etnis.[26]
Menurut Bhikhu Parekh Larangan atau ketidaksetujuan terhadap fitnah communal akan berdampak positif atau paling tidak akan memunculkan 3 (tiga) hal penting, yaitu:
1.      ketulusan mencari kebenaran, kebebasan berpendapat, ketentraman suatu komunitas masyarakat bahwa mereka tidak boleh dibuat terasing.
2.      sejak ada komunitas baru atau seseorang baru, misalnya perkawinan antar komunitas berbeda, mereka harus dilindungi dari berbagai fitnahan.
3.      hukum dapat dipertimbangkan untuk melindungi keberadaan kelompok dan nama baik suatu kelompok.[27]
Parekh juga menawarkan solusi bagi suatu komunitas agar dapat mencegah fitnahan, menurutnya komunitas harus; pertama, komunitas harus kapabel dan arif  dalam mengidentifikasi dirinya. Kedua, komunitas harus memahami anggota-anggotanya dan merumuskan identitas mereka, di sinilah agama, kebangsaan dan budaya sangat berperan. Ketiga, komunitas seharusnya disadarkan bahwa mereka rentan terhadap streotipe negatif dan diskriminasi.[28]
           E. Pendidikan, Ruang Publik, Dan Ruang Privat
Pendidikan bagi masyarakat modern setidaknya memiliki tiga fungsi. Pertama, pendidikan berfungsi untuk memilih individu-individu sesuai dengan kriteria keahlian mereka, untuk kemudian mempersiapkan mereka menempati peran-peran tertentu di dalam masyarakat. Peran-peran sosial tersebut tentunya sesuai dengan apa yang menjadi keahlian mereka. Kedua, pendidikan juga mengajarkan kemampuan-kemampuan praktis yang dibutuhkan oleh setiap orang untuk mempertahankan hidupnya, seperti untuk bekerja di bidang industri, ekonomi, ataupun bidang-bidang lainnya. Dan ketiga, pendidikan berfungsi untuk mengajarkan nilai-nilai moral. Fungsi terakhir inilah yang seringkali mengalami konflik dengan kepentingan privat.
Adalah wajar, jika pemerintah ikut campur dalam soal pendidikan. Yang terpenting adalah, proses pendidikan ini tidak bersifat eksklusif. Sejauh pengajaran nilai-nilai moral tersebut terkait dengan moralitas kehidupan bernegara, maka sebenarnya campur tangan pemerintah di dalam pendidikan dapatlah dibenarkan. Akan tetapi, setiap kultur di dalam masyarakat memiliki nilai-nilai partikularnya sendiri yang dijunjung tinggi. Masalah muncul, ketika nilai-nilai partikular tersebut bertentangan dengan moralitas kehidupan bernegara yang diajarkan secara umum oleh pemerintah.
Konflik semacam ini banyak terjadi di Inggris. Orang-orang Asia yang tinggal di Inggris seringkali sudah merencanakan pernikahan anak-anak mereka, ketika anak-anak mereka masih dalam usia muda. Dalam beberapa kesempatan, sekolah seirng mengadakan kegiatan berenang bersama, dan kegiatan ini seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Asia yang tidak memperbolehkan wanita yang sudah menikah memakai pakaian renang di hadapan orang yang bukan suaminya. Para pemikir dan aktivis feminisme juga memberikan tanggapan kritis mengenai praktek ini. Mereka berpendapat bahwa pernikahan haruslah muncul dari keinginan individual, dan bukan karena kehendak orang tua. Praktek semacam ini dianggap sebagai praktek yang menindas.
Tentu saja, pandangan itu tidaklah disetujui oleh keluarga yang masih meyakini nilai-nilai ketimuran tertentu. Perjodohan, menurut mereka, adalah tanda kepedulian orang tua pada anak perempuannya, yakni bahwa anak perempuannya sudah ada yang menjaga dan mengusahakan kebahagiaannya. Kemungkinan untuk memperoleh calon suami yang baik juga jauh lebih besar di dalam proses perjodohan, daripada jika hanya mengandalkan pencarian yang acak dan romantis, seperti yang kiranya menjadi cita-cita banyak gadis Eropa. Benturan budaya juga terjadi, ketika kultur Eropa yang sangat terbuka pada seksualitas berhadapan dengan kultur ketimuran tertentu yang masih menempatkan seks sebagai persoalan privat semata. Para feminis, dalam hal ini, menuntut diperbesarnya kebebasan kaum perempuan untuk mengekspresikan seksualitas mereka. Akan tetapi, hal ini secara langsung bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran.
Data tentang terjadinya benturan-benturan nilai semacam itu bisa diperpanjang lagi. Yang penting untuk diketahui adalah bahwa benturan itu terjadi, dan frekuensinya semakin sering sekarang ini. Sebuah masyarakat yang ingin memberi tempat bagi keberagaman kultural sekaligus tetap hendak menjamin kesetaraan kesempatan bagi semua pihak, haruslah berhadapan dengan benturan-benturan nilai semacam ini. Juga diperlukan kesadaran, bahwa pemerintah tetap dapat menjamin kesetaraan partisipasi sosial semua pihak sekaligus tetap memberikan ruang bagi pluralitas kultural anggota masyarakatnya.
Seperti sudah dilihat sebelumnya, pendidikan merupakan bidang yang kental dengan benturan nilai semacam ini. Banyak kultur yang merasa, bahwa sistem pendidikan yang dilangsungkan oleh pemerintah tidaklah menampung nilai-nilai kultural mereka. Oleh sebab itu, mereka kemudian menuntut untuk diberikannya kesempatan mendirikan sekolah yang mengajarkan secara langsung nilai-nilai kultural mereka.
Hal ini banyak terjadi, baik di Eropa, Amerika, maupun Indonesia, dan belum ada kebijakan yang jelas tentang hal ini. Banyak orang-orang yang berasal dari kultur minoritas lalu memutuskan untuk menanamkan nilai-nilai kultural mereka di luar jam sekolah. Hal yang sebenarnya ingin saya tekankan disini adalah, bahwa walaupun kultur minoritas haruslah belajar dari kultur mayoritas, tetapi kultur mayoritas tetap juga harus belajar dari kultur minoritas. Proses ini tentunya akan mendorong terciptanya penghormatan terhadap kesetaraan kultur di dalam masyarakat majemuk.
Persoalan tentang bahasa juga menimbulkan banyak dilema. Bagi kelompok minoritas kultural, pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan bahasa kultur mereka sudah sejak dahulu dianggap sebagai sesuatu yang penting. Hal ini tentunya haruslah mendapatkan akomodasi lebih jauh. Menurut John Rex, adopsi penggunaan bahasa kultur minoritas justru dapat mendorong terjadinya asimilasi yang positif di dalam masyarakat majemuk. Pengakuan terhadap keberadaan bahasa kultur minoritas justru dapat mendorong terciptanya kesetaraan sosial di dalam masyarakat multikultur.[29]
Apa yang ingin ditekankan disini adalah, bahwa tegangan internal di dalam sistem pendidikan haruslah diakui keberadaanya terlebih dahulu, termasuk tegangan antara kepentingan privat dan kepentingan publik di dalam sistem pendidikan. Sekolah, sebagai agen pendidikan, haruslah mengajarkan ketrampilan dan moralitas publik kepada warga negara. Dan lebih dari itu, komunitas sebagai keseluruhan haruslah berpartisipasi di dalam proses pendidikan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan bahasa, agama, dan moral-moral privat. Hanya dengan begitulah masyarakat multikultur yang harmonis dapat terwujud.
Memang, persoalan pendidikan di dalam masyarakat multikultur selalu berkisar di dalam perdebatan ini, apakah pendidikan harus mengacu pada kepentingan untuk mempertahankan kultur minoritas tertentu, atau untuk mengabdi pada kepentingan publik luas secara keseluruhan? Jika pendidikan terlalu mengabdi pada kepentingan publik yang lebih luas, maka identitas kultural akan terancam musnah. Dan sebaliknya, jika pendidikan terlalu berfokus pada nilai-nilai kultural yang bersifat partikular, maka nilai-nilai publik yang lebih luas juga dapat terancam.
Persoalan diperumit dengan problematika kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan sosial seluruh warga negara. Banyak ahli berpendapat, bahwa kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan sosial warga negara haruslah sensitif terhadap perbedaan kultur dan kepercayaan. Jadi diperlukan adanya kesadaran multikulturalisme di dalam kebijakan-kebijakan politik yang terkait dengan kesejahteraan sosial. Penerapan kesadaran semacam ini memang sangatlah sulit. Yang seringkali terjadi bukanlah para pemegang kebijakan publik memiliki kesadaran akan pentingnya penghargaan terhadap kultur minoritas, melainkan orang-orang yang berasal dari kultur minoritas dipaksa menyesuaikan diri dengan keinginan dan kultur para pemegang kebijakan publik. Dilihat secara khusus ataupun secara umum, persoalan pendidikan di dalam masyarakat multikultur masihlah merupakan problematika yang terbuka, dan menuntut refleksi lebih jauh.
Walaupun debat melingkupi ayat-ayat setan mempunyai beberapa corak tidak biasa, sebagian besar timbul dari fakta bahwa hal tersebut melibatkan agama, suatu yang mengagetkan dan baru-baru ini tiba-tiba minoritas imigran dan suatu acara penguburan kematian, adalah tidaklah untuk representatif publik berdebat di depan umum dan debat tersebut menyertakan budaya, religius dan minoritas susila khususnya. Karena itu menawarkan pengertian yang mendalam berharga ke dalam alam, batas-batas dan struktur publik berdebat di dalam suatu masyarakat multikultural, akan berguna bagi kelanjutan sebagian dari pelajaran pentingnya.[30]
           F.      Penutup
Uraian di atas memberikan beberapa ungkapan yang patut untuk direnungkan oleh semua kelompok, baik agamawan maupun politisi maupun masyarakat secara luas, agar agama dan politik dapat memberi peluang agar masyarakat dapat berekspresi dan berpendapat atau berbicara sesuai  kapasitas dan kemampuan masyarakatnya. Tentu saja kebebasan tersebut, tidak kebebasan yang “kebablasan”, dengan kata lain kebebasan berekspresi dan berbicara dibatasi oleh hak-hak oranglain dan masyarakat dilingkungannya.
Masyarakat multikultural (di Indonesia misalnya), kita harus membedakan secara jelas antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah ruang, di mana setiap individu diikat oleh satu set norma-norma yang menjamin kesetaraan kesempatan di dalam segala bidang. Sementara, ruang privat adalah ruang, di mana setiap keragaman kultur diberi tempat, dan diberi pengakuan sepenuhnya.  Ruang publik mencakup dunia hukum, politik, dan ekonomi. Ruang publik mencakup pula pendidikan, sejauh pendidikan terkait dengan pembentukan moralitas publik yang harus dimiliki oleh semua warga negara. Dan pendidikan moral, terutama yang terkait dengan sosialisasi dan penanaman ajaran-ajaran religius, haruslah tetap berada di dalam ruang privat.
Kasus Salman Rushdi misalnya, memang satu sisi The Satanic Verses adalah karya “murni” hasil renungan Rushdi (konon menurut Rushdi tidak bermaksud merendahkan kelompok Islam), tetapi harus dipertimbangkan kondisi psikologis dan budaya Islam yang telah mengakar akan keyakinan kebenaran tentang agamanya (kebenaran dan kesakralan sejarah Muhammad), sehingga bagi kelompok Islam hal itu dianggap sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap Islam.
Maka, baik agama maupun politik serta semua ilmu yang diajarkan kepada masyarakat (khususnya pada para kelompok) terpelajar harus dikenal dengan berbagai bekal keilmuan baik sejarah (history), politik, sosiologi, antropologi, psikologi, dan berbagai ilmu sosial lainnya (dalam istilah Prof. Dr. Amin Abdullah interaksi-intekoneksi), agar dalam berekspresi ataupun berpendapat dapat mempetimbangkan kondisi budaya dan hak-hak orang lain dimana lingkungan ia berada.
The Satanic Verses adalah salah satu contoh kecil sebagai ilustrasi yang menggambarkan dalam Islam (khususnya masalah fatwa) belum bisa membedakan antara religion and politic dengan religion and state. Maka, bila urusan agama dan state harus di gabungkan, terutama dalam rung publik akan mengalami konflik dan diskriminasi yang berkepanjangan. Hal senada yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Amin Abdullah (khususnya dalam Islam) sangat sulit untuk membedakan antara religion and state.
















Daftar Pustaka

Azra,Azyumardi. 2002. Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut kerukunan Antarumat, Jakarta: Buku Kompas.

Bagus, Loren. 2002. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, !990, edisi ke-2.

Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Buku Kompas.

Kurzman, Charles (Ed.). 2001. Agama dan kebebasan dalam Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadinal.

Mahasin, Aswab. 1993. “Agama dan Demokrasi: Bukan Pohon tanpa Akar” dalam Agama, Demokrasi dan Keadilan, Jakarta: Gramedia Pustaka Uatama.

Mulkhan, Abdul Munir. 2002. “Humanisasi politik dan keagamaan: perspektif Islam”, Agama dan Negara Perspektif Islam, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu dan Protestan, Yogyakarta : Institut DIAN/ Interfidei.

Parekh, Bhikhu. 2002. Politics, Religion dan Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory, Cambridge, Massachutts: Harvard University Press.

Purwanto, Edy. 2002. “Agama, Politik dan Negara Perspektif Katolik”, Agama dan Negara Perspektif Islam, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu dan Protestan, (Yogyakarta : Institut DIAN/ Interfidei.

Wibowo, Syafrudi Edi, “Islam dan Hak asasi manusia: perspektif Abdullahi Ahmad An-Na`im”, Jurnal Ilmiah Transpormasi Islam dan kebudayaan MADANIA, Vol. 12, No. 1, Juni 2008.

.








TUGAS MATA KULIAH
Filsafat Agama dan Resolusi Konflik
Dosen pengampu : Prof. Dr. H. Amin Abdullah.







Oleh:
WIRA HADI KUSUMA, S.Sos.I
NIM: 08.215.552







PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
KONSENTRASI STUDI AGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK
YOGYAKARTA
2008




[1] Bhikhu Parekh, Politics, Religion & Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002) hal. 321.
[2]  Catatan kuliah pada hari senin, tanggal 5 Januari 2009
[3]  Ibid.
                [4] Abdul Munir Mulkhan, “Humanisasi politik dan keagamaan: perspektif Islam”, Agama dan Negara Perspektif Islam, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu dan Protestan, (Yogyakarta : Institut DIAN/ Interfidei, 2002, cet. I), hlm. 4.

[5] Charles Kurzman (Ed.), Agama dan kebebasan dalam Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, (Jakarta; Paramadinal, 2001), hal 88.
[6] Renessaince pada abad ke-15 dan ke-16 dimulai dengan perhatian baru terhadap seni Yunani di Italia, khususnya setelah munculnya teknologi percetakan.
[7] Istilah Hak Asasi Manusia adalah suatu konsepsi kebebasan individu dan keadilan sosial yang termaktub dalam deklarasi internasional Hak Asai Manusia ( Univesal Declaration of Human Rights 1948), yng kemudian dipertegas lagi elalui berbagai kesepakatan internasional guna mengimplementasikannya melalui berbagai mekanisme yang memungkinkan. Dalam pengertian seperti ini, HAM merupakan klaim universal tentang hak asasi berlaku bagi semua manusia atas dasar kemanusiaan mereka, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, agama, bahasa, dan asal usul negara. Lihat, Syafrudi Edi Wibowo, “Islam dan Hak asasi manusia: perspektif Abdullahi Ahmad An-Na`im”, Jurnal Ilmiah Transpormasi Islam dan kebudayaan MADANIA, Vol. 12, No. 1, Juni 2008, hlm. 5.
[8]  Edy Purwanto, “Agama, Politik dan Negara Perspektif Katolik”, Agama dan Negara Perspektif Islam, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu dan Protestan, (Yogyakarta : Institut DIAN/ Interfidei, 2002, cet. I), hlm. 23.
[9]  Ibid., hlm. 24.

[10]  Aswab Mahasin, “Agama dan Demokrasi: Bukan Pohon tanpa Akar” dalam Agama, Demokrasi dan Keadilan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Uatama, 1993), hlm. 42.
[11]  Bhikhu Parekh, Politics, Religion & Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002) hal. 321.

[12]  Ibid., hlm. 322.
[13] Ibid., hlm. 327-328.
[14] Ibid., hlm. 330.
[15] Catatan Kuliah pada pada hari Senin, tanggal 5 Januari 2008.
[16]  Ibid., hlm. 331.
[17]  Disampaikan pertemuan ke-8 pada mata kuliah Filsafat Agama dan Resolusi Konflik , diruang 204 PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2008.
[18] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, !990, edisi ke-2), hlm. 90.
[19] Lihat Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 406.
[20] Ibid., hlm. 408-411.
[21] Salaman Rushdi adalah pengarang sejumlah buku. Rushdi dilahirkan di India pada 19 Juni1947, namun tinggal di dan berkebangsaan Inggris. Ia merupakan seorang pengarang penting di akhir abad ke-20 yang terkenal karena campuran unik antara sejarah dan realisme magis dalam karyanya. Sebanyak 13 buku karangannya telah memenangi sejumlah penghargaan, termasuk Booker Prize untuk Midnight's Children pada 1981 dan Booker of Bookers untuk novelnya pada tahun 1993. Ia bersembunyi setelah Ayatollah Khomeini (pemimpin Iran) mengeluarkan fatwa pada tahun 1989 yang memerintahkan kaum Muslim untuk membunuhnya karena dianggap menghina Islam atas bukunya yang berjudul The Satanic Verses. Ia menulis buku pada 1988, berjudul Satanic Verses. Buku ini memasukkan Tuhan dalam Islam (Allah) sebagai tokoh. Banyak negara melarang buku ini. Mereka menemukan buku ini menyerang Islam, dan melarang sejumlah toko buku menjualnya. Pemimpin Agung Iran saat itu Ayatullah Khomeini berpidato di radio tentang Rushdi. Ia berkata bahwa Rushdi telah keluar dari Islam (murtadin). Rushdi dan sang penerbit buku diberi fatwa mati. Pada 1989, pemerintah Inggris mulai melindungi Rushdi, bahkan tanggal 7 Maret 1989 Iran memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Inggris karena masalah ini. Pada 1990, Rushdi menulis esai, mencoba membuktikan ia masih beriman pada Islam. Istri pertamanya adalah Clarissa Luard, dengan masa pernikahan 1976-1987 dan lahir seorang anak bernama Zafar Rushdi. Istri keduanya adalah seorang novelis Amerika bernama Marianne Wiggins, yang menikah pada 1988 dan cerai pada 1993. Istri ketiganya adalah Elizabeth West (1997-2004) dengan seorang anak bernama Milan Rushdi. Sejak 2004, ia menikahi aktris dan model India Padma Lakshmi dan kemudian bercerai pada pertengahan 2007. Pada 16 Juni 2007, Salman Rushdie memperoleh anugerah gelar kebangsawanan dari Ratu Elizabeth II. Bersama seorang wartawan CNN dan agen ganda KGB, ia menerima gelar ksatria yang menandai perayaan ulang tahun Ratu Elizabeth II. Iran mengecam keputusan Inggris untuk menganugerahi gelar ksatria kepadanya dan mengatakan penganugerahan itu menghina dunia Islam. Penganugerahan gelar keksatriaan (knighthhood) telah memicu pertengkaran diplomatik dengan sejumlah negara. Menurut kantor berita IRNA, Kementrian Luar Negeri Iran memanggil Duta Besar Geoffrey Adams dan menyatakan bahwa keputusan pemberian gelar merupakan "langkah provokatif" yang membuat berang kaum Muslim. Pakistan juga memanggil Komisioner Tinggi Inggris Robert Brinkley. Sekitar 20 aktivis Partai Aliansi Islam Malaysia (PAS) berdemonstrasi di depan Gedung Komisi Tinggi Inggris di Kuala Lumpur
[22] The Satanic Verses adalah novel ke-empat karya Salman Rushdi, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1988, dan sebagian terinspirasikan dari kisah hidup Muhammad. Judulnya merujuk pada apa yang diketahui sebagai ayat-ayat setan. Dalam novel ini, sang tokoh utama yang bernama Mahound (yang kemungkinan besar merujuk pada Muhammad) diceritakan secara kilas balik paralel dengan dua tokoh utama lainnya Gibreel Farishta dan Saladin Chamcha. Di Britania Raya, novel ini diterima dengan baik oleh para kritikus, dan menjadi finalis Booker Prize rahun 1988, walaupun dikalahkan oleh Oscar and Lucinda karya Peter Carey yang memenangkan Whitbread Award 1988 untuk novel terbaik tahun itu. Namun di komunitas Muslim, novel ini menghasilkan kontroversi yang luar biasa. Buku ini tidak boleh beredar di India, dan banyak dibakar pada demonstrasi di Britania Raya. Novel ini juga menyulutkan kerusuhan di Pakistan pada tahun 1989.
[23] Bhikhu Parekh, Politics, Religion dan Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002) hal. 318.

[24] Ibid., hlm. 321.
[25] Ibid., hlm. 313.
[26] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Buku Kompas, 2003), hlm. 95.
[27] Bhikhu Parekh, Politics, Religion dan Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002) hal. 313.
[28] Ibid., hlm. 315-316.
[29] Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut kerukunan Antarumat, (Jakarta: Buku Kompas, 2002), hlm. 35.
[30] Bhikhu Parekh, Politics, Religion dan Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002) hal. 304.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar