POLITICS, RELIGION AND FREE SPEECH
Oleh
: Wira Hadi Kusuma.
A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang paling
mulia dari pada makhluk lainnya, sehingga dengan kemuliaannya ia dijadikan
Tuhan sebagai khalifah fi al-ard. Sebagai wakil tuhan manusia diberi kebebasan untuk mengelolah alam
semasta. Dalam prakteknya kebebasan ini mengalami kemandekan kerena terjadi
konflik yang panjang antara egoisme kelompok yang mengatas namakan agama (religion) dan politik (politic).
Tuhan yang maha
kuasa, yang ditafsirkan dan disakralisasikan tanpa bisa dikritik. Maka dalam
prakteknya para penguasa dengan dalih agama dapat menghalalkan segala cara.
Sehingga menurut Bhiku Parekh antara religion
and politic sulit dipisahkan dalam kehidupan manusia,[1]
hal ini juga bagi Prof Amin Abdullah
selama manusia hidup sulit memisahkan antara religion and politic.[2]
Tetapi yang harus mendapat perhatian
serius di era modern ini adalah antara religion and state, menurut
Parekh hal inilah salah satu penyabab konflik yang berkepanjangan terutama bila
agama (religion) dibawa keruang “public.”[3]
Sejarah politik dipenuhi konflik dan
kekerasan yang memperoleh pembenaran keagamaan. Sebaliknya, dinamika keagamaan
penuh konspirasi politik dari mereka yang menyatakan membela Tuhan dan
agama-Nya. Kekuasaan politik yang melegitimasi keagamaan atau sebaliknya,
membuat keduanya eksklusif, dalam pelaksanaannya penuh dengan kekerasan
intelektual, spiritual dan fisikal. Hal ini terjadi karena pemahaman tentang
Tuhan dan agama-Nya dipahami eksklusif yang menafikan kemanusiaan.[4]
Di Barat sejarah
kemanusiaan yang mencari format agar konflik yang terjadi dapat
diminimalisasikan. Membicarakan asal usul gagasan kemerdekaan Eropa tentunya
membicarakan tentang akar liberalisme modern pada abad ke-15, ketika
pemerintahan feodal sedang berjuang untuk memerdekakan diri mereka sendiri dari
hegemoni Paus dan gereja (Kristen Katholik). Pada saat itu, bangsa-bangsa yang
merdeka dan berdaulat belum ada. Setiap kota atau kerajaan berada di bawah
perwalian pangeran atau bangsawan. Para bangsawan atau penguasa feodal ini,
pada gilirannya, di bawah pengaruh pendeta setempat dan Paus Suci Roma. Negara
yang paling kacau adalah Italia. Di sinilah muncul seorang Filosof bernama Niccolo
Machiavelli (1469-1527) bukunya The Prince, memberikan kerangka filsafat
yang kemudian dikenal dengan Machiavellianisme.[5]
Mengikuti
pembebasan negara-negara dari hegemoni Gereja Katholik dan Paus, pemikiran yang
bebas dan ilmiah bererti membebaskan dirinya dari hegemoni inkusisi yang
menakutkan. Hasilnya adalah kekangan tradisi keagamaan dan otoritas atas
pemikiran dan kehidupan rakyat menjadi longgar; tetapi ia meminta korban ilmuan
besar seperti Galileo Galilei (1564-1642) Pemikiran yang bersifat investigatif
dan akal yang sedang berkembang tidak lagi mengalami kekakuan, stagnasi dan
tirani kependetaan Katholik.
Langkah
selanjutnya dalam Renaisans Eropa adalah reformasi keagamaan dan Protestanisme
yang dilakukan di bawah pimpinan Marthin Luther (1483-1546), John Calvin
(1509-1564), dan yang lainnya. Umat Protestan menolak tahayul dan larangan-larangan
agama Katholik. Mereka bertujuan kembali kepada kemurnian ajarannya yang
sederhana, spiritualitas dan kebebasan. Demikian juga mereka berjuang bagi
kebebasan berseni dan berbudaya.[6]
Gerakan ini memuncak pada pencarian bagi kebebasan sosial dan politik dituntut
oleh revolusi Prancis yang Agung (1789-1799) dan Rezim demokratis lainnya,
hingga pada tahun 1948 oleh PBB di deklarasikan HAM.[7]
B. Agama,
Politik dan Ruang Publik
Menurut Hans Kung, agama adalah suatu
realisasi sosio individu yang hidup (dalam ajaran, tingkah laku, ritus/upacara
keagamaan) dari suatu relasi dengan melampawi kodarat manusia dan dunianya dan
berlangsung lewat tradisi dan dalam masyarakatnya.[8]
Politik adalah seperangkat makna atau
nilai-nilai serta pilihan-pilihan yang diambil dari dalam masyarakat untuk
membenarkan fungsi tatanan masyarakat yang berlaku. Nilai-nilai terjadi bila dalam
masyarakat terdapat ideologi dan kekuasaan yang menjamin efektivitasnya.
Sedangkan ideologi dapat diartikan sebagai bentuk imajinasi sosial yang
menerangkan eksistensi suatu masyarakat, cita-cita yang hendak diwujudkan serta
mendorong kearah tindakan (praktis).[9]
Dari penjelasan tentang defenisi
agama dan politik pada dasarnya tersirat tujuan untuk mengusahakan keselamatan
dan kesejahteraan masyarakat dalam suatu bangsa sesuai dengan harkat
kemanusiaannya dan demi persahabatan dan perdamaian antar bangsa tetap terjaga.
Walaupun dalam praktiknya hal ini belum begitu membuahkan hasil yang “manis”,
sehingga dirasakankan oleh masyarakat secara umum.
Selama ini ada keinginan sebagian
kelompok (terutama masyarakat sekuler) untuk memisahkan agama dan politik, agar
agama tetap sakral dan tidak digunakan menjadi alat melegitimasi politik.[10]
Kaum sekuler menganggap bahwa agama adalah persoalan personal, sedangkan
politik adalah aktivitas public dan communal. Agama terkait soal
nasib jiwa manusia, sementara politik terkait persoalan kerjasama di dunia.
Agama adalah persoalan keyakinan yang tidak dapat dipaksakan, sedangkan politik
menyangkut pemaksaan dan berlangsung dengan hal-hal yang konformitas dapat dituntut dengan pemberian hukuman.[11]
Bagi kaum sekuler memandang agama
secara berbeda dan terdapat dua pendapat yang lazim, yaitu; pertama, pendapat yang memisahkan negara dan
agama. Seharusnya negara tidak melaksanakan, mengatur dan mengesahkan agama.
Negara mesti diselenggarakan atas dasar kesepakatan bersama oleh warga
negaranya. Kedua, merupakan pendapat yang lebih kuat, juga memisahkan agama dan
politik, dan menganggap bahwa pertimbangan-pertimbangan politik hendaknya dihubungkan
dengan konsep-konsep sekuler itu sendiri.
Meski agama merupakan hak pokok bagi
individu-individu, tapi bagi warga negara
selayaknya berdiri di atas agama yang dikendalikan oleh prinsip-prinsip
sekuler, karena politik adalah hasil kesepakatan semata.[12]
Bila dilihat secara bijak, menurut Bhikhu Parekh pendapat kaum sekuler juga
sebetulnya kurang demokratis dan mengabaikan sebagian besar keinginan warga
Negara.
Agama adalah fakta sosial dan
sepanjang sejarah tidak ada negara yang mengabaikan peran agama. Menurut Parekh
Kaum sekuler telah salah yang menganggap agama memiliki sedikit kontribusi bagi
kehidupan politik. Secara historis,
berbicara agama adalah sumber munculnya berbagai gerakan emansipatoris, seperti
gerakan anti perbudakan, anti penjajahan, dan lain sebagainya, yang sering
dipimpin oleh tokoh-tokoh agama sebagai bentuk komitmen mereka terhadap ajaran
agama. Agama juga berperan dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan kebijakan
dan memelihara sensitivitas. Agama mempunyai dimensi-dimensi universal dan
kemanusiaan yang dapat digunakan untuk mengkritik berbagai kecenderungan kaum
nasionalis.[13]
Sehingga menurut Parekh religion and
politic, “it is Ok” (sulit memisahkannya), tetapi bila dalam ruang “public”
religion and states harus dibedakan atau dipisahkan. Karena agama yang
dalam prakteknya menurut Parekh absolutist, self-righteous, arrogant,
dogmatic and impatient of compromise.[14]
Sedangkan bagi Prof. Amin Abdullah
dalam agama terdapat unsur volutory (suka rela) dan guidance, sedangkan
dalam states sifatnya compulsory dan governance.[15]
Sehingga menurutnya agama di ruang “public” harus dipisahkan agar konflik
yang terjadi dapat diminimalisaisikan.
Melalui berbagi forum antar agama,
agama membuktikan peranannya dalam membangun pola kehidupan politik, melalui
saling memahami dan sharing pendapat dalam berbagai persoalan. Dalam konteks
inilah agama perlu diajarkan disekolah-sekolah, bagaimana hidup bersama dalam
kelompok, termasuk berpolitik dan bernegara. Memang harus diakui pengajaran
agama yang ada disekolah-sekolah mengalami kesulitan (khususnya di Indonesia),
selain waktu yang diberikan relative singkat, juga penguasaan materi yang
diajarkan hanya terfokus pada ajaran doktrin belaka, misalnya dalam Islam
tentang fiqih, tauhid, akhlak, hadist dan lain-lain. sehingga seolah-olah
dirasakan belum begitu menyentuh persoalan manusia sebagai masyarakat secara menyaluruh.
Menurut Bhikhu Parekh dalam berbagai
ilmu yang diajarkan kepada anak didik, seperti sejarah, ilmu kewarganegaraan
dan juga berbagai ilmu sosial (ilmu politik, ilmu antropologi, sosiologi,
psikologi) lainnya dapat digunakan untuk pendekatan dalam belajar agama.[16]
Dalam konteks ini penulis sepakat bahwa agama tidak hanya diajarkan tentang
doktrin-doktrin keagamaan tentang hubungan manusia dengan tuhan saja, tetapi
lebih kepada semua persoalan yang berkaitan tentang kehidupn sosial, yang dalam
realitasnya manusia hidup dalam masyarakat multikultural. Meminjam istilah Prof.
Dr. Amin Abdullah, pengajaran agama harus diajarkan melalui
integrasi-interkoneksi agar agama tidak dipandang hanya ”peduli” pada persoalan
spiritual belaka.[17]
Memang hal ini tidak mudah untuk diwujudkan, karena dibutuhkan orang-orang yang
tidak hanya memahami ilmu agama saja, tetapi berbagai ilmu terkait, agar ilmu
agama tidak terkesan “statis” dan “membosankan.”
C. Kebebasan Berbicara
Bebas berarti lepas sama sekali
(tidak terhalang, terganggu, dan lain sebagainya sehingga dapat bergerak,
berbicara dan berbuat dengan leluasa). Membebaskan bermakna melepaskan diri
dari ikatan, tuntunan, tekanan, hukuman kekuasaan dan lain sebagainya.
Sedangkan kebebasan adalah kemerdekaan atau dalam keadaan bebas.[18]
Sedangkan menurut Loren Bagus, kebebasan (freedom) adalah merupakan
suatu keadaan tidak dipaksa atau ditentukan oleh sesuatu dari luar, atau mampu
bertindak sesuai dengan apa yang disukai.[19]
Istilah kebebasan seringkali
disebut-sebut sebagai bentuk ekspresi manusia sebagai makhluk yang merdeka. Ia
melekat sekaligus berwujud dalam bentuk tingkahlaku manusia. Manusia sebagai
makhluk yang merdeka atau bebas, maka Bagus juga mendefinisikan kebebasan juga
dipahami berpusai pada tindakan yang lahir dari motif-motif internal dan bukan
eksternal. Maka hal inilah dianggap sebagian orang untuk melakukan kebebasan
sebagai pilihan yang merupakan hasil dari sifat dasariah manusia, tanpa
pengaruh dari luar.[20]
Dalam berbagai konteksnya, banyak
orang melakukan sesuatu berdasarkan kebebasan ini, sehingga dalam praktenya
kebebasan pribadi acapkali kurang memperhatikan hak-hak masyarakat, yang merasa
prilaku kebebasan pribadi telah melanggar kebebasan orang banyak. Misalnya
kasus kebebasan yang dilakukan oleh Salman Rushdi dengan
The Satanic Versesnya.[21]
Sehingga muncul reaksi dari masyarakat Islam yang akhirnya oleh Imam Khomaeini
yang menentukan, yang menghukum mati Salman Rushdi karena novelnya The
Satanic Verses (1988), Di Iran, sebagaimana yang sesungguhnya terjadi di
sebagian dunia muslim-novel ini dipandang sebagai upaya sengaja menghina dan
mengejek tokoh-tokoh yang dihormati dalam Islam.
Fatwa merupakan istilah Islam lain yang kini dikenal
Barat karena penggunaannya melawan Salman Rushdi, penulis The Satanic Verses
(1988). Istilah ini berarti pendapat atau keputusan resmi mengenai sebuah pokok
hukum Islam. Sebuah fatwa dapat dikeluarkan oleh setiap pemimpin agama
menyangkut berbagai topik. Ia tidak memiliki status hukum dan sebenarnya, harus
diratifikasi dalam suatu pengadilan yang sesuai, jika akan menyandang status
hukum. Jangkauan otoritas fatwa secara umum juga terbatas secara geografis
serta budaya, dalam ruang lingkup otoritas pemuka muslim yang mengeluarkan
fungsi fatwa tersebut.
Fatwa Imam Khomaeini yang menentukan, yang menghukum
mati Salman Rushdi karena novelnya The Satanic Verses (1988), perlu
diletakkan dalam konteks historis ini. Di Iran, sebagaimana yang sesungguhnya
terjadi di sebagian dunia muslim-novel ini dipandang sebagai upaya sengaja
menghina dan mengejek tokoh-tokoh yang dihormati dalam Islam. Setiap tokoh
agama di Iran akan melakukan apa yang telah dilakukan Khomeini. Penting untuk
diingat bahwa muslim di negara-negara Islam dilindungi oleh undang-undang
penghinaan. Di Pakistan dan Iran, mengolok-olok Al Qur’an dan Nabi adalah
sebuah pelanggaran konstitusi. Intinya disini bukanlah bahwa muslim menghormati
Al Qur’an dan Nabi karena hal itu terdapat dalam konstitusi mereka, tetapi
lebih pada pengertian bahwa konstitusi mereka mencerminkan harapan muslim
dengan mewujudkan tuntutan publik ini dalam hukum-hukumnya.
The Satanic
Verses telah menimbulkan
beberapa persoalan, yaitu logika dialog interkultural, keseimbangan interkultural,
haka dan kewajiban bagi kaum imigran, fitnah komunal, dasar-dasar kebebasan
berbicara dan penempatan agama dalam kehidupan publik. Rushdi mengaku bahwa
dalam menulis novelnya ia menempatkan dirinya sebagai “orang bebas,” tetapi
kebebasan yang dimiliki oleh Rushdi[22]
dianggap telah merendahkan kelompok lain (Islam).
Kebebasan
berbicara akan mempunyai dampak yang berbeda-beda, tergantung pada sejarah
suatu komunitas, tradisi yang berkembang, keadaan politik dan lain-lain.[23]
Dalam negara dengan sejarah kekerasan antar etnis, atau telah terjadi
ketegangan sistem antar kelompok, atau agama telah menjadi identitas kelompok
kebebasan berbicara akan mengalami kendala yang besar.
Dalam
melihat kasus Rushdi tersebut terdapat dua faktor yang perlu dilihat secara
arif, satu sisi itu merupakan buku murni hasil renungan Rushdi, bukan sejarah
atau polemik tetapi novel, namun disisi lain pesan-pesanya merefleksikan makna
buruk, mengandung tema-tema besar secara kasar dan berbahasa yang menyerang. Bagaimanapun protes yang dilakukan oleh umat
Islam mengandung beberapa hal, yaitu untuk mengekspresikan celaan terhadap
Islam (membelah diri), untuk mengingat para penulis berikutnya agar
mempertimbangkan etika dan memperhatikan masyarakat lain, untuk mengajak
masyarakat Inggris mempertimbangkan tentang batas dan dasar kebebasan
berpendapat.[24]
Penting untuk dicermati kasus the satanic verses Salman Rushdi juga
menggambarkan kondisi Umat Islam yang masih jauh tertinggal terutama dalam
membedakan antara agama (religion) dan politik (politic) dengan
agama (religion) dan negara (state).
D. Fitnah
Kelompok
The Satanic Verses telah menimbulkan beberapa persoalan
penting, termasuk fitnah kelompok di
dalamnya. Fitnah bukan sekedar mengatakan tidak benar, tetapi telah merendahkan
martabat, merusak posisi sosial dan menghancurkan reputasi yang difitnah.[25]
Sebagaimana
individu, kelompok juga dapat menjadi objek fitnahan, dimana akan menjadi beban
anggota-anggotanya. Sehingga dengan fitnahan communal ini dapat mengakibatkan
keterasingan secara sosial maupun politik. Secara moral dan etika politik,
fitnahan kelompok tidak dapat dibenarkan dan diterima, apalagi yang berhubungan
dengan kebencian terhadap ras, perlawanan agama dan kebencian etnis.[26]
Menurut Bhikhu
Parekh Larangan atau ketidaksetujuan terhadap fitnah communal akan berdampak
positif atau paling tidak akan memunculkan 3 (tiga) hal penting, yaitu:
1. ketulusan mencari
kebenaran, kebebasan berpendapat, ketentraman suatu komunitas masyarakat bahwa
mereka tidak boleh dibuat terasing.
2. sejak ada komunitas baru
atau seseorang baru, misalnya perkawinan antar komunitas berbeda, mereka harus
dilindungi dari berbagai fitnahan.
3. hukum dapat dipertimbangkan
untuk melindungi keberadaan kelompok dan nama baik suatu kelompok.[27]
Parekh juga
menawarkan solusi bagi suatu komunitas agar dapat mencegah fitnahan, menurutnya
komunitas harus; pertama, komunitas harus kapabel dan arif dalam mengidentifikasi dirinya. Kedua,
komunitas harus memahami anggota-anggotanya dan merumuskan identitas mereka, di
sinilah agama, kebangsaan dan budaya sangat berperan. Ketiga, komunitas
seharusnya disadarkan bahwa mereka rentan terhadap streotipe negatif dan diskriminasi.[28]
E. Pendidikan,
Ruang Publik, Dan Ruang Privat
Pendidikan bagi masyarakat modern
setidaknya memiliki tiga fungsi. Pertama, pendidikan berfungsi untuk memilih
individu-individu sesuai dengan kriteria keahlian mereka, untuk kemudian
mempersiapkan mereka menempati peran-peran tertentu di dalam masyarakat.
Peran-peran sosial tersebut tentunya sesuai dengan apa yang menjadi keahlian
mereka. Kedua, pendidikan juga mengajarkan kemampuan-kemampuan praktis yang
dibutuhkan oleh setiap orang untuk mempertahankan hidupnya, seperti untuk
bekerja di bidang industri, ekonomi, ataupun bidang-bidang lainnya. Dan ketiga,
pendidikan berfungsi untuk mengajarkan nilai-nilai moral. Fungsi terakhir
inilah yang seringkali mengalami konflik dengan kepentingan privat.
Adalah wajar, jika pemerintah ikut campur dalam
soal pendidikan. Yang terpenting adalah, proses pendidikan ini tidak bersifat
eksklusif. Sejauh pengajaran nilai-nilai moral tersebut terkait dengan
moralitas kehidupan bernegara, maka sebenarnya campur tangan pemerintah di
dalam pendidikan dapatlah dibenarkan. Akan tetapi, setiap kultur di dalam
masyarakat memiliki nilai-nilai partikularnya sendiri yang dijunjung tinggi.
Masalah muncul, ketika nilai-nilai partikular tersebut bertentangan dengan
moralitas kehidupan bernegara yang diajarkan secara umum oleh pemerintah.
Konflik semacam ini banyak terjadi di Inggris.
Orang-orang Asia yang tinggal di Inggris seringkali sudah merencanakan
pernikahan anak-anak mereka, ketika anak-anak mereka masih dalam usia muda.
Dalam beberapa kesempatan, sekolah seirng mengadakan kegiatan berenang bersama,
dan kegiatan ini seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Asia yang tidak
memperbolehkan wanita yang sudah menikah memakai pakaian renang di hadapan
orang yang bukan suaminya. Para pemikir dan aktivis feminisme juga memberikan
tanggapan kritis mengenai praktek ini. Mereka berpendapat bahwa pernikahan
haruslah muncul dari keinginan individual, dan bukan karena kehendak orang tua.
Praktek semacam ini dianggap sebagai praktek yang menindas.
Tentu saja, pandangan itu tidaklah disetujui
oleh keluarga yang masih meyakini nilai-nilai ketimuran tertentu. Perjodohan,
menurut mereka, adalah tanda kepedulian orang tua pada anak perempuannya, yakni
bahwa anak perempuannya sudah ada yang menjaga dan mengusahakan kebahagiaannya.
Kemungkinan untuk memperoleh calon suami yang baik juga jauh lebih besar di
dalam proses perjodohan, daripada jika hanya mengandalkan pencarian yang acak
dan romantis, seperti yang kiranya menjadi cita-cita banyak gadis Eropa. Benturan
budaya juga terjadi, ketika kultur Eropa yang sangat terbuka pada seksualitas
berhadapan dengan kultur ketimuran tertentu yang masih menempatkan seks sebagai
persoalan privat semata. Para feminis, dalam hal ini, menuntut diperbesarnya
kebebasan kaum perempuan untuk mengekspresikan seksualitas mereka. Akan tetapi,
hal ini secara langsung bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran.
Data tentang terjadinya benturan-benturan nilai
semacam itu bisa diperpanjang lagi. Yang penting untuk diketahui adalah bahwa
benturan itu terjadi, dan frekuensinya semakin sering sekarang ini. Sebuah
masyarakat yang ingin memberi tempat bagi keberagaman kultural sekaligus tetap
hendak menjamin kesetaraan kesempatan bagi semua pihak, haruslah berhadapan
dengan benturan-benturan nilai semacam ini. Juga diperlukan kesadaran, bahwa
pemerintah tetap dapat menjamin kesetaraan partisipasi sosial semua pihak
sekaligus tetap memberikan ruang bagi pluralitas kultural anggota
masyarakatnya.
Seperti sudah dilihat sebelumnya, pendidikan merupakan
bidang yang kental dengan benturan nilai semacam ini. Banyak kultur yang
merasa, bahwa sistem pendidikan yang dilangsungkan oleh pemerintah tidaklah
menampung nilai-nilai kultural mereka. Oleh sebab itu, mereka kemudian menuntut
untuk diberikannya kesempatan mendirikan sekolah yang mengajarkan secara
langsung nilai-nilai kultural mereka.
Hal ini banyak terjadi, baik di Eropa, Amerika,
maupun Indonesia, dan belum ada kebijakan yang jelas tentang hal ini. Banyak
orang-orang yang berasal dari kultur minoritas lalu memutuskan untuk menanamkan
nilai-nilai kultural mereka di luar jam sekolah. Hal yang sebenarnya ingin saya
tekankan disini adalah, bahwa walaupun kultur minoritas haruslah belajar dari
kultur mayoritas, tetapi kultur mayoritas tetap juga harus belajar dari kultur
minoritas. Proses ini tentunya akan mendorong terciptanya penghormatan terhadap
kesetaraan kultur di dalam masyarakat majemuk.
Persoalan tentang bahasa juga menimbulkan banyak
dilema. Bagi kelompok minoritas kultural, pengajaran yang dilakukan dengan
menggunakan bahasa kultur mereka sudah sejak dahulu dianggap sebagai sesuatu
yang penting. Hal ini tentunya haruslah mendapatkan akomodasi lebih jauh.
Menurut John Rex, adopsi penggunaan bahasa kultur minoritas justru dapat
mendorong terjadinya asimilasi yang positif di dalam masyarakat majemuk.
Pengakuan terhadap keberadaan bahasa kultur minoritas justru dapat mendorong
terciptanya kesetaraan sosial di dalam masyarakat multikultur.[29]
Apa yang ingin ditekankan disini adalah, bahwa
tegangan internal di dalam sistem pendidikan haruslah diakui keberadaanya
terlebih dahulu, termasuk tegangan antara kepentingan privat dan kepentingan
publik di dalam sistem pendidikan. Sekolah, sebagai agen pendidikan, haruslah
mengajarkan ketrampilan dan moralitas publik kepada warga negara. Dan lebih
dari itu, komunitas sebagai keseluruhan haruslah berpartisipasi di dalam proses
pendidikan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan bahasa, agama, dan
moral-moral privat. Hanya dengan begitulah masyarakat multikultur yang harmonis
dapat terwujud.
Memang, persoalan pendidikan di dalam masyarakat
multikultur selalu berkisar di dalam perdebatan ini, apakah pendidikan harus
mengacu pada kepentingan untuk mempertahankan kultur minoritas tertentu, atau
untuk mengabdi pada kepentingan publik luas secara keseluruhan? Jika pendidikan
terlalu mengabdi pada kepentingan publik yang lebih luas, maka identitas kultural
akan terancam musnah. Dan sebaliknya, jika pendidikan terlalu berfokus pada
nilai-nilai kultural yang bersifat partikular, maka nilai-nilai publik yang
lebih luas juga dapat terancam.
Persoalan diperumit dengan problematika kebijakan yang terkait dengan
kesejahteraan sosial seluruh warga negara. Banyak ahli berpendapat, bahwa
kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan sosial warga negara haruslah
sensitif terhadap perbedaan kultur dan kepercayaan. Jadi diperlukan adanya
kesadaran multikulturalisme di dalam kebijakan-kebijakan politik yang terkait
dengan kesejahteraan sosial. Penerapan kesadaran semacam ini memang sangatlah
sulit. Yang seringkali terjadi bukanlah para pemegang kebijakan publik memiliki
kesadaran akan pentingnya penghargaan terhadap kultur minoritas, melainkan
orang-orang yang berasal dari kultur minoritas dipaksa menyesuaikan diri dengan
keinginan dan kultur para pemegang kebijakan publik. Dilihat secara khusus
ataupun secara umum, persoalan pendidikan di dalam masyarakat multikultur masihlah
merupakan problematika yang terbuka, dan menuntut refleksi lebih jauh.
Walaupun debat melingkupi ayat-ayat setan
mempunyai beberapa corak tidak biasa, sebagian besar timbul dari fakta bahwa
hal tersebut melibatkan agama, suatu yang mengagetkan dan baru-baru ini
tiba-tiba minoritas imigran dan suatu acara penguburan kematian, adalah
tidaklah untuk representatif publik berdebat di depan umum dan debat tersebut
menyertakan budaya, religius dan minoritas susila khususnya. Karena itu
menawarkan pengertian yang mendalam berharga ke dalam alam, batas-batas dan
struktur publik berdebat di dalam suatu masyarakat multikultural, akan berguna
bagi kelanjutan sebagian dari pelajaran pentingnya.[30]
F.
Penutup
Uraian di atas memberikan beberapa ungkapan yang
patut untuk direnungkan oleh semua kelompok, baik agamawan maupun politisi
maupun masyarakat secara luas, agar agama dan politik dapat memberi peluang
agar masyarakat dapat berekspresi dan berpendapat atau berbicara sesuai kapasitas dan kemampuan masyarakatnya. Tentu
saja kebebasan tersebut, tidak kebebasan yang “kebablasan”, dengan kata lain
kebebasan berekspresi dan berbicara dibatasi oleh hak-hak oranglain dan
masyarakat dilingkungannya.
Masyarakat multikultural (di Indonesia misalnya),
kita harus membedakan secara jelas antara ruang publik dan ruang privat. Ruang
publik adalah ruang, di mana setiap individu diikat oleh satu set
norma-norma yang menjamin kesetaraan kesempatan di dalam segala bidang.
Sementara, ruang privat adalah ruang, di mana setiap keragaman kultur
diberi tempat, dan diberi pengakuan sepenuhnya. Ruang publik mencakup dunia hukum,
politik, dan ekonomi. Ruang publik mencakup pula pendidikan, sejauh pendidikan
terkait dengan pembentukan moralitas publik yang harus dimiliki oleh semua
warga negara. Dan pendidikan moral, terutama yang
terkait dengan sosialisasi dan penanaman ajaran-ajaran religius, haruslah tetap
berada di dalam ruang privat.
Kasus Salman
Rushdi misalnya, memang satu sisi The Satanic Verses adalah karya “murni”
hasil renungan Rushdi (konon menurut Rushdi tidak bermaksud merendahkan
kelompok Islam), tetapi harus dipertimbangkan kondisi psikologis dan budaya
Islam yang telah mengakar akan keyakinan kebenaran tentang agamanya (kebenaran
dan kesakralan sejarah Muhammad), sehingga bagi kelompok Islam hal itu dianggap
sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap Islam.
Maka, baik agama
maupun politik serta semua ilmu yang diajarkan kepada masyarakat (khususnya
pada para kelompok) terpelajar harus dikenal dengan berbagai bekal keilmuan
baik sejarah (history), politik, sosiologi, antropologi, psikologi, dan
berbagai ilmu sosial lainnya (dalam istilah Prof. Dr. Amin Abdullah
interaksi-intekoneksi), agar dalam berekspresi ataupun berpendapat dapat
mempetimbangkan kondisi budaya dan hak-hak orang lain dimana lingkungan ia
berada.
The Satanic
Verses adalah salah satu contoh
kecil sebagai ilustrasi yang menggambarkan dalam Islam (khususnya masalah
fatwa) belum bisa membedakan antara religion and politic dengan religion
and state. Maka, bila urusan agama dan state harus di gabungkan, terutama
dalam rung publik akan mengalami konflik dan diskriminasi yang berkepanjangan.
Hal senada yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Amin Abdullah (khususnya dalam
Islam) sangat sulit untuk membedakan antara religion and state.
Daftar Pustaka
Azra,Azyumardi. 2002. Reposisi Hubungan Agama dan
Negara Merajut kerukunan Antarumat, Jakarta: Buku Kompas.
Bagus, Loren. 2002. Kamus Filsafat, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, !990, edisi ke-2.
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta:
Buku Kompas.
Kurzman,
Charles (Ed.). 2001. Agama dan kebebasan dalam Wacana Islam Liberal,
Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadinal.
Mahasin, Aswab.
1993. “Agama dan Demokrasi: Bukan Pohon tanpa Akar” dalam Agama, Demokrasi
dan Keadilan, Jakarta: Gramedia Pustaka Uatama.
Mulkhan, Abdul
Munir. 2002. “Humanisasi politik dan keagamaan: perspektif Islam”, Agama dan
Negara Perspektif Islam, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu dan Protestan, Yogyakarta
: Institut DIAN/ Interfidei.
Parekh,
Bhikhu. 2002. Politics, Religion dan Free Speech in Rethinking
Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory, Cambridge,
Massachutts: Harvard University Press.
Purwanto, Edy.
2002. “Agama, Politik dan Negara Perspektif Katolik”, Agama dan Negara
Perspektif Islam, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu dan Protestan, (Yogyakarta
: Institut DIAN/ Interfidei.
Wibowo, Syafrudi
Edi, “Islam dan Hak asasi manusia: perspektif Abdullahi Ahmad An-Na`im”, Jurnal
Ilmiah Transpormasi Islam dan kebudayaan MADANIA, Vol. 12, No. 1, Juni
2008.
.
TUGAS MATA KULIAH
Filsafat Agama dan Resolusi Konflik
Dosen pengampu : Prof. Dr. H. Amin Abdullah.
![](file:///C:/Users/HP/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
Oleh:
WIRA HADI KUSUMA, S.Sos.I
NIM: 08.215.552
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA PROGRAM STUDI
AGAMA DAN FILSAFAT
KONSENTRASI STUDI AGAMA DAN
RESOLUSI KONFLIK
YOGYAKARTA
2008
[1] Bhikhu Parekh, Politics, Religion
& Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and
Political Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002)
hal. 321.
[2] Catatan kuliah pada hari
senin, tanggal 5 Januari 2009
[3] Ibid.
[4]
Abdul Munir Mulkhan, “Humanisasi politik dan keagamaan: perspektif Islam”, Agama
dan Negara Perspektif Islam, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu dan Protestan, (Yogyakarta
: Institut DIAN/ Interfidei, 2002, cet. I), hlm. 4.
[5] Charles Kurzman (Ed.), Agama dan
kebebasan dalam Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer
Tentang Isu-isu Global, (Jakarta; Paramadinal, 2001), hal 88.
[6] Renessaince pada abad ke-15 dan ke-16
dimulai dengan perhatian baru terhadap seni Yunani di Italia, khususnya setelah
munculnya teknologi percetakan.
[7] Istilah Hak Asasi Manusia adalah suatu konsepsi kebebasan individu
dan keadilan sosial yang termaktub dalam deklarasi internasional Hak Asai
Manusia ( Univesal Declaration of Human Rights 1948), yng kemudian dipertegas lagi
elalui berbagai kesepakatan internasional guna mengimplementasikannya melalui
berbagai mekanisme yang memungkinkan. Dalam pengertian seperti ini, HAM
merupakan klaim universal tentang hak asasi berlaku bagi semua manusia atas
dasar kemanusiaan mereka, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, agama, bahasa,
dan asal usul negara. Lihat, Syafrudi Edi Wibowo, “Islam dan Hak asasi manusia:
perspektif Abdullahi Ahmad An-Na`im”, Jurnal Ilmiah Transpormasi Islam dan
kebudayaan MADANIA, Vol. 12, No. 1, Juni 2008, hlm. 5.
[8] Edy Purwanto, “Agama,
Politik dan Negara Perspektif Katolik”, Agama dan Negara Perspektif Islam,
Katholik, Hindu, Budha, Konghucu dan Protestan, (Yogyakarta :
Institut DIAN/ Interfidei, 2002, cet. I), hlm. 23.
[9] Ibid., hlm. 24.
[10] Aswab Mahasin, “Agama dan
Demokrasi: Bukan Pohon tanpa Akar” dalam Agama, Demokrasi dan Keadilan, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Uatama, 1993), hlm. 42.
[11] Bhikhu
Parekh, Politics, Religion & Free Speech in Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University
Press, 2002) hal. 321.
[12] Ibid., hlm. 322.
[13] Ibid., hlm. 327-328.
[14] Ibid., hlm. 330.
[15] Catatan Kuliah pada pada hari Senin, tanggal 5 Januari 2008.
[16] Ibid., hlm. 331.
[17] Disampaikan pertemuan ke-8
pada mata kuliah Filsafat Agama dan Resolusi Konflik , diruang 204 PPs UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta 2008.
[18] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, !990, edisi ke-2), hlm. 90.
[19] Lihat Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002), hlm. 406.
[20] Ibid., hlm. 408-411.
[21] Salaman Rushdi adalah pengarang sejumlah buku.
Rushdi dilahirkan di India pada 19 Juni1947,
namun tinggal di dan berkebangsaan Inggris. Ia merupakan seorang pengarang penting
di akhir abad ke-20
yang terkenal karena campuran unik antara sejarah dan realisme magis dalam
karyanya. Sebanyak 13 buku karangannya telah memenangi sejumlah penghargaan,
termasuk Booker Prize untuk Midnight's
Children pada 1981 dan Booker of Bookers untuk novelnya pada
tahun 1993. Ia bersembunyi setelah Ayatollah Khomeini
(pemimpin Iran) mengeluarkan fatwa pada tahun 1989 yang memerintahkan kaum Muslim untuk membunuhnya karena dianggap menghina Islam
atas bukunya yang berjudul The Satanic Verses.
Ia menulis buku pada 1988, berjudul Satanic Verses.
Buku ini memasukkan Tuhan dalam Islam
(Allah) sebagai tokoh. Banyak negara melarang buku ini. Mereka menemukan buku ini menyerang
Islam, dan melarang sejumlah toko buku menjualnya. Pemimpin
Agung Iran saat itu Ayatullah Khomeini
berpidato di radio tentang Rushdi. Ia berkata bahwa Rushdi
telah keluar dari Islam (murtadin). Rushdi dan sang penerbit buku diberi
fatwa mati. Pada 1989, pemerintah Inggris mulai
melindungi Rushdi, bahkan tanggal 7 Maret 1989 Iran memutuskan hubungan
diplomatiknya dengan Inggris karena masalah ini. Pada 1990, Rushdi menulis esai,
mencoba membuktikan ia masih beriman pada Islam. Istri pertamanya adalah
Clarissa Luard, dengan masa pernikahan 1976-1987 dan lahir seorang anak bernama
Zafar Rushdi. Istri keduanya adalah seorang novelis Amerika bernama Marianne
Wiggins, yang menikah pada 1988 dan cerai pada 1993. Istri ketiganya
adalah Elizabeth West (1997-2004) dengan seorang anak bernama Milan Rushdi.
Sejak 2004, ia menikahi aktris dan model India Padma Lakshmi
dan kemudian bercerai pada pertengahan 2007.
Pada 16 Juni 2007,
Salman Rushdie memperoleh anugerah gelar kebangsawanan dari Ratu Elizabeth II. Bersama seorang wartawan CNN dan
agen ganda KGB, ia menerima gelar ksatria yang menandai perayaan ulang tahun
Ratu Elizabeth II. Iran mengecam keputusan Inggris untuk menganugerahi gelar ksatria
kepadanya dan mengatakan penganugerahan itu menghina dunia Islam. Penganugerahan
gelar keksatriaan (knighthhood) telah memicu pertengkaran diplomatik
dengan sejumlah negara. Menurut kantor berita IRNA, Kementrian Luar Negeri Iran
memanggil Duta
Besar Geoffrey Adams
dan menyatakan bahwa keputusan pemberian gelar merupakan "langkah
provokatif" yang membuat berang kaum Muslim. Pakistan juga memanggil Komisioner
Tinggi Inggris Robert
Brinkley. Sekitar 20 aktivis Partai
Aliansi Islam Malaysia (PAS) berdemonstrasi di depan Gedung
Komisi Tinggi Inggris di Kuala Lumpur
[22] The
Satanic Verses
adalah novel
ke-empat karya Salman Rushdi, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1988,
dan sebagian terinspirasikan dari kisah hidup Muhammad. Judulnya merujuk
pada apa yang diketahui sebagai ayat-ayat
setan. Dalam novel ini, sang tokoh utama yang bernama Mahound (yang
kemungkinan besar merujuk pada Muhammad) diceritakan secara kilas balik paralel
dengan dua tokoh utama lainnya Gibreel Farishta dan Saladin Chamcha. Di Britania
Raya, novel ini diterima dengan baik oleh para kritikus, dan menjadi finalis Booker Prize rahun 1988, walaupun dikalahkan
oleh Oscar and Lucinda karya Peter Carey yang memenangkan Whitbread Award 1988 untuk novel terbaik tahun
itu. Namun di komunitas Muslim, novel ini menghasilkan kontroversi yang luar biasa. Buku ini tidak
boleh beredar di India, dan banyak dibakar pada demonstrasi
di Britania Raya. Novel ini juga menyulutkan kerusuhan di Pakistan
pada tahun 1989.
[23] Bhikhu Parekh, Politics, Religion dan
Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political
Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002) hal. 318.
[24] Ibid., hlm. 321.
[25] Ibid., hlm. 313.
[26] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Buku
Kompas, 2003), hlm. 95.
[27] Bhikhu Parekh, Politics, Religion dan
Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political
Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002) hal. 313.
[28] Ibid., hlm. 315-316.
[29] Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut
kerukunan Antarumat, (Jakarta: Buku Kompas, 2002), hlm. 35.
[30] Bhikhu Parekh, Politics, Religion dan
Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political
Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002) hal. 304.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar