Selasa, 07 Februari 2012

Sejarah Perang Salib


THE CRUSADES
Oleh: Wira Hadi Kusuma.[1]

Tidak ada peristiwa yang lebih menentukan dalam sejarah abad    pertengahan selain penaklukan Tanah Suci.” (M. Michaud).[2]

A.      Pendahuluan
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa salah satu penyebab mendasar perang salib terjadi adalah usaha kaum Kristen Eropa untuk mempertahankan dan memenuhi kehendak tuhan. Karena tuhan telah mensucikan tanah Yerussalem. Sehingga mereka mengharapkan wilayah (khususnya Yerussalem) yang telah dikuasai oleh Islam tersebut dapat menjadi perlindungan dan di bawah kekuasaan mereka.[3] 
Dalam memperbincangkan sejarah konflik keagamaan (religious conflict) tidak luput dari perhatian semua pihak, terutama masyarakat agama tentang pengalaman atau sejarah yang menyedihkan dan “membakar” semangat “juang” yaitu peristiwa The Crusade (secara resmi banyak para sejarawan menjelaskan terjadi sejak tahun 1095 sampai dengan 1291 M) sejak Paus Urbanus II menyerukan perang sucinya (holy war).[4]
Aksi Kekerasan (violence action) yang dilakukan oleh kelompok-kelompok fundamentalisme agama dengan dalih atas nama Tuhan. Perang salib juga sering menjadi tolok ukur dan menjadi spirit dalam aksi kekerasan tersebut hingga sekarang ini.[5]
Agama (religion) satu sisi dapat memberikan kontribusi dalam perdamaian, karena  agama setidaknya mampu menjadi upaya peace building, serta menjadi tawaran (suggestions), bahwa agama menjadi kekuatan dalam berperan sebagai pencegah konflik (conflict prevention), peringan atau kelonggaran ketegangan konflik (mitigation) dan sekaligus sebagai resolusi (resolution) atau peacemaking and post-conflict peacebuilding,[6] tetapi dilain pihak agama dapat menjadi pemicu konflik. Seperti yang dikemukakan Bikhu Parekh bahwa agama acapkali dalam prakteknya  bersifat absolutist, self-righteous, arrogant, dogmatic and impatient of compromise.[7]  

Perbedaan agama telah menyulut beberapa konflik bahkan peperangan antaragama yang paling brutal dalam sejarah manusia. Seringkali perbedaan-perbedaan kecil dalam hal ajaran agama melepaskan kuda-kuda perang dan membenarkan pembantaian manusia secara masal, yang ironisnya atas nama Tuhan dan panggilan suci agama.[1] Di antara pemicu mendasar adalah masing-masing pemeluk agama memiliki kecendrungan pemahaman ke arah exclusivism dan intolerance. Masing-masing agama menganggap dirinya yang memiliki kebenaran yang absolut, sehingga muncul sikap kelaim kebenaran (truth claim) terhadap  penganut agama lain, bahkan menganggap kelompok agama lain penuh dosa, berada dalam kesesatan dan celaka.
Makalah ini mencoba melihat sejarah The Crusade ini yang mencakup beberapa hal antara lain; definisi atau pengertian The Crusade, faktor-faktor penyabab, upaya resolusi konflik yang pernah ditawarkan dan dampak setelah peperangan bagi kehidupan beragama (khususnya Islam dan Kristen).
A.            Definisi Perang Salib (Crusade)
 Crusade berasal dari kata Prancis croix, yang berarti “salib” (cross). Istilah ini tidak lazim digunakan oleh kaum Kristen untuk menggambarkan perang suci yang dilakukan untuk mempertahankan atau merebut kembali tanah suci. Bagi kaum Kristen Eropa peristiwa perang itu adalah bentuk pembelaan diri bagi kelompok Kristen sebagai “kaum penziarah” (pilgrims).[2] Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sejak awal mereka dalam berbagai aksinya selalu dikaitkan dengan salib. Mereka menjahit tanda-tanda salib dipakaian-paian mereka bahwa mereka sedang benar-benar mematuhi perintah Kristus kepada pengikutnya untuk mengambil salib, dan mengikutinya serta memperjuangkannya sampai darah penghabisan (baca: mati).
Memang dalam mendefinisikan The Crusade terdapat perbedaan di kalangan para sejarawan, hal ini tergantung dari sudut pandang kita melihatnya. Beberapa defisini perang salib (The Crusade), dinyatakan antara lain, menurut Lorga Perang Salib adalah sebuah lingkaran konfrontasi antara Barat dan Timur. Sebuah pertentangan kuno atau perang antara musuh bebuyutan yang jelas terlihat pada perang antara Persia dan Yunani, atau perang antara Persia dan Romawi.[3]
Namun yang jelas, pertikaian antara Barat dan Timur sulit untuk dapat diselesaikan, selain mereka memiliki keyakinan yang berbeda, juga memiliki peradaban yang jauh berbeda pula dan memiliki perinsip yang  satu sama lain saling bertentangan. Pertentangan di antara mereka akan mejadi panas apabila adanya pihak ketiga atau adanya unsur lain yang relatif cukup sensitif, salah satunya unsur religius. Ada juga sejarawan mendefinisikan bahwa perang salib adalah segalah usaha umtuk memerangi negara-negara  Arab, khususnya negeri Teluk, yang tidak lain merupakan wujud nyata dari pihak Barat dalam usaha menentang proses eksodus besar-besaran , akibat runtuhnya kekaisaran Romawi Kuno.[4]
Sedangkan menurut Setton dalam bukunya  A History of The Crusades bahwa perang Salib adalah merupakan kelanjutan missi keagamaan dari rembongan penziarah Kristen ke tempat-tempat suci mereka, namun yang dahulunya di bawah bendera perdamaian, dan berubah niatnya dengan membawa missi perang. Hal ini ditunjukkan dan dibuktikan oleh rombongan penziarah di bawah pimpinnan Mitaz, pada tahun 1064 , yang memimpin kurang lebih 7.000 orang penziarah bersenjata lengkap, lantaran termakan isu, bahwa penguasa Yerussalaem (waktu itu dikuasai bani Saljuk), telah melakukan penganiayaan terhadap penziarah yang beragama Kristen, sementara akibat penyerbuan bani Saljuk  ke Enthiokie, telah mengakibatkan orang-orang Byzantium terusir dari wilayahnya. Hal itu yang membuat para penziarah cemas, sehingga mereka merasa mewajibkan diri untuk mempersenjatai diri ketika berziarah.[5]
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perang salib terjadi akibat pihak Kristen ingin memperluas daerahnya ke balahan bumi yang lain, sementara pada saat yang sama semangat religius masyarakat Eropa pada umumnya sedang mengalami kebangkitan yang drastis. Oleh sebab itu, situasi dan kondisi semacam ini merupakan kesempatan emas bagi orang-orang tertentu (yang selama ini dikekang oleh gereja) untuk melepaskan keterikatan peraturan dan belenggu ambisi pribadi mereka. Sehingga dengan dalih pengalaman baru, meninjau peradaban baru dan mendapatkan “kebahagiaan” dunia akhirat, sebagaimana dijanjikan oleh para Uskup.
Peperangan Salib itu dimulai dengan tanggapan Paus Urban  II terhadap  permohonan  Raja  Alexius.  Pada tahun 1095, Urban menyerukan pembebasan Tanah  Suci  dari  tangan  orang-orang kafir,   dan  mengadakan  perang  suci  yang  sudah  menjadi tradisi.  Bagi  Paus,  panggilan  untuk  membela  agama  dan Yerussalem   memberikan  suatu  kesempatan  untuk  memperoleh pengakuan atas otoritas  kepausannya  dan  peranannya  untuk mengabsahkan pemerintah sementara, dan untuk mempersatukan kembali gereja-gereja Timur (Yunani) dan Barat (Latin).
Seruan peperangan Paus "Itulah kehendak  Tuhan!",  terbukti berhasil.  Pendekatan  agama  berhasil memikat pikiran orang dan  memanfaatkan  kepentingan  diri  banyak   orang, yang menghasilkan persatuan dan kembalinya kekuatan Kristen. Para pemerintah, pedagang, dan  ksatria  Kristen  terdorong  oleh keuntungan-keuntungan ekonomi dan politik yang akan dipetik dengan tegaknya kerajaan Latin di Timur Tengah.
Para ksatria dari  Perancis  dan  bagian-bagian  lain  Eropa  Barat, yang terdorong oleh fanatisme agama  dan  harapan  akan  pampas an perang,  bersatu  melawan  orang-orang  "kafir"  dalam  suatu peperangan yang  tujuannya  adalah  membebaskan  kota  suci: "Mungkin  Tuhan  memang  menghendakinya,  tetapi  yang pasti tidak  ada  bukti  bahwa   orang-orang   Kristen   Yerusalem mempunyai  harapan  itu,  atau  ada  sesuatu yang luar biasadalam sejarah yang tertadi pada jamaat di sana sehingga pada saat itu mereka memberikan tanggapan yang demikian. Perang Salib diilhami oleh dua institusi Kristen, yaitu  ziarah  ke tempat  suci  dan perang suci: pembebasan tempat-tempat suci dari tangan  kaum  Muslim  berkarakterkan  keduanya.  Ziarah memainkan peran  penting bagi kesalehan Kristen. Mendatang Tempat-tempat  suci,  menghormati  peninggalan  keramat.
B.            Faktor Penyebab The Crusade
Berangkat dari beberapa pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa perang salib yang terjadi lebih dari dua ratus tahun lamanya, disebabkan antara lain:
a.      Mempertahankan atau Membela Tanah Suci (Faktor Agama)
Faktor ini cukup dominan dalam mendoktrinkan Perang Salib meskipun persoalannya sebenarnya cukup kompleks. Agama Kristen berkembang pesat di Eropa Barat terutama setelah Paus mengadakan reformasi. Sementara itu, Kristen mendapat saingan agama-agama lain, terutama Islam yang berhasil mengambil alih kekuasaan Byzantium di Timur yang juga menganut agama Kristen seperti Syria, Asia Kecil, dan Spanyol. Spanyol adalah benteng Eropa bagian barat dan Konstantinopel adalah benteng Eropa sebelah Timur. Kedua pintu gerbang ini telah digempur kaum muslimin sejak Bani Umayyah, dilanjutkan oleh dinasti Islam 'Abbasyiah, kemudian pemerintahan Seljuk.[6]
Berbicara tentang arti penting Tanah Suci, tidak terlepas dengan suatu peristiwa penting yang sakral, salah satunya adalah Gereja Makam Suci. Bagi kaum Kristen Barat Gereja tersebut adalah segala-galanya. Sehingga terucap dari ungkapan mereka bahwa; “kami kan mati di bawah makam Tuhan kami dank aim mati tanpa rasa takut, kami akan mempertahankannya dan akan terus berjuang demi makam ini dan kami tidak ada pilihan lain kecuali berjuang”[7]
  Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem yang berada jauh di Timur, sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslimlah yang berhasil memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Orthodox Timur.
Titik balik lain yang berpengaruh terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiah, Al-Hakim bin Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Suci (Church of The Holy Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi banyak laporan yang beredar di Barat tentang kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu.[8]
Penyebab langsung dari Perang Salib Pertama adalah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium menahan laju invansi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut. Pada tahun 1071, di Pertempuran Manzikert, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Muslim Saljuk dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik Barat dengan gereja Orthodox Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invansi yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem.[9]
Perang Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang intens di masyarakat. Dorongan keagamaan inilah menjadi pemicu kuat bagi tentara Salib untuk berjuang  dan bahkan memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai “tentara gereja”.
Hasilnya adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci yang termasuk Yerusalem (dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut ajaran Kristen) dan Antioch (kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di “Neraka.”[10]
Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi adalah apa sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu teori menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku.[11]
 Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa jika seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib.
b.      Sosial -Politik Kekuasaan
Sebelum terjadinya perang Salib Barat telah mengalami pengalaman yang menyakitkan yaitu sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi tahun 476 di tangan Jerman yang lantas dikuasai sampai abad XI, yang sering disebut Barat adalah masa suram, yang tidak hanya dalam bidang politik tetapi juga bidang ekonomi dan kebudayaan.[12]
Eropa pernah berjaya dan mengalami zaman keemasan. Namun waktunya berlangsung relatif singkat, yakni pada masa Syarlaman (Abad VIII dan awal abad IX). Pada abad IX, bersamaan dengan masuknya balatentara Viking yang membumi hanguskan Eropa Barat serta pusat peradaban disana, masuk pula pasukan Hongaria ke bagian Tengah benua sampai ke Jerman Timur. Sehingga Eropa Barat bergabung dengan dewan Feodalisme (semacam badan dunia yang memberikan perlindungan dan keamanan bagi anggotanya saat itu).[13] Sedangkan untuk mendapatkan perlindungan harus memenuhi sayarat antara lain, setiap pembesar, pejabat, pimpinan negara anggota harus rela memberikan sebagian hak dan kekuasaannya kepada dewan keamanan dunia dan diwajibkan membayar uang iuran yang cukup mahal.
Sementara itu, dewan keuskupan dan gereja-gereja barat yang peranannya sangat diharapkan , ternyata tidak dapat mengatasi dan meredam krisis yang terjadi. Bahkan semakin memburuk banyak dari pemuka agama mereka terjadi dekadensi moral. Kondisi ini terus berlangsung sampai abad ke XII. Selain itu juga pertentangan antara pihak penguasa Barat dengan pihak Keuskupan Agung terus berlangsung yang dimulai dua puluh tahun sebelum perang salib terjadi.
Rasa ketakutan pihak Barat terhadap kemajuan Islam yang telah menguasai beberapa wilayah termasuk Yerussalem, ketakutan ini terjadi karena pihak Barat terus dibayangi ketakutan atas peristiwa yang mengharukan dan menyedihkan yaitu keruntuhan masa kejayaan masa lalu yang diwakili oleh Byzantium Romawi. Sehingga dengan berbagai dalih yang untuk memperluaskan kawasan kekuasaan dan kepentingan kelompok tertentu, maka perang salib sebagai “kambing hitam” yang menjadi sasaran empuk untuk mencapai tujuan tersebut.
c.       Ekonomi
Selain faktor Tanah Suci dan kondisi sosial-politik masyarakat Eropa, faktor ekonomi masyarakat waktu itu juga menjadi penyebab perang salib meletus. Karena situasi dan kondisi yang sangat labil akibat serangan bangsa Viking dan Barbar, yang menyebabkan jutaan hektar tanah garapan petani porak poranda dan bahan makanan terasa sulit serta lapangan pekerjaan banyak yang lenyap seketika. Sementara itu pertikaian antara suku kaum feodal semakin menjadi-jadi, sehingga bagi rakyat sulit mencari kedamaian dan rasa aman. Penjarahan dan pembunuhan merajalela yang merupakan pemandangan sehari-hari, terjadi di setiap sudut kota dan desa. semua orang nampaknya telah masuk dalam sebuah lingkaran ketakutan yang nyaris tanpa batas menuju puncak situasi terburuk selama hidupnya.[14]
Keadaan yang terus menerus memburuk yang diderita bangsa Eropa, baik secara politik, ekonomi, dan pada gilirannya menjadi pemicu antusiasme masyarakat yang mayoritas beragama Kristen untuk bergabung dalam seruan perang salib, lebih-lebih ketika hal itu dinyatakan secara resmi oleh Paus Urbanus II (Nopember 1095 di Clermont) sebagai perang agama.[15] karena mereka dihadapkan pada dua pilihan yang sama sulitnya yaitu mati kelaparan dan ketakutan atau mati karena membela dan memperjuangklan misi agama Tuhan. Kebanyakan dari mereka memilih yang terakhir, karena selain keyakinan mendapat pengampunan dosa, dan akan masuk surga karena membela agama.
Masyarakat Eropa pada abad pertengahan terbagi atas tiga golongan masyarakat:
            1.      kelompok agamawan yang terdiri dari orang-orang gereja dan bangsawan.
            2.      kelompok kesatria yang terdiri dari para bangsawan dan penunggang kuda (knights).
            3.      kelompok petani dan hamba sahaya.[16]
Dua kelompok pertama merupakan kelompok kecil yang secara keseluruhan merupakan institusi yang berkuasa dan dipandang dari segi sosial-politik yang aristokratis, sedangkan kelompok ketiga merupakan golongan terbesar yang dikuasai oleh kelompok pertama dan kedua, yang harus bekerja keras terutama untuk memenuhi kepentingan kedua kelompok tersebut. Karena itu, kelompok ketiga ini secara spontan menyambut baik propaganda Perang Salib. Bagi mereka, kalau pun ditakdirkan mati, lebih baik mati suci dari pada mati kelaparan dan hina. Kalau bernasib baik, selamat sampai ke Jerusalem, mereka mempunyai harapan baru: hidup yang lebih baik daripada di negeri sendiri.
C.            Sejarah Singkat Perang Salib
Dalam makalah ini memang terasa kesulitan bagi penulis untuk mengungkapkan sejarah perang salib secara keseluruhan dan mendetail, selain sejarahnya yang cukup panjang selama lebih dari dua ratus tahun, juga karena sejarah yang dikemukakan oleh para sejarawan terdiri berbagai perspektif atau sudut pandang dalam melihat sejarah perang salib ini. Terlepas dari perbedaan yang ada, Maka dalam makalah ini penulis akan menjelaskan sejarah singkat dari beberapa priode perang salib tersebut.
Dalam menentukan periodenya saja, sejarawan terdapat perbedaan pendapat. Misalnya ada yang mengatakan perang salib hanya lima periode saja dan yang lain sampai periode kedelapan. Walaupun dengan segala keterbatasan  penulis akan menjelaskan secara singkat periode perng salib pertama hingga periode perang salib kedelapan. Namun demikian kiranya, penjelasan panjang tentang perang Salib tidak kan pernah habisnya, karena selain perang ini adalah konflik terbesar pertama dalam sejarah konflik umat Islam dan Kristen,[17] juga dampak sampai sekarang masih dirasakan oleh kedua agama besar tersebut. Dalam beberapa kasusu konflik, peristiwa perang Salib sering disebut-sebut, misalnya J. Bush pada saat runtuhnya gedung WTC, bahwa itu adalah bentuk “perang salib kecil”.
a.      Perang Salib Petama
                                                           



      Pengepungan Antioch, dari lukisan miniatur abad pertengahan selama Perang Salib I.                                                                                                                                                                                                                            
                                                           
Meskipun menjelang abad kesebelas sebagian besar Eropa memeluk agama Kristen secara formal setiap anak dipermandikan, hierarki gereja telah ada untuk menempatkan setiap orang percaya di bawah bimbingan pastoral, pernikahan dilangsungkan di Gereja, dan orang yang sekarat menerima ritual gereja terakhir, namun Eropa tidak memperlihatkan diri sebagai Kerajaan Allah di dunia. Pertikaian selalu bermunculan di antara pangeran-pangeran Kristen, dan peperangan antara para bangsawan yang haus tanah membuat rakyat menderita.
Pada tahun 1088, seorang Perancis bernama Urbanus II menjadi Paus. Kepausannya itu ditandai dengan pertikaian raja Jerman, Henry IV — kelanjutan kebijakan pembaruan oleh Paus Gregorius VIII yang tidak menghasilkan apa-apa. Paus yang baru ini tidak ingin meneruskan pertikaian ini. Tetapi ia ingin menyatukan semua kerajaan Kristen. Ketika Kaisar Alexis dari Konstantinopel meminta bantuan Paus melawan orang-orang Muslim Turki, Urbanus melihat bahwa adanya musuh bersama ini akan membantu mencapai tujuannya.[18]
Tidak masalah meskipun Paus telah mengucilkan patriark Konstantinopel, serta Katolik dan Kristen Ortodoks Timor tidak lagi merupakan satu gereja. Urbanus mencari jalan untuk menguasai Timur, sementara ia menemukan cara pengalihan bagi para pangeran Barat yang bertengkar terus. Pada tahun 1095 Urbanus mengadakan Konsili Clermont.
Di sana ia menyampaikan kotbahnya yang menggerakkan: "Telah tersebar sebuah cerita mengerikan dan memilukan, sebuah golongan terkutuk yang sama sekali diasingkan Allah yang telah menyerang tanah (negara) orang Kristen dan memerangi penduduk setempat dengan pedang, menjarah dan membakar." Ia berseru: "Pisahkanlah daerah itu dari tangan bangsa yang jahat itu dan jadikanlah sebagai milikmu. "Deus vult! Deus vult! (Allah menghendakinya!)," teriak para peserta.[19]
Ungkapan itu telah menjadi slogan perang pasukan Perang Salib. Ketika para utusan Paus melintasi Eropa, merekrut para ksatria untuk pergi ke Palestina, mereka mendapatkan respons antusias dari pejuang-pejuang Perancis dan Italia. Banyak di antaranya tersentak karena tujuan agamawi, tetapi tidak diragukan juga bahwa yang lain berangkat untuk keuntungan ekonomi. Ada juga yang ingin berpetualang merampas kembali tanah peziarahan di Palestina, yang telah jatuh ke tangan Muslim.
Mungkin, para pejuang tersebut merasa bahwa membunuh seorang musuh non-Kristen adalah kebajikan. Membabat orang-orang kafir yang telah merampas tanah suci orang Kristen tampaknya seperti tindakan melayani Allah. Untuk mendorong tentara Perang Salib, Urbanus dan para paus yang mengikutinya menekankan "keuntungan" spiritual dari perang melawan orang-orang Muslim itu. Dari sebuah halaman Bible, Urbanus meyakinkan para pejuang itu bahwa dengan melakukan perbuatan ini, mereka akan langsung masuk surga, atau sekurang-kurangnya dapat memperpendek waktu di api penyucian.[20]
Dalam perjalanannya menuju tanah suci, para tentara Perang Salib berhenti di Konstantinopel. Selama mereka ada di sana, hanya satu hal yang ditunjukkan: Persatuan antara Timur dan Barat masih mustahil. Sang kaisar melihat para prajurit yang berpakaian besi itu sebagai ancaman bagi takhtanya. Ketika para tentara Perang Salib mengetahui bahwa Alexis telah membuat perjanjian dengan orang-orang Turki, mereka merasakan bahwa "pengkhianat" ini telah menggagalkan bagian pertama misi mereka: menghalau orang-orang Turki dari Konstantinopel.
Dengan bekal dari sang kaisar, pasukan tersebut melanjutkan perjalanannya ke Selatan dan Timur, menduduki kota-kota Antiokhia dan Yerusalem. Banjir darah mengikuti kemenangan mereka di Kota Suci itu. Taktik para tentara Perang Salib ialah "tidak membawa tawanan". Seorang pengamat yang merestui tindakan tersebut menulis bahwa para prajurit "menunggang kuda mereka dalam darah yang tingginya mencapai tali kekang kuda".Setelah mendirikan kerajaan Latin di Yerusalem, dan dengan mengangkat Godfrey dari Bouillon sebagai penguasanya, mereka berubah sikap, dari penyerangan ke pertahanan. Mereka mulai membangun benteng-benteng baru, yang hingga kini, sebagian darinya masih terlihat.
Pada tahun-tahun berikutnya, terbentuklah ordo-ordo baru yang bersifat setengah militer dan setengah keagamaan. Ordo paling terkenal adalah Ordo Bait Allah (bahasa Inggris: Knights Templars) dan Ordo Rumah Sakit (bahasa Inggris: Knights Hospitalers). Meskipun pada awalnya dibentuk untuk membantu para tentara Perang Salib, mereka menjadi organisasi militer yang tangguh dan berdiri sendiri.Perang Salib pertama merupakan yang paling sukses. Meskipun agak dramatis dan bersemangat, berbagai upaya kemiliteran ini tidak menahan orang-orang Muslim secara efektif.
b.      Perang Salib Kedua
Perang Salib Kedua (1147–1149) adalah Perang Salib kedua yang dilancarkan dari Eropa. Perang ini terjadi akibat jatuhnya  Edessa pada tahun sebelumnya. Edessa adalah negara-negara Tentara Salib yang pertama kali didirikan selama Perang Salib Pertama (10951099), dan juga negara yang pertama kali runtuh. Perang Salib Kedua diumumkan oleh Paus Eugenius III, dan merupakan Perang Salib pertama yang dipimpin oleh raja-raja Eropa, seperti Louis VII dari Perancis dan Conrad III dari Jerman, dengan bantuan dari bangsawan-bangsawan Eropa penting lainnya.[21]
Pasukan-pasukan kedua raja tersebut bergerak menyebrangi Eropa secara terpisah dan sedikit terhalang oleh kaisar Bizantium, Manuel I Comnenus; setelah melewati teritori Bizantium ke dalam Anatolia, pasukan-pasukan kedua raja tersebut dapat ditaklukan oleh bangsa Saljuk. Louis, Conrad, dan sisa dari pasukannya berhasil mencapai Yerusalem dan melakukan serangan yang "keliru" ke Damaskus pada tahun 1148.[22] Perang Salib di Timur gagal dan merupakan kemenangan besar bagi pihak Muslim. Kegagalan ini menyebabkan jatuhnya kota Yerusalem dan Perang Salib Ketiga pada akhir abad ke-12. Penyebab kegagalan Tentara Salib dalam Perang Salib II adalah tidak adanya kerjasama yang baik antara mereka. Satu dengan yang lain tidak saling mempercayai karena masing-masing merasa khawatir bila kekuasaannya akan dilanggar, ditambah lagi wabah penyakit dan kelaparan yang terutama menimpa Tentara Perancis, disamping serangan yang tidak dilakukan secara serentak seperti pada Perang Salib I.
c.       Perang Salib Ketiga
Kegagalan pada pertempuran Hattin dan penaklukan Yerussalem, menjadi penyulut perang salib ketiga. Perang Salib Ketiga (11891192 M), juga dikenal sebagai Kings Crusade, adalah sebuah perang yang dikobarkan para pemimpin Eropa untuk mendapatkan kembali Tanah Suci dari tangan Shalahudin Al-ayyubi dalam rangkaian Perang Salib. Setelah Perang Salib Kedua, dinasti Zangi yang berhasil mengontrol Suriah terlibat dalam konflik dengan Mesir pimpinan dinasti Fatimiyah, yang berakhir dengan bersatunya Mesir dan Suriah di bawah pimpinan Shalahudin Al-ayyubi. Shalahudin Al-Ayyubi kemudian menggunakan kekuatannya untuk menaklukan Yerusalem pada tahun 1187.[23]
Jauh sebelum kemenangan ini, Salahuddin berusaha keras untuk membangkitkan semangat Jihad Kaum Muslimin ketika itu yang sudah mulai rapuh. Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut.[24] Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran. Salahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berperang melawan Pasukan Salib di Hattin (dekat Acre, kini dikuasai Israel). Orang-orang Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih kemenangan (1187).
Serangan salib ketiga ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang paling terkenal: Friedrich I Barbarosa dari Jerman, Richard I Lionheart dari Inggris dan Phillip II dari Perancis. Namun di antara mereka ini sendiri terjadi perselisihan dan persaingan yang tidak sehat, sehingga Friedrich mati tenggelam, Richard tertawan (akhirnya dibebaskan setelah memberi tebusan yang mahal), sedang Phillip bergegas kembali ke Perancis untuk merebut Inggris justru selama Richard tertawan.
Walupun terjadi kemenangan antara kedua bela pihak, tetapi perang Salib ketiga berakhir dengan gencatan senjata pada tahun 1192 M, dengan kesepakatan bahwa kaum Frank akan menguasai sebagian besar wilayah laut, sementara Yerussalem tetap berada dalam kawasan kaum Muslim.[25]
d.      Perang salib Keempat
Perang salib keempat terjadi ketika pasukan salib dari Eropa Barat ingin mendirikan kerajaan Normandia (Eropa Barat) di atas puing-puing Yunani. Paus Innocentius III menyatakan pasukan salib telah murtad. Di Konstantinopel perampokan dan pemerasan Tentara Salib menimbulkan perlawanan rakyat, yang dibalas Tentara Salib dengan membakar kota itu serta mendudukkan kaisar dan Padri Latin. Sebelumnya, kaisar dan padri Konstantinopel selalu berasal dari Yunani. Tahun 1212, ribuan pemuda Perancis diberangkatkan dengan kapal untuk bergabung dengan pasukan Salib, namun oleh kapten kapal mereka justru dijual sebagai budak ke Afrika Utara.
Pada masa Paus Innocent III, gereja membakar kembali semangat untuk meneruskan kembali Perang Salib. Dalam hal semangat dan kepemimpinan perang ini bercorak Perancis seperti Perang Salib I. Target perang ini diarahkan ke Mesir, yang disebabkan karena:
  1. Mesir adalah pangkalan segala kekuatan Tentara Islam dan semua kekuatan Tentara Islam sudah beralih ke Mesir, sehingga Mesir harus dikuasai lebih dahulu.
  2. Penaklukan Mesir akan membawa keuntungan perdagangan bagi para pedagang Italia. Jika serangan di arahkan dengan menguasai Jerusalem terlebih dahulu, orang Mesir akan melakukan tindakan pembalasan terhadap para pedagang di Delta Sungai Nil, Dimyat, dan Alexanderia.
 Ketika Tentara Salib di Venisia (1202) bersiap hendak menuju Mesir, tiba-tiba semua pasukan perang diperintahkan untuk menyerang Konstatinopel pada bulan Juli 1203, dan berhasil menguasai kota itu pada bulan April 1204. Setelah itu, Baldwin VII diangkat sebagai Kaisar di Konstatinopel. Kekuatan ini berkuasa selama 60 tahun.[26] Perang Salib IV berlangsung tahun 1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).[27]
e.                               Perang Salib Kelima, enam, tujuh dan kedelapan.
Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total. Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI, tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.[28]
Dua Perang Salib terakhir (VII dan VIII) dikobarkan oleh Raja Prancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Prancis perlu menebus dengan emas yang sangat banyak untuk membebaskannya. Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang. Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Islam oleh Ratu Spanyol, Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib.[29]
D.      Sepak Terjang Tentara Salib dan Teladan Salahuddin Al-Ayyubi
Saat perang Salib, tentara Kristen, Jerman, Yahudi membantai orang Islam di jalan-jalan. Berbalik 180 derajat dengan perlakuan pasukan Islam terhadap pasukan Kristen. Simak akhlaq  Salahuddin al-Ayyubi:     “Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali.
Di sana, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”Kisah di atas bukan skenario film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh pernah terjadi. Itu adalah pengakuan seseorang bernama Raymond, salah satu serdadu Perang Salib. Pengakuan ini didokumentasikan oleh August C Krey, penulis buku Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I memang menyesakkan. Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya tergambar dalam pengakuan Raymond di atas. [30]
a.      Sepak Terjang Tentara Salib
Sampai abad ke11 M, di bawah pemerintahan kaum Muslimin, Palestina merupa-kan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Kondisi ini tercipta sejak masa Khalifah Umar bin Khattab (638 M) yang berhasil merebut daerah ini dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur).[31] Namun kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu saja.
Tentara Salib datang melakukan invansi. Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Alexius I. Petinggi kaum Kristen itu segera minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.
Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim yang menguasai Palestina saat itu menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang. Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Lo Volt!” (Perang kehendak Tuhan).[32]
Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci. Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Saljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).[33]
Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Syria) pada tanggal 3 Juni 1098. Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin.[34] Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah.                
b.      Teladan Salahuddin Al-Ayyubi dan Peletak Dasar Nilai Kemanusiaan dalam Islam
Pada tahun 1145-1147 pecah Perang Salib II. Namun perang besar-besaran terjadi pada Perang Salib III. Di pihak Kristen dipimpin Phillip Augustus dari Prancis dan Richard “Si Hati Singa” dari Inggris, sementara kaum Muslimin dipimpin Shalahuddin Al-Ayyubi. Pada masa itu, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi ini membuat Shalahuddin prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.
Pria keturunan Seljuk ini kebetulan mempunyai paman yang menjadi petinggi Dinasti Fathimiyyah. Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan damai. Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati. Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.
Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran. Salahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berperang melawan Pasukan Salib di Hattin (dekat Acre, kini dikuasai Israel). Orang-orang Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih kemenangan (1187).
Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa. Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj, Salahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.[35]
Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia.[36] Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)
Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga. Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).
Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks--bukan bagian dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu. Kaum Salib segera mendatangkan bala bantuan dari Eropa. Datanglah pasukan besar di bawah komando Phillip Augustus dan Richard “Si Hati Singa”
Setelah berhasil merebutnya dalam pertempuran 8 hari, sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, Sebagai contoh, suatu hari Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.
Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.[37]
E.            Dampak Parang Salib: Analisis konflik hingga sekarang  dan  upaya Resolusi konflik
Membicarakan konflik atau perang, tidak hanya mengahsilkan hal-hal yang negative saja, tetapi konflik atau perang yang terjadi akan berdampak pada perubahan (change), tergantung bagaimana kita melihat konflik tersebut. Menurut John Paul Lederach konflik akan berimplikasi pada perubahan baik personality, relationaly, structurally, maupun pada culturally.[38] Seperti halnya yang terjadi pasca perang salib, Bangsa Eropa belajar berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam lalu mengarangnya dalam buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan. Mereka juga mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum muslimin, sehingga pasca perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di Eropa. Gustav Lebon berkata: “Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih mendalam, maka didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen. Interaksi bangsa Eropa selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.”[39]
Mamang tidak terlepas dari efek negatifnya adalah secara teologis Eropa makin terpolarisasi. Dunia Kristen Barat makin membentengi diri dan bersikap memusuhi terhadap segala yang berasal dari luar. Dan ini berjalan hingga abad 20. Mentalitas perang salib ini juga pernah digunakan beberapa penguasa Barat untuk menekan kaum protestan. Dan pada Perang Dunia II, Hitler memotivasi pasukannya dalam melawan Rusia sebagai “Perang salib melawan Atheisme”.
Sedangkan umat Islam ada yang beranggapan tidak mendapatkan apapun. Umat Islam tak bisa mengambil apa-apa dari satu pasukan yang bermoral bejat, yang sebagian besar berasal dari para penganggur dan penjahat. Perang salib menghabiskan aset umat Islam baik sumber daya alam maupun manusia. Kemiskinan terjadi karena seluruh kekayaan negara dialokasikan untuk perang. Dekadensi moral terjadi karena perang memakan habis kaum laki-laki dan pemuda. Kemunduran ilmu pengetahuan terjadi karena umat menghabiskan seluruh waktunya untuk memikirkan perang sehingga para ulama tidak punya waktu untuk mengadakan penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali yang berhubungan dengan dunia perang. Tetapi menurut penulis ini sebagai pelajaran (i`tibar) penting bagi kaum Muslim bahwa persatuan dan persaudaraan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya adalah alat yang tepat untuk kembali membangkitkan semangat untuk kemajuan Islam mendatang.
Adapun upaya resolusi terhadap konflik yang berkepanjang itu (baca:perang salib), antara lain: perang itu sendiri, sebagai puncak dari konflik yang tidak bisa diselesaikan dengan jalan lain (seperti egosiasi, dialog, dll) dan terdapat usaha-usaha para pemimpin-pemimpin perang tersebut (pasukan salib dan pasukan jihad) untuk melakukan perjanjian damai. Hal ini terjadi pada masa pimpinan perang antara Salahuddin Al-Ayyubi dengan Richard, yaitu perjanjian damai untuk tidak salaing menyerang pada perang salib ketiga dan .tercapailah kesepakatan Jaffa pada perang salib keenam. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.[40]
F.            Penutup: Tabel Kronologi Peristiwa Penting dalam The Crusade sampai penaklukan Acre (1092-1291)
No
Tahun
Peristiwa
01
1092
Wafatnya Maliksyah dan Nizam al-Mulk
02
1094
Wafatnya khalifah fatimiyah al-Mustanshir dan Khalifah Abasiyah al-Muqtadi
03
1095
Konsili Piancenza
04
1096
(27 Nopember) pengumuman perang Salib pertama oleh Paus Urbanus II di Konsili Clermont
05
1096-1102
Perang salib pertama
06
1096-1097
Para tentara salib tiba di Konstantinopel
07
1097
(1 Juli) pertempuran Dorylaeum dan
 (21 Oktober- 3 Juni 1098) Pengepungan Anthiokia
08
1098
(10 Maret) Baldwin dari Boulagne merebut edessa
(28 Juni) pertempuran Anthiokia
09
1099
(15 Juli) Yerussalem jatuh ke tangan tentara salib
(22 Juli) Godfrey terpilih menjadi raja pertama kaum Frank di Yerussalem
10
1101
(Agustus-September) Gelombang akhir tentara salib pertama ditaklukkan oleh bangsa Turki di Asia kecil
11
1109
(12 Juli) Tripoli direbut kaum Frank
12
1119
 (12 Juli) Tripoli direbut oleh pasukan Frank
13
1124
Tirus direbut pasukan Frank
14
1129
Tentara salib menyerang damaskus
15
1144
Zengi merebut Edessa
16
1146
Zengi Wafat
17
1147-1149
Perang salib kedua
18
1148
Pasukan Frank mundur dari Damaskus
19
1154
Nuruddin menduduki damaskus
20
1163-1169
Raja al-Marik dari Yerussalem melakukan ekspedisi ke Mesir.
21
1169
(23 Maret) saladin atas nama Nuruddin berkuasa dimesir
22
1172
Saladin Menghancurkan Khalifah Fatimiyah dan mengembalikan Mesir kepada Islam Sunni
23
1174
Nuruddin Wafat dan Saladin merebut Damaskus
24
1183
Saladin merebut Aleppo
25
1186
Saladin merebut Mosul
26
1187
Pertempuran Hattin, Saladin merebut kembali Yarussalem, Paus Gregorius VIII mengumandangkan perang salib ketiga
27
1189-1192
Perang salib ketiga
28
1190
Kaisar Prederik I di Cilicia Tenggelam
29
1191
Richard dari Inggris dan Philip II dari Prancis menerima penyerahan Acre, pertempuran Arsuf.
30
1192
Perjanjian Jaffa
31
1193
Saladin wafat
32
1198
Paus Inocentius III memaklumatkan perang salib keempat
33
1202-1204
Perang Salib keempat
34
1204
Konstantinopel di Jaraholeh kaum Frank
35
1213
Paus Inocentius III memaklumatkan perang salib kelima
36
1217-1229
Perang salib kelima
37
1218
Penyerangan Damietta
38
1221
Kaum Frank di Mesir dikalahkan di al-Manshurah
39
1228-1229
Perang salib Kaisar Prederik II dari Cicilia
40
1229
Yerussalem di kembalikan kepada Kaum Frank lewat perjanjian dengan Ayyubiyah
41
1244  
Kaum Kawarazmi merebut Yarussalem, pertempuran Laforbie
42
1250
Kaum Frank di kalahkan di al Manshurah
43
1250-1254
St. Louis di Tanah Suci
44
1258
Mongol menyerbu Bagdad dan menghancurkan khalifah Abbasiyah
45
1260
Pertempuran `Ayn jalut-Mamluk mengalahkan bangsa Mongol, baybars menjadi sultan Mesir
46
1268
Baybars merebut Jaffa, Belfort, dan anthiokia
47
1270
St. Louis wafat
48
1271
Baybars merebut Krak des Chevaliers dan menfort
49
1277
Baybars wafat
50
1289
Qalawun merebut Tripoli
51
1291
Mamluk di bawah al-Asyraf Khalil merebut Acre dan Sidon, Bairut jatuh ketangan Mamluk.

 
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, Karen. Holy War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, New York: Anchors Books, 2001.
______________, Holy War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, terj. Hikmat Darmawan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. V, 2007.
_______________, The Battle for God, terj. Satrio Wahono dkk, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. II, 2001.

_______________, Islam: A Short History, New York: Modern Library, 2000.

Carter, Judy and Gordon  S. Smith, Religious Peacebuilding: From Potential to Action, within Harold Coward and Gordon S. Smith (Eds), Religion and Peace Building (Albany: State University on New York Press, 2004.

Djama`annuri,  Catatan Kuliah selama satu semester mata kuliah Sejarah Agama-Agama dan Perdamaian, tahun 2009.

Fatah, Sayyid Abdul. Al Harakah Ash-Shalibiyyah, terj. Muhammad Mahrus Muslim, Jakarta: Fika Hati Aneska, 1993.

Hillenbrand, Carole. The Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. III, 2007.


Krey, August C, The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants, Princeton & London: 1991.

Lederach, John Paul, The Little Book of Conflict Transformation, USA: Good Books, 2003.
Miyuki bin Afsha. The Crusaders. Downlod http://miyukibinafsha.blogdrive.com. Diakses tanggal  11 Maret 2009.
Parekh, Bhikhu. Politics, Religion & Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002.

Resto, James. Perang Salib III; Perseteruan Dua Kesatria Salahuddin al-Ayyubi dan Richard si Hati Singa, terj. Nadiah Abidin, Tangerang: Lentera Hati, 2007), hlm. 19.
Stark, Rodney. One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terj. M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003.





[1] Rodney Stark, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terj. M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), hlm. 169.
[2]  Lihat Karen Amstrong, Holy War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, terj. Hikmat Darmawan, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. V, 2007), hlm. 23. Bandingkan juga dengan Karen Amstrong, Holy War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, (New York: Anchors Books, 2001), hlm. XVII.

[3] Lihat, Sayyid Abdul Fatah, Al Harakah Ash-Shalibiyyah, terj. Muhammad Mahrus Muslim, (Jakarta: Fika Hati Aneska, 1993), hlm. 15.
[4] Hal itu dikemukakan oleh Kink,  dalam “The Knight Hospitalters in Holy Land” sebagaimana dikutif oleh Sayyid Abdul Fatah, Al Harakah Ash-Shalibiyyah, terj. Muhammad Mahrus Muslim, (Jakarta: Fika Hati Aneska, 1993), hlm. 16.

[5]  Ibid, hlm. 19.
[6]  Miyuki bin Afsha. The Crusaders.Downlodhttp://miyukibinafsha.blogdrive.com. Diakses tanggal  11 Maret 2009.
[7]  Carole Hillenbrand, The Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. III, 2007), hlm. 400.
[8]  Ibid, hlm. 21.

[9]  Lihat Karen Amstrong, Holy War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, terj. Hikmat Darmawan, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. V, 2007), hlm. 116.

[11]  Ibid.
[12]  Sayyid Abdul Fatah, Al Harakah Ash-Shalibiyyah, terj. Muhammad Mahrus Muslim, (Jakarta: Fika Hati Aneska, 1993), hlm. 10.

[13]  Ibid, hlm. 11.
[14]  Ibid, hlm. 34.

[15]  Carole Hillenbrand, The Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. III, 2007), hlm. 400.
[16]  Miyuki bin Afsha. The Crusaders.Downlodhttp://miyukibinafsha.blogdrive.com. Diakses tanggal  11 Maret 2009.
[17]  Penjelasan Prof. Djama`annuri pada perkulihan terakhir di PPs UIN Sunan Kalijaga pada tanggal  10 Juni 2009.
[18]  Karen Amstrong, Holy War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, terj. Hikmat Darmawan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. V, 2007), hlm. 34. Bandingkan juga dengan Karen Amstrong, Holy War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, (New York: Anchors Books, 2001), hlm. XXI.

[19] Sayyid Abdul Fatah, Al Harakah Ash-Shalibiyyah, terj. Muhammad Mahrus Muslim, (Jakarta: Fika Hati Aneska, 1993), hlm. 28.


[20]  Karen Amstrong, Holy War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, terj. Hikmat Darmawan, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. V, 2007), hlm. 37. Bandingkan juga dengan Karen Amstrong, Holy War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, (New York: Anchors Books, 2001).
[21]  Karen Amstrong, Holy War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, (New York: Anchors Books, 2001).hlm. 17.

[22] Ibid.
[23]  James Resto, Perang Salib III; Perseteruan Dua Kesatria Salahuddin al-Ayyubi dan Richard si Hati Singa, terj. Nadiah Abidin, (Tangerang: Lentera Hati, 2007), hlm. 19.

[24]   Http//bulletin studika//_Sejarah_perang Salib, diakses tanggal 4 Maret 2009

[25]  Carole Hillenbrand, The Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. III, 2007), hlm. 32.

[26] Miyuki bin Afsha. The Crusaders. Downlod http://miyukibinafsha.blogdrive.com. Diakses tanggal  11 Maret 2009.
[27]  Carole Hillenbrand, The Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. III, 2007), hlm. 32.

[28]  Http//bulletin studika//_Sejarah_perang Salib, diakses tanggal 4 Maret 2009
[29]  Ibid.

[30] August C Krey,  The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants, (Princeton & London: 1991).

[31]  Http//bulletin studika//_Sejarah_perang Salib, diakses tanggal 4 Maret 2009.
[32]  Sayyid Abdul Fatah, Al Harakah Ash-Shalibiyyah, terj. Muhammad Mahrus Muslim, (Jakarta: Fika Hati Aneska, 1993), hlm. 28.

[33]  Http//bulletin studika//_Sejarah_perang Salib, diakses tanggal 4 Maret 2009.

[34]  Carole Hillenbrand, The Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. III, 2007), hlm. Ii.
[35] Carole Hillenbrand, The Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. III, 2007), hlm. 37.

[36]  Karen Amstrong, Holy War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, terj. Hikmat Darmawan, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. V, 2007), hlm. 103.

[37]   Carole Hillenbrand, The Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. III, 2007), hlm. 39.

[38]  Lihat John Paul Lederach, The Little Book of Conflict Transformation, (USA: Good Books, 2003), hlm. 23.

[39]  Http//bulletin studika//_Sejarah_perang Salib, diakses tanggal 4 Maret 2009
[40]  Http//bulletin studika//_Sejarah_perang Salib, diakses tanggal 4 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar