THE CRUSADES
Oleh:
Wira Hadi Kusuma.[1]
“Tidak ada peristiwa yang lebih menentukan
dalam sejarah abad pertengahan selain
penaklukan Tanah Suci.” (M. Michaud).[2]
A.
Pendahuluan
Pernyataan tersebut
menggambarkan bahwa salah satu penyebab mendasar perang salib terjadi adalah
usaha kaum Kristen Eropa untuk mempertahankan dan memenuhi kehendak tuhan.
Karena tuhan telah mensucikan tanah Yerussalem. Sehingga mereka mengharapkan
wilayah (khususnya Yerussalem) yang telah dikuasai oleh Islam tersebut dapat
menjadi perlindungan dan di bawah kekuasaan mereka.[3]
Dalam memperbincangkan
sejarah konflik keagamaan (religious conflict) tidak luput dari perhatian
semua pihak, terutama masyarakat agama tentang pengalaman atau sejarah yang
menyedihkan dan “membakar” semangat “juang” yaitu peristiwa The Crusade
(secara resmi banyak para sejarawan menjelaskan terjadi sejak tahun 1095 sampai
dengan 1291 M) sejak Paus Urbanus II menyerukan perang sucinya (holy war).[4]
Aksi Kekerasan (violence
action) yang dilakukan oleh kelompok-kelompok fundamentalisme agama dengan
dalih atas nama Tuhan. Perang salib juga sering menjadi tolok ukur dan menjadi
spirit dalam aksi kekerasan tersebut hingga sekarang ini.[5]
Agama (religion)
satu sisi dapat memberikan kontribusi dalam perdamaian, karena agama setidaknya mampu menjadi upaya peace
building, serta menjadi tawaran (suggestions), bahwa agama menjadi
kekuatan dalam berperan sebagai pencegah konflik (conflict prevention),
peringan atau kelonggaran ketegangan konflik (mitigation) dan sekaligus
sebagai resolusi (resolution) atau peacemaking and post-conflict
peacebuilding,[6]
tetapi dilain pihak agama dapat menjadi pemicu konflik. Seperti yang
dikemukakan Bikhu Parekh bahwa agama acapkali dalam prakteknya bersifat absolutist,
self-righteous, arrogant, dogmatic and impatient of compromise.[7]
Perbedaan agama
telah menyulut beberapa konflik bahkan peperangan antaragama yang paling brutal
dalam sejarah manusia. Seringkali perbedaan-perbedaan kecil dalam hal ajaran
agama melepaskan kuda-kuda perang dan membenarkan pembantaian manusia secara
masal, yang ironisnya atas nama Tuhan dan panggilan suci agama.[1] Di
antara pemicu mendasar adalah masing-masing pemeluk agama memiliki kecendrungan
pemahaman ke arah exclusivism dan intolerance. Masing-masing agama
menganggap dirinya yang memiliki kebenaran yang absolut, sehingga muncul sikap
kelaim kebenaran (truth claim) terhadap penganut agama lain, bahkan menganggap
kelompok agama lain penuh dosa, berada dalam kesesatan dan celaka.
Makalah ini mencoba
melihat sejarah The Crusade ini yang mencakup beberapa hal antara lain;
definisi atau pengertian The Crusade, faktor-faktor penyabab, upaya
resolusi konflik yang pernah ditawarkan dan dampak setelah peperangan bagi
kehidupan beragama (khususnya Islam dan Kristen).
A.
Definisi
Perang Salib (Crusade)
Crusade berasal dari kata Prancis croix, yang berarti “salib”
(cross). Istilah ini tidak lazim digunakan oleh kaum Kristen untuk
menggambarkan perang suci yang dilakukan untuk mempertahankan atau merebut kembali
tanah suci. Bagi kaum Kristen Eropa peristiwa perang itu adalah bentuk pembelaan
diri bagi kelompok Kristen sebagai “kaum penziarah” (pilgrims).[2]
Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sejak awal mereka dalam berbagai aksinya
selalu dikaitkan dengan salib. Mereka menjahit tanda-tanda salib
dipakaian-paian mereka bahwa mereka sedang benar-benar mematuhi perintah
Kristus kepada pengikutnya untuk mengambil salib, dan mengikutinya serta
memperjuangkannya sampai darah penghabisan (baca: mati).
Memang dalam mendefinisikan The
Crusade terdapat perbedaan di kalangan para sejarawan, hal ini tergantung
dari sudut pandang kita melihatnya. Beberapa defisini perang salib (The
Crusade), dinyatakan antara lain, menurut Lorga Perang Salib adalah sebuah
lingkaran konfrontasi antara Barat dan Timur. Sebuah pertentangan kuno atau
perang antara musuh bebuyutan yang jelas terlihat pada perang antara Persia dan
Yunani, atau perang antara Persia dan Romawi.[3]
Namun yang jelas, pertikaian antara
Barat dan Timur sulit untuk dapat diselesaikan, selain mereka memiliki
keyakinan yang berbeda, juga memiliki peradaban yang jauh berbeda pula dan
memiliki perinsip yang satu sama lain
saling bertentangan. Pertentangan di antara mereka akan mejadi panas apabila
adanya pihak ketiga atau adanya unsur lain yang relatif cukup sensitif, salah
satunya unsur religius. Ada juga sejarawan mendefinisikan bahwa perang salib
adalah segalah usaha umtuk memerangi negara-negara Arab, khususnya negeri Teluk, yang tidak lain
merupakan wujud nyata dari pihak Barat dalam usaha menentang proses eksodus
besar-besaran , akibat runtuhnya kekaisaran Romawi Kuno.[4]
Sedangkan menurut Setton dalam
bukunya A History of The Crusades bahwa
perang Salib adalah merupakan kelanjutan missi keagamaan dari rembongan
penziarah Kristen ke tempat-tempat suci mereka, namun yang dahulunya di bawah
bendera perdamaian, dan berubah niatnya dengan membawa missi perang. Hal ini
ditunjukkan dan dibuktikan oleh rombongan penziarah di bawah pimpinnan Mitaz,
pada tahun 1064 , yang memimpin kurang lebih 7.000 orang penziarah bersenjata
lengkap, lantaran termakan isu, bahwa penguasa Yerussalaem (waktu itu dikuasai
bani Saljuk), telah melakukan penganiayaan terhadap penziarah yang beragama
Kristen, sementara akibat penyerbuan bani Saljuk ke Enthiokie, telah mengakibatkan orang-orang
Byzantium terusir dari wilayahnya. Hal itu yang membuat para penziarah cemas,
sehingga mereka merasa mewajibkan diri untuk mempersenjatai diri ketika
berziarah.[5]
Dari beberapa pendapat di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa perang salib terjadi akibat pihak Kristen ingin
memperluas daerahnya ke balahan bumi yang lain, sementara pada saat yang sama
semangat religius masyarakat Eropa pada umumnya sedang mengalami kebangkitan
yang drastis. Oleh sebab itu, situasi dan kondisi semacam ini merupakan
kesempatan emas bagi orang-orang tertentu (yang selama ini dikekang oleh
gereja) untuk melepaskan keterikatan peraturan dan belenggu ambisi pribadi
mereka. Sehingga dengan dalih pengalaman baru, meninjau peradaban baru dan
mendapatkan “kebahagiaan” dunia akhirat, sebagaimana dijanjikan oleh para
Uskup.
Peperangan Salib itu dimulai dengan
tanggapan Paus Urban II terhadap permohonan
Raja Alexius. Pada tahun 1095, Urban menyerukan
pembebasan Tanah Suci dari
tangan
orang-orang kafir, dan mengadakan
perang suci yang
sudah menjadi tradisi. Bagi
Paus, panggilan untuk
membela agama dan Yerussalem memberikan
suatu kesempatan untuk
memperoleh pengakuan atas otoritas
kepausannya dan peranannya
untuk mengabsahkan pemerintah sementara, dan untuk mempersatukan kembali
gereja-gereja Timur (Yunani) dan Barat (Latin).
Seruan peperangan Paus "Itulah
kehendak Tuhan!", terbukti berhasil. Pendekatan
agama berhasil memikat pikiran
orang dan memanfaatkan kepentingan
diri banyak orang, yang menghasilkan persatuan dan
kembalinya kekuatan Kristen. Para pemerintah, pedagang, dan ksatria
Kristen terdorong oleh keuntungan-keuntungan ekonomi
dan politik yang akan dipetik dengan tegaknya kerajaan Latin di Timur
Tengah.
Para ksatria dari Perancis
dan bagian-bagian lain
Eropa Barat, yang terdorong
oleh fanatisme agama dan harapan
akan pampas an perang, bersatu
melawan orang-orang "kafir" dalam
suatu peperangan yang
tujuannya adalah membebaskan
kota
suci: "Mungkin Tuhan memang
menghendakinya, tetapi yang pasti tidak ada
bukti bahwa orang-orang
Kristen Yerusalem mempunyai harapan
itu, atau ada
sesuatu yang luar biasadalam sejarah yang tertadi pada jamaat di sana
sehingga pada saat itu mereka memberikan tanggapan yang demikian. Perang
Salib diilhami oleh dua institusi Kristen, yaitu ziarah
ke tempat suci dan perang suci: pembebasan tempat-tempat
suci dari tangan kaum Muslim
berkarakterkan keduanya. Ziarah memainkan peran penting bagi kesalehan Kristen.
Mendatang Tempat-tempat suci, menghormati
peninggalan keramat.
B.
Faktor
Penyebab The Crusade
Berangkat dari beberapa pengertian di
atas dapat dijelaskan bahwa perang salib yang terjadi lebih dari dua ratus
tahun lamanya, disebabkan antara lain:
a.
Mempertahankan
atau Membela Tanah Suci (Faktor Agama)
Faktor ini cukup dominan dalam
mendoktrinkan Perang Salib meskipun persoalannya sebenarnya cukup kompleks.
Agama Kristen berkembang pesat di Eropa Barat terutama setelah Paus mengadakan
reformasi. Sementara itu, Kristen mendapat saingan agama-agama lain, terutama
Islam yang berhasil mengambil alih kekuasaan Byzantium di Timur yang juga menganut
agama Kristen seperti Syria, Asia Kecil, dan Spanyol. Spanyol adalah benteng
Eropa bagian barat dan Konstantinopel adalah benteng Eropa sebelah Timur. Kedua
pintu gerbang ini telah digempur kaum muslimin sejak Bani Umayyah, dilanjutkan
oleh dinasti Islam 'Abbasyiah, kemudian pemerintahan Seljuk.[6]
Berbicara tentang arti penting Tanah
Suci, tidak terlepas dengan suatu peristiwa penting yang sakral, salah satunya
adalah Gereja Makam Suci. Bagi kaum Kristen Barat Gereja tersebut adalah
segala-galanya. Sehingga terucap dari ungkapan mereka bahwa; “kami kan mati di
bawah makam Tuhan kami dank aim mati tanpa rasa takut, kami akan
mempertahankannya dan akan terus berjuang demi makam ini dan kami tidak ada pilihan
lain kecuali berjuang”[7]
Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa Arab
terhadap Palestina
pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi penziarahan ke
tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat
Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat
tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem
yang berada jauh di Timur, sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi
dari orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa
Viking dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslimlah yang
berhasil memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium
yang beragama Kristen Orthodox Timur.
Titik balik lain yang berpengaruh
terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiah, Al-Hakim bin Amr Allah
memerintahkan penghancuran Gereja Makam Suci (Church of The
Holy Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium
untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk
berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi banyak laporan yang beredar di Barat
tentang kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang
didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting
dalam perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu.[8]
Penyebab langsung dari Perang Salib Pertama adalah permohonan
Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus
II untuk menolong Kekaisaran Byzantium
menahan laju invansi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut. Pada
tahun 1071, di Pertempuran Manzikert, Kekaisaran
Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Muslim Saljuk dan
kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil
(Turki modern). Meskipun Pertentangan
Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik Barat dengan
gereja Orthodox Timur, Alexius I mengharapkan
respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat
besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru
bagi kekuatan invansi yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium,
akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem.[9]
Perang Salib adalah sebuah gambaran
dari dorongan keagamaan yang intens di masyarakat. Dorongan keagamaan inilah
menjadi pemicu kuat bagi tentara Salib untuk berjuang dan bahkan memberikan sumpah sucinya, akan
menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap
sebagai “tentara gereja”.
Hasilnya adalah kebangkitan semangat
Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan. Hal ini
kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan
untuk mengambil kembali Tanah Suci yang termasuk Yerusalem
(dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut
ajaran Kristen) dan Antioch (kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim.
Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi
dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara
menghindar dari kutukan abadi di “Neraka.”[10]
Persoalan ini diperdebatkan dengan
hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan
dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali,
mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal dunia. Akan tetapi,
kontroversi yang terjadi adalah apa sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang
berkuasa pada saat itu. Suatu teori menyatakan bahwa jika seseorang gugur
ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku.[11]
Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan
oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para
tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam
pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa
jika seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari
dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap
bisa masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib.
b.
Sosial
-Politik Kekuasaan
Sebelum terjadinya perang Salib Barat
telah mengalami pengalaman yang menyakitkan yaitu sejak runtuhnya Kekaisaran
Romawi tahun 476 di tangan Jerman yang lantas dikuasai sampai abad XI, yang
sering disebut Barat adalah masa suram, yang tidak hanya dalam bidang politik
tetapi juga bidang ekonomi dan kebudayaan.[12]
Eropa pernah berjaya dan mengalami
zaman keemasan. Namun waktunya berlangsung relatif singkat, yakni pada masa
Syarlaman (Abad VIII dan awal abad IX). Pada abad IX, bersamaan dengan masuknya
balatentara Viking yang membumi hanguskan Eropa Barat serta pusat peradaban
disana, masuk pula pasukan Hongaria ke bagian Tengah benua sampai ke Jerman
Timur. Sehingga Eropa Barat bergabung dengan dewan Feodalisme (semacam badan
dunia yang memberikan perlindungan dan keamanan bagi anggotanya saat itu).[13]
Sedangkan untuk mendapatkan perlindungan harus memenuhi sayarat antara lain,
setiap pembesar, pejabat, pimpinan negara anggota harus rela memberikan
sebagian hak dan kekuasaannya kepada dewan keamanan dunia dan diwajibkan
membayar uang iuran yang cukup mahal.
Sementara itu, dewan keuskupan dan
gereja-gereja barat yang peranannya sangat diharapkan , ternyata tidak dapat
mengatasi dan meredam krisis yang terjadi. Bahkan semakin memburuk banyak dari
pemuka agama mereka terjadi dekadensi moral. Kondisi ini terus berlangsung
sampai abad ke XII. Selain itu juga pertentangan antara pihak penguasa Barat
dengan pihak Keuskupan Agung terus berlangsung yang dimulai dua puluh tahun
sebelum perang salib terjadi.
Rasa ketakutan pihak Barat terhadap
kemajuan Islam yang telah menguasai beberapa wilayah termasuk Yerussalem,
ketakutan ini terjadi karena pihak Barat terus dibayangi ketakutan atas
peristiwa yang mengharukan dan menyedihkan yaitu keruntuhan masa kejayaan masa
lalu yang diwakili oleh Byzantium Romawi. Sehingga dengan berbagai dalih yang
untuk memperluaskan kawasan kekuasaan dan kepentingan kelompok tertentu, maka
perang salib sebagai “kambing hitam” yang menjadi sasaran empuk untuk mencapai
tujuan tersebut.
c.
Ekonomi
Selain faktor Tanah Suci dan kondisi
sosial-politik masyarakat Eropa, faktor ekonomi masyarakat waktu itu juga
menjadi penyebab perang salib meletus. Karena situasi dan kondisi yang sangat
labil akibat serangan bangsa Viking dan Barbar, yang menyebabkan jutaan hektar
tanah garapan petani porak poranda dan bahan makanan terasa sulit serta
lapangan pekerjaan banyak yang lenyap seketika. Sementara itu pertikaian antara
suku kaum feodal semakin menjadi-jadi, sehingga bagi rakyat sulit mencari
kedamaian dan rasa aman. Penjarahan dan pembunuhan merajalela yang merupakan
pemandangan sehari-hari, terjadi di setiap sudut kota dan desa. semua orang
nampaknya telah masuk dalam sebuah lingkaran ketakutan yang nyaris tanpa batas
menuju puncak situasi terburuk selama hidupnya.[14]
Keadaan yang terus menerus memburuk
yang diderita bangsa Eropa, baik secara politik, ekonomi, dan pada gilirannya
menjadi pemicu antusiasme masyarakat yang mayoritas beragama Kristen untuk
bergabung dalam seruan perang salib, lebih-lebih ketika hal itu dinyatakan
secara resmi oleh Paus Urbanus II (Nopember 1095 di Clermont) sebagai perang
agama.[15] karena
mereka dihadapkan pada dua pilihan yang sama sulitnya yaitu mati kelaparan dan
ketakutan atau mati karena membela dan memperjuangklan misi agama Tuhan.
Kebanyakan dari mereka memilih yang terakhir, karena selain keyakinan mendapat
pengampunan dosa, dan akan masuk surga karena membela agama.
Masyarakat Eropa pada abad
pertengahan terbagi atas tiga golongan masyarakat:
1.
kelompok
agamawan yang terdiri dari orang-orang gereja dan bangsawan.
2.
kelompok
kesatria yang terdiri dari para bangsawan dan penunggang kuda (knights).
3.
kelompok
petani dan hamba sahaya.[16]
Dua kelompok pertama merupakan
kelompok kecil yang secara keseluruhan merupakan institusi yang berkuasa dan
dipandang dari segi sosial-politik yang aristokratis, sedangkan kelompok ketiga
merupakan golongan terbesar yang dikuasai oleh kelompok pertama dan kedua, yang
harus bekerja keras terutama untuk memenuhi kepentingan kedua kelompok
tersebut. Karena itu, kelompok ketiga ini secara spontan menyambut baik
propaganda Perang Salib. Bagi mereka, kalau pun ditakdirkan mati, lebih baik
mati suci dari pada mati kelaparan dan hina. Kalau bernasib baik, selamat
sampai ke Jerusalem, mereka mempunyai harapan baru: hidup yang lebih baik
daripada di negeri sendiri.
C.
Sejarah
Singkat Perang Salib
Dalam makalah ini memang terasa
kesulitan bagi penulis untuk mengungkapkan sejarah perang salib secara
keseluruhan dan mendetail, selain sejarahnya yang cukup panjang selama lebih
dari dua ratus tahun, juga karena sejarah yang dikemukakan oleh para sejarawan
terdiri berbagai perspektif atau sudut pandang dalam melihat sejarah perang
salib ini. Terlepas dari perbedaan yang ada, Maka dalam makalah ini penulis
akan menjelaskan sejarah singkat dari beberapa priode perang salib tersebut.
Dalam menentukan periodenya saja,
sejarawan terdapat perbedaan pendapat. Misalnya ada yang mengatakan perang
salib hanya lima periode saja dan yang lain sampai periode kedelapan. Walaupun
dengan segala keterbatasan penulis akan
menjelaskan secara singkat periode perng salib pertama hingga periode perang
salib kedelapan. Namun demikian kiranya, penjelasan panjang tentang perang
Salib tidak kan pernah habisnya, karena selain perang ini adalah konflik
terbesar pertama dalam sejarah konflik umat Islam dan Kristen,[17] juga
dampak sampai sekarang masih dirasakan oleh kedua agama besar tersebut. Dalam
beberapa kasusu konflik, peristiwa perang Salib sering disebut-sebut, misalnya
J. Bush pada saat runtuhnya gedung WTC, bahwa itu adalah bentuk “perang salib
kecil”.
Pengepungan Antioch, dari lukisan miniatur abad pertengahan selama Perang Salib I.
Meskipun menjelang abad kesebelas sebagian besar Eropa memeluk agama
Kristen secara formal setiap anak dipermandikan, hierarki gereja telah ada
untuk menempatkan setiap orang percaya di bawah bimbingan pastoral, pernikahan
dilangsungkan di Gereja, dan orang yang sekarat menerima ritual gereja
terakhir, namun Eropa tidak memperlihatkan diri sebagai Kerajaan
Allah di dunia. Pertikaian selalu bermunculan di antara
pangeran-pangeran Kristen, dan peperangan antara para bangsawan
yang haus tanah membuat rakyat menderita.
Pada tahun 1088,
seorang Perancis
bernama Urbanus II menjadi Paus. Kepausannya itu ditandai dengan pertikaian
raja Jerman, Henry IV — kelanjutan
kebijakan pembaruan oleh Paus Gregorius VIII yang tidak menghasilkan
apa-apa. Paus yang baru ini tidak ingin meneruskan pertikaian ini. Tetapi ia
ingin menyatukan semua kerajaan Kristen. Ketika Kaisar Alexis
dari Konstantinopel meminta bantuan Paus melawan orang-orang Muslim Turki, Urbanus
melihat bahwa adanya musuh bersama ini akan membantu mencapai tujuannya.[18]
Tidak masalah meskipun Paus telah mengucilkan patriark Konstantinopel, serta Katolik dan
Kristen Ortodoks Timor tidak lagi merupakan satu gereja. Urbanus mencari jalan
untuk menguasai Timur, sementara ia menemukan cara pengalihan bagi para
pangeran Barat yang bertengkar terus. Pada tahun 1095 Urbanus mengadakan
Konsili Clermont.
Di sana ia menyampaikan kotbahnya yang menggerakkan: "Telah
tersebar sebuah cerita mengerikan dan memilukan, sebuah golongan terkutuk yang
sama sekali diasingkan Allah yang telah menyerang tanah (negara) orang Kristen
dan memerangi penduduk setempat dengan pedang, menjarah dan membakar." Ia
berseru: "Pisahkanlah daerah itu dari tangan bangsa yang jahat itu dan
jadikanlah sebagai milikmu. "Deus vult! Deus vult! (Allah
menghendakinya!)," teriak para peserta.[19]
Ungkapan itu telah menjadi slogan perang pasukan Perang Salib.
Ketika para utusan Paus melintasi Eropa, merekrut para ksatria untuk pergi ke Palestina,
mereka mendapatkan respons antusias dari pejuang-pejuang Perancis
dan Italia.
Banyak di antaranya tersentak karena tujuan agamawi, tetapi tidak diragukan
juga bahwa yang lain berangkat untuk keuntungan ekonomi. Ada juga yang ingin
berpetualang merampas kembali tanah peziarahan di Palestina, yang telah jatuh
ke tangan Muslim.
Mungkin, para pejuang tersebut merasa bahwa membunuh seorang musuh
non-Kristen adalah kebajikan. Membabat orang-orang kafir yang telah merampas
tanah suci orang Kristen tampaknya seperti tindakan melayani Allah. Untuk
mendorong tentara Perang Salib, Urbanus dan para paus yang mengikutinya
menekankan "keuntungan" spiritual dari perang melawan orang-orang
Muslim itu. Dari sebuah halaman Bible, Urbanus meyakinkan para pejuang itu
bahwa dengan melakukan perbuatan ini, mereka akan langsung masuk surga, atau
sekurang-kurangnya dapat memperpendek waktu di api penyucian.[20]
Dalam perjalanannya menuju tanah suci, para tentara Perang Salib
berhenti di Konstantinopel. Selama mereka ada di sana, hanya satu hal yang
ditunjukkan: Persatuan antara Timur dan Barat masih mustahil. Sang kaisar
melihat para prajurit yang berpakaian besi itu sebagai ancaman bagi takhtanya.
Ketika para tentara Perang Salib mengetahui bahwa Alexis telah membuat perjanjian
dengan orang-orang Turki, mereka merasakan bahwa "pengkhianat" ini
telah menggagalkan bagian pertama misi mereka: menghalau orang-orang Turki dari
Konstantinopel.
Dengan bekal dari sang kaisar, pasukan tersebut melanjutkan
perjalanannya ke Selatan dan Timur, menduduki kota-kota Antiokhia
dan Yerusalem.
Banjir darah mengikuti kemenangan mereka di Kota Suci itu. Taktik para tentara
Perang Salib ialah "tidak membawa tawanan". Seorang pengamat yang
merestui tindakan tersebut menulis bahwa para prajurit "menunggang kuda
mereka dalam darah yang tingginya mencapai tali kekang kuda".Setelah
mendirikan kerajaan Latin di Yerusalem, dan dengan
mengangkat Godfrey dari Bouillon
sebagai penguasanya, mereka berubah sikap, dari penyerangan ke pertahanan.
Mereka mulai membangun benteng-benteng baru, yang hingga kini, sebagian darinya
masih terlihat.
Pada tahun-tahun berikutnya, terbentuklah ordo-ordo baru yang
bersifat setengah militer dan setengah keagamaan. Ordo paling terkenal adalah Ordo Bait
Allah (bahasa Inggris: Knights Templars) dan Ordo Rumah Sakit (bahasa
Inggris: Knights Hospitalers). Meskipun pada awalnya dibentuk
untuk membantu para tentara Perang Salib, mereka menjadi organisasi militer
yang tangguh dan berdiri sendiri.Perang Salib pertama merupakan yang paling
sukses. Meskipun agak dramatis dan bersemangat, berbagai upaya kemiliteran ini
tidak menahan orang-orang Muslim secara efektif.
b.
Perang
Salib Kedua
Perang Salib Kedua (1147–1149) adalah
Perang Salib
kedua yang dilancarkan dari Eropa. Perang ini terjadi akibat jatuhnya Edessa pada tahun sebelumnya.
Edessa adalah negara-negara Tentara Salib yang pertama
kali didirikan selama Perang Salib Pertama (1095–1099), dan juga negara
yang pertama kali runtuh. Perang Salib Kedua diumumkan oleh Paus Eugenius
III, dan merupakan Perang Salib pertama yang dipimpin oleh raja-raja
Eropa, seperti Louis VII dari Perancis dan Conrad III dari Jerman, dengan bantuan
dari bangsawan-bangsawan Eropa penting lainnya.[21]
Pasukan-pasukan kedua raja tersebut bergerak menyebrangi Eropa
secara terpisah dan sedikit terhalang oleh kaisar Bizantium,
Manuel I Comnenus; setelah melewati teritori Bizantium
ke dalam Anatolia,
pasukan-pasukan kedua raja tersebut dapat ditaklukan oleh bangsa Saljuk.
Louis, Conrad, dan sisa dari pasukannya berhasil mencapai Yerusalem
dan melakukan serangan yang "keliru" ke Damaskus
pada tahun 1148.[22]
Perang Salib di Timur gagal dan merupakan kemenangan besar bagi pihak Muslim. Kegagalan ini
menyebabkan jatuhnya kota Yerusalem dan Perang Salib Ketiga pada akhir abad ke-12.
Penyebab kegagalan Tentara Salib dalam Perang Salib II adalah tidak adanya
kerjasama yang baik antara mereka. Satu dengan yang lain tidak saling
mempercayai karena masing-masing merasa khawatir bila kekuasaannya akan
dilanggar, ditambah lagi wabah penyakit dan kelaparan yang terutama menimpa
Tentara Perancis, disamping serangan yang tidak dilakukan secara serentak
seperti pada Perang Salib I.
c.
Perang
Salib Ketiga
Kegagalan pada pertempuran Hattin dan
penaklukan Yerussalem, menjadi penyulut perang salib ketiga. Perang Salib
Ketiga (1189–1192 M), juga dikenal
sebagai Kings Crusade, adalah sebuah perang yang dikobarkan para
pemimpin Eropa
untuk mendapatkan kembali Tanah Suci dari tangan Shalahudin Al-ayyubi dalam
rangkaian Perang Salib. Setelah Perang Salib Kedua, dinasti Zangi yang
berhasil mengontrol Suriah
terlibat dalam konflik dengan Mesir pimpinan dinasti Fatimiyah, yang
berakhir dengan bersatunya Mesir dan Suriah di bawah pimpinan Shalahudin
Al-ayyubi. Shalahudin Al-Ayyubi kemudian menggunakan kekuatannya
untuk menaklukan Yerusalem pada tahun 1187.[23]
Jauh sebelum kemenangan ini,
Salahuddin berusaha keras untuk membangkitkan semangat Jihad Kaum Muslimin
ketika itu yang sudah mulai rapuh. Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival
yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival
ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan)
sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.Festival ini
berlangsung dua bulan berturut-turut.[24]
Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad
membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran. Salahuddin
berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri
Islam. Pasukan ini kemudian berperang melawan Pasukan Salib di Hattin (dekat
Acre, kini dikuasai Israel). Orang-orang Kristen bahkan akhirnya terdesak dan
terkurung di Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih kemenangan (1187).
Serangan salib ketiga ini dipimpin
oleh tokoh-tokoh Eropa yang paling terkenal: Friedrich I Barbarosa dari
Jerman,
Richard I Lionheart dari Inggris
dan Phillip II
dari Perancis. Namun di antara mereka ini sendiri terjadi perselisihan dan
persaingan yang tidak sehat, sehingga Friedrich mati tenggelam, Richard
tertawan (akhirnya dibebaskan setelah memberi tebusan yang mahal), sedang
Phillip bergegas kembali ke Perancis untuk merebut Inggris justru selama
Richard tertawan.
Walupun terjadi kemenangan antara
kedua bela pihak, tetapi perang Salib ketiga berakhir dengan gencatan senjata
pada tahun 1192 M, dengan kesepakatan bahwa kaum Frank akan menguasai sebagian
besar wilayah laut, sementara Yerussalem tetap berada dalam kawasan kaum
Muslim.[25]
d.
Perang
salib Keempat
Perang salib keempat terjadi ketika
pasukan salib dari Eropa Barat ingin mendirikan kerajaan Normandia (Eropa
Barat) di atas puing-puing Yunani. Paus Innocentius III menyatakan pasukan
salib telah murtad. Di Konstantinopel perampokan dan pemerasan Tentara Salib
menimbulkan perlawanan rakyat, yang dibalas Tentara Salib dengan membakar kota
itu serta mendudukkan kaisar dan Padri Latin. Sebelumnya, kaisar dan padri
Konstantinopel selalu berasal dari Yunani. Tahun 1212, ribuan pemuda Perancis
diberangkatkan dengan kapal untuk bergabung dengan pasukan Salib, namun oleh
kapten kapal mereka justru dijual sebagai budak ke Afrika Utara.
Pada masa Paus Innocent III, gereja
membakar kembali semangat untuk meneruskan kembali Perang Salib. Dalam hal
semangat dan kepemimpinan perang ini bercorak Perancis seperti Perang Salib I.
Target perang ini diarahkan ke Mesir, yang disebabkan karena:
- Mesir adalah pangkalan segala kekuatan Tentara Islam dan semua kekuatan Tentara Islam sudah beralih ke Mesir, sehingga Mesir harus dikuasai lebih dahulu.
- Penaklukan Mesir akan membawa keuntungan perdagangan bagi para pedagang Italia. Jika serangan di arahkan dengan menguasai Jerusalem terlebih dahulu, orang Mesir akan melakukan tindakan pembalasan terhadap para pedagang di Delta Sungai Nil, Dimyat, dan Alexanderia.
Ketika Tentara Salib di Venisia (1202) bersiap
hendak menuju Mesir, tiba-tiba semua pasukan perang diperintahkan untuk
menyerang Konstatinopel pada bulan Juli 1203, dan berhasil menguasai kota itu
pada bulan April 1204. Setelah itu, Baldwin VII diangkat sebagai Kaisar di
Konstatinopel. Kekuatan ini berkuasa selama 60 tahun.[26] Perang
Salib IV berlangsung tahun 1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan
antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di
Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).[27]
e.
Perang
Salib Kelima, enam, tujuh dan kedelapan.
Pada Perang Salib V berlangsung tahun
1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir
yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total. Kaisar
Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI, tapi tanpa
pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik
Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa.
Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran
Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan)
dikuasai orang Eropa-Kristen.[28]
Dua Perang Salib terakhir (VII dan
VIII) dikobarkan oleh Raja Prancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis
menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Prancis perlu menebus dengan
emas yang sangat banyak untuk membebaskannya. Tahun 1270 Louis mencoba membalas
kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan
Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang. Sampai di sini
periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap
bahwa penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki
(1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Islam oleh Ratu Spanyol, Isabella
(1492), juga dianggap Perang Salib.[29]
D.
Sepak
Terjang Tentara Salib dan Teladan Salahuddin Al-Ayyubi
Saat perang Salib, tentara Kristen,
Jerman, Yahudi membantai orang Islam di jalan-jalan. Berbalik 180 derajat
dengan perlakuan pasukan Islam terhadap pasukan Kristen. Simak
akhlaq Salahuddin al-Ayyubi:
“Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami
memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah,
sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih
lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan
kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia
dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang
terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan
kembali.
Di sana, para pria berdarah-darah
disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”Kisah di atas bukan skenario film
yang fiktif, tapi sungguh-sungguh pernah terjadi. Itu adalah pengakuan
seseorang bernama Raymond, salah satu serdadu Perang Salib. Pengakuan ini
didokumentasikan oleh August C Krey, penulis buku Bagi kaum Muslimin, Perang
Salib I memang menyesakkan. Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari,
40.000 kaum Muslimin dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita,
dibantai secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya
tergambar dalam pengakuan Raymond di atas. [30]
a.
Sepak
Terjang Tentara Salib
Sampai abad ke11 M, di bawah pemerintahan kaum Muslimin, Palestina
merupa-kan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan
Islam hidup bersama. Kondisi ini tercipta sejak masa Khalifah Umar bin Khattab
(638 M) yang berhasil merebut daerah ini dari kekaisaran Byzantium (Romawi
Timur).[31] Namun
kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu saja.
Tentara Salib datang melakukan invansi. Ceritanya
bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia
Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Alexius I. Petinggi kaum
Kristen itu segera minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali
wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.
Paus Urbanus II segera memutuskan
untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095).
Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul
Hakim yang menguasai Palestina saat itu menaikkan pajak ziarah ke Palestina
bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci
Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.Perang melawan kaum Muslimin
diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga
mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka
dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga
bagi para ksatria yang mau berperang. Paus juga meminta anggota Konsili
Clermont di Prancis Selatan terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan,
ksatria, dan rakyat sipil untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa
Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci
Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Lo Volt!” (Perang kehendak
Tuhan).[32]
Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan
juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju.
Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri
menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci. Mobilisasi
massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak muda,
bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit
dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan oleh
Pasukan Turki suku Saljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju
Baitul Maqdis (Yerusalem).[33]
Tentara Salib yang utama berasal dari
Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh
Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang
Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil
menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Syria) pada tanggal 3 Juni
1098. Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai
orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan
besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan
pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian,
tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum
Muslimin.[34]
Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari
Palestina hingga Antakiyah.
b.
Teladan
Salahuddin Al-Ayyubi dan Peletak Dasar Nilai Kemanusiaan dalam Islam
Pada tahun 1145-1147 pecah Perang
Salib II. Namun perang besar-besaran terjadi pada Perang Salib III. Di pihak
Kristen dipimpin Phillip Augustus dari Prancis dan Richard “Si Hati Singa” dari
Inggris, sementara kaum Muslimin dipimpin Shalahuddin Al-Ayyubi. Pada masa itu,
Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo
(bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni).
Kondisi ini membuat Shalahuddin prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk
melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.
Pria keturunan Seljuk ini kebetulan
mempunyai paman yang menjadi petinggi Dinasti Fathimiyyah. Melalui serangkaian
lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan
damai. Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku
kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi
penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang
pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati. Shalahuddin
lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan
membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah
nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan
dengan nilai-nilai jihad.
Festival ini berlangsung dua bulan
berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk
berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan
kemiliteran. Salahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para
pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berperang melawan
Pasukan Salib di Hattin (dekat Acre, kini dikuasai Israel). Orang-orang Kristen
bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih
kemenangan (1187).
Dua pemimpin tentara Perang Salib,
Reynald dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin.
Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian
yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena
tidak melakukan kekejaman yang serupa. Tiga bulan setelah pertempuran Hattin,
pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke
Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj, Salahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini
akhirnya bisa direbut kembali setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.[35]
Sejarawan Inggris, Karen Armstrong,
menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya
memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam
yang mulia.[36]
Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan
Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan
tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu
bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada
terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin
menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan
perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk
Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi,
kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)
Tak ada satu orang Kristen pun yang
dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah.
Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan
keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan,
meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama
menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat
penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu
orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga. Beberapa pemimpin
Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan
membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan.
[Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya
tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan
keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).
Shalahuddin meminta agar semua orang
Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani
Ortodoks--bukan bagian dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah
di kawasan itu. Kaum Salib segera mendatangkan bala bantuan dari Eropa.
Datanglah pasukan besar di bawah komando Phillip Augustus dan Richard “Si Hati
Singa”
Setelah berhasil merebutnya dalam
pertempuran 8 hari, sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam
yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, Sebagai
contoh, suatu hari Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara
sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard.
Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat
Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.
Richard terkesan dengan kebesaran
hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur
pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai
(1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk
mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa
senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum
Muslimin.[37]
E.
Dampak
Parang Salib: Analisis konflik hingga sekarang
dan upaya Resolusi konflik
Membicarakan konflik atau perang,
tidak hanya mengahsilkan hal-hal yang negative saja, tetapi konflik atau perang
yang terjadi akan berdampak pada perubahan (change), tergantung
bagaimana kita melihat konflik tersebut. Menurut John Paul Lederach konflik
akan berimplikasi pada perubahan baik personality, relationaly, structurally,
maupun pada culturally.[38]
Seperti halnya yang terjadi pasca perang salib, Bangsa Eropa belajar berbagai
disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam lalu mengarangnya dalam
buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan. Mereka juga
mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum muslimin, sehingga pasca
perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di Eropa. Gustav Lebon
berkata: “Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih mendalam, maka didapati
banyak hal yang sangat positif dan urgen. Interaksi bangsa Eropa selama dua
abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan faktor
dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan hasil
gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.”[39]
Mamang tidak terlepas dari efek negatifnya adalah secara teologis
Eropa makin terpolarisasi. Dunia Kristen Barat makin membentengi diri dan
bersikap memusuhi terhadap segala yang berasal dari luar. Dan ini berjalan
hingga abad 20. Mentalitas perang salib ini juga pernah digunakan beberapa
penguasa Barat untuk menekan kaum protestan. Dan pada Perang Dunia II, Hitler
memotivasi pasukannya dalam melawan Rusia sebagai “Perang salib melawan
Atheisme”.
Sedangkan umat Islam ada yang beranggapan tidak mendapatkan apapun.
Umat Islam tak bisa mengambil apa-apa dari satu pasukan yang bermoral bejat,
yang sebagian besar berasal dari para penganggur dan penjahat. Perang salib
menghabiskan aset umat Islam baik sumber daya alam maupun manusia. Kemiskinan
terjadi karena seluruh kekayaan negara dialokasikan untuk perang. Dekadensi
moral terjadi karena perang memakan habis kaum laki-laki dan pemuda. Kemunduran
ilmu pengetahuan terjadi karena umat menghabiskan seluruh waktunya untuk
memikirkan perang sehingga para ulama tidak punya waktu untuk mengadakan
penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali yang berhubungan dengan dunia
perang. Tetapi menurut penulis ini sebagai pelajaran (i`tibar) penting
bagi kaum Muslim bahwa persatuan dan persaudaraan yang diperintahkan Allah dan
Rasul-Nya adalah alat yang tepat untuk kembali membangkitkan semangat untuk
kemajuan Islam mendatang.
Adapun upaya resolusi terhadap
konflik yang berkepanjang itu (baca:perang salib), antara lain: perang itu
sendiri, sebagai puncak dari konflik yang tidak bisa diselesaikan dengan jalan
lain (seperti egosiasi, dialog, dll) dan terdapat usaha-usaha para
pemimpin-pemimpin perang tersebut (pasukan salib dan pasukan jihad) untuk
melakukan perjanjian damai. Hal ini terjadi pada masa pimpinan perang antara
Salahuddin Al-Ayyubi dengan Richard, yaitu perjanjian damai untuk tidak salaing
menyerang pada perang salib ketiga dan .tercapailah kesepakatan Jaffa pada
perang salib keenam. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi
Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat
Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.[40]
F.
Penutup:
Tabel Kronologi Peristiwa Penting dalam The Crusade sampai penaklukan
Acre (1092-1291)
No
|
Tahun
|
Peristiwa
|
01
|
1092
|
Wafatnya Maliksyah dan Nizam al-Mulk
|
02
|
1094
|
Wafatnya khalifah fatimiyah al-Mustanshir dan Khalifah Abasiyah
al-Muqtadi
|
03
|
1095
|
Konsili Piancenza
|
04
|
1096
|
(27 Nopember) pengumuman perang Salib pertama oleh Paus Urbanus II
di Konsili Clermont
|
05
|
1096-1102
|
Perang salib pertama
|
06
|
1096-1097
|
Para tentara salib tiba di Konstantinopel
|
07
|
1097
|
(1 Juli) pertempuran Dorylaeum dan
(21 Oktober- 3 Juni 1098)
Pengepungan Anthiokia
|
08
|
1098
|
(10 Maret) Baldwin dari Boulagne merebut edessa
(28 Juni) pertempuran Anthiokia
|
09
|
1099
|
(15 Juli) Yerussalem jatuh ke tangan tentara salib
(22 Juli) Godfrey terpilih menjadi raja pertama kaum Frank di
Yerussalem
|
10
|
1101
|
(Agustus-September) Gelombang akhir tentara salib pertama
ditaklukkan oleh bangsa Turki di Asia kecil
|
11
|
1109
|
(12 Juli) Tripoli direbut kaum Frank
|
12
|
1119
|
(12 Juli) Tripoli direbut
oleh pasukan Frank
|
13
|
1124
|
Tirus direbut pasukan Frank
|
14
|
1129
|
Tentara salib menyerang damaskus
|
15
|
1144
|
Zengi merebut Edessa
|
16
|
1146
|
Zengi Wafat
|
17
|
1147-1149
|
Perang salib kedua
|
18
|
1148
|
Pasukan Frank mundur dari Damaskus
|
19
|
1154
|
Nuruddin menduduki damaskus
|
20
|
1163-1169
|
Raja al-Marik dari Yerussalem melakukan ekspedisi ke Mesir.
|
21
|
1169
|
(23 Maret) saladin atas nama Nuruddin berkuasa dimesir
|
22
|
1172
|
Saladin Menghancurkan Khalifah Fatimiyah dan mengembalikan Mesir
kepada Islam Sunni
|
23
|
1174
|
Nuruddin Wafat dan Saladin merebut Damaskus
|
24
|
1183
|
Saladin merebut Aleppo
|
25
|
1186
|
Saladin merebut Mosul
|
26
|
1187
|
Pertempuran Hattin, Saladin merebut kembali Yarussalem, Paus
Gregorius VIII mengumandangkan perang salib ketiga
|
27
|
1189-1192
|
Perang salib ketiga
|
28
|
1190
|
Kaisar Prederik I di Cilicia Tenggelam
|
29
|
1191
|
Richard dari Inggris dan Philip II dari Prancis menerima
penyerahan Acre, pertempuran Arsuf.
|
30
|
1192
|
Perjanjian Jaffa
|
31
|
1193
|
Saladin wafat
|
32
|
1198
|
Paus Inocentius III memaklumatkan perang salib keempat
|
33
|
1202-1204
|
Perang Salib keempat
|
34
|
1204
|
Konstantinopel di Jaraholeh kaum Frank
|
35
|
1213
|
Paus Inocentius III memaklumatkan perang salib kelima
|
36
|
1217-1229
|
Perang salib kelima
|
37
|
1218
|
Penyerangan Damietta
|
38
|
1221
|
Kaum Frank di Mesir dikalahkan di al-Manshurah
|
39
|
1228-1229
|
Perang salib Kaisar Prederik II dari Cicilia
|
40
|
1229
|
Yerussalem di kembalikan kepada Kaum Frank lewat perjanjian dengan
Ayyubiyah
|
41
|
1244
|
Kaum Kawarazmi merebut Yarussalem, pertempuran Laforbie
|
42
|
1250
|
Kaum Frank di kalahkan di al Manshurah
|
43
|
1250-1254
|
St. Louis di Tanah Suci
|
44
|
1258
|
Mongol menyerbu Bagdad dan menghancurkan khalifah Abbasiyah
|
45
|
1260
|
Pertempuran `Ayn jalut-Mamluk mengalahkan bangsa Mongol, baybars
menjadi sultan Mesir
|
46
|
1268
|
Baybars merebut Jaffa, Belfort, dan anthiokia
|
47
|
1270
|
St. Louis wafat
|
48
|
1271
|
Baybars merebut Krak des Chevaliers dan menfort
|
49
|
1277
|
Baybars wafat
|
50
|
1289
|
Qalawun merebut Tripoli
|
51
|
1291
|
Mamluk di bawah al-Asyraf Khalil merebut Acre dan Sidon, Bairut
jatuh ketangan Mamluk.
|
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, Karen.
Holy War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, New
York: Anchors Books, 2001.
______________, Holy
War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, terj.
Hikmat Darmawan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. V, 2007.
_______________, The Battle for God, terj. Satrio
Wahono dkk, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. II, 2001.
_______________, Islam: A Short History, New
York: Modern Library, 2000.
Carter, Judy and
Gordon S. Smith, Religious
Peacebuilding: From Potential to Action, within Harold Coward and Gordon S.
Smith (Eds), Religion and Peace Building (Albany: State University on
New York Press, 2004.
Djama`annuri, Catatan Kuliah selama satu semester mata
kuliah Sejarah Agama-Agama dan Perdamaian, tahun 2009.
Fatah, Sayyid
Abdul. Al Harakah Ash-Shalibiyyah, terj. Muhammad Mahrus Muslim, Jakarta:
Fika Hati Aneska, 1993.
Hillenbrand, Carole.
The Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
cet. III, 2007.
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Salib_Kesatu_kedua_ketiga_Keempat,
di Akses tanggal 4 Maret 2009.
Krey, August C,
The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants,
Princeton & London: 1991.
Lederach, John
Paul, The Little Book of Conflict Transformation, USA: Good Books, 2003.
Miyuki bin Afsha. The
Crusaders. Downlod http://miyukibinafsha.blogdrive.com.
Diakses tanggal 11 Maret 2009.
Parekh,
Bhikhu. Politics, Religion & Free Speech in Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard
University Press, 2002.
Resto, James. Perang
Salib III; Perseteruan Dua Kesatria Salahuddin al-Ayyubi dan Richard si Hati
Singa, terj. Nadiah Abidin, Tangerang: Lentera Hati, 2007), hlm. 19.
Stark, Rodney. One
True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terj. M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Penerbit
Qalam, 2003.
[1] Rodney Stark, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu,
terj. M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), hlm. 169.
[2] Lihat Karen Amstrong, Holy
War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, terj. Hikmat
Darmawan, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. V, 2007), hlm. 23. Bandingkan
juga dengan Karen Amstrong, Holy War: the Crusades The Crusades and Their
Impaction Today`s World, (New York: Anchors Books, 2001), hlm. XVII.
[3] Lihat, Sayyid Abdul Fatah, Al Harakah Ash-Shalibiyyah, terj.
Muhammad Mahrus Muslim, (Jakarta: Fika Hati Aneska, 1993), hlm. 15.
[4] Hal itu dikemukakan oleh Kink,
dalam “The Knight Hospitalters in Holy Land” sebagaimana dikutif oleh
Sayyid Abdul Fatah, Al Harakah Ash-Shalibiyyah, terj. Muhammad Mahrus
Muslim, (Jakarta: Fika Hati Aneska, 1993), hlm. 16.
[5] Ibid, hlm. 19.
[6]
Miyuki bin Afsha. The Crusaders.Downlodhttp://miyukibinafsha.blogdrive.com.
Diakses tanggal 11 Maret 2009.
[7] Carole Hillenbrand, The
Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, cet. III, 2007), hlm. 400.
[8] Ibid, hlm. 21.
[9] Lihat Karen Amstrong, Holy
War: the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, terj.
Hikmat Darmawan, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. V, 2007), hlm. 116.
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Salib_Kesatu_kedua_ketiga_Keempat,
di Akses tanggal 4 Maret 2009.
[11] Ibid.
[12] Sayyid Abdul Fatah, Al
Harakah Ash-Shalibiyyah, terj. Muhammad Mahrus Muslim, (Jakarta: Fika Hati
Aneska, 1993), hlm. 10.
[13] Ibid, hlm. 11.
[14] Ibid, hlm. 34.
[15] Carole Hillenbrand, The
Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, cet. III, 2007), hlm. 400.
[16]
Miyuki bin Afsha. The Crusaders.Downlodhttp://miyukibinafsha.blogdrive.com.
Diakses tanggal 11 Maret 2009.
[17] Penjelasan Prof.
Djama`annuri pada perkulihan terakhir di PPs UIN Sunan Kalijaga pada
tanggal 10 Juni 2009.
[18] Karen Amstrong, Holy War:
the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, terj. Hikmat
Darmawan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. V, 2007), hlm. 34. Bandingkan
juga dengan Karen Amstrong, Holy War: the Crusades The Crusades and Their
Impaction Today`s World, (New York: Anchors Books, 2001), hlm. XXI.
[19] Sayyid Abdul Fatah, Al Harakah Ash-Shalibiyyah, terj.
Muhammad Mahrus Muslim, (Jakarta: Fika Hati Aneska, 1993), hlm. 28.
[20] Karen Amstrong, Holy War:
the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, terj. Hikmat
Darmawan, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. V, 2007), hlm. 37. Bandingkan
juga dengan Karen Amstrong, Holy War: the Crusades The Crusades and Their
Impaction Today`s World, (New York: Anchors Books, 2001).
[21] Karen Amstrong, Holy War:
the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, (New York:
Anchors Books, 2001).hlm. 17.
[22] Ibid.
[23] James Resto, Perang Salib
III; Perseteruan Dua Kesatria Salahuddin al-Ayyubi dan Richard si Hati Singa, terj.
Nadiah Abidin, (Tangerang: Lentera Hati, 2007), hlm. 19.
[24] Http//bulletin
studika//_Sejarah_perang Salib, diakses tanggal 4 Maret 2009
[25] Carole Hillenbrand, The
Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, cet. III, 2007), hlm. 32.
[26] Miyuki bin Afsha. The Crusaders. Downlod
http://miyukibinafsha.blogdrive.com.
Diakses tanggal 11 Maret 2009.
[27] Carole Hillenbrand, The
Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, cet. III, 2007), hlm. 32.
[28] Http//bulletin
studika//_Sejarah_perang Salib, diakses tanggal 4 Maret 2009
[29] Ibid.
[30] August C Krey, The First
Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants, (Princeton &
London: 1991).
[31] Http//bulletin
studika//_Sejarah_perang Salib, diakses tanggal 4 Maret 2009.
[32] Sayyid Abdul Fatah, Al
Harakah Ash-Shalibiyyah, terj. Muhammad Mahrus Muslim, (Jakarta: Fika Hati
Aneska, 1993), hlm. 28.
[33] Http//bulletin
studika//_Sejarah_perang Salib, diakses tanggal 4 Maret 2009.
[34] Carole Hillenbrand, The
Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, cet. III, 2007), hlm. Ii.
[35] Carole Hillenbrand, The Crusade; Islamic Perspective, terj.
Heryadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. III, 2007), hlm. 37.
[36] Karen Amstrong, Holy War:
the Crusades The Crusades and Their Impaction Today`s World, terj. Hikmat
Darmawan, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet. V, 2007), hlm. 103.
[37] Carole Hillenbrand, The
Crusade; Islamic Perspective, terj. Heryadi, (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, cet. III, 2007), hlm. 39.
[38] Lihat John Paul Lederach, The
Little Book of Conflict Transformation, (USA: Good Books, 2003), hlm. 23.
[39] Http//bulletin
studika//_Sejarah_perang Salib, diakses tanggal 4 Maret 2009
[40] Http//bulletin
studika//_Sejarah_perang Salib, diakses tanggal 4 Maret 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar