Kamis, 02 Februari 2012

PEMIKIRAN IBN MISKAWAIH TENTANG ETIKA ISLAM


PEMIKIRAN  IBN MISKAWAIH TENTANG ETIKA ISLAM
DAN  RELEVANSINYA BAGI RESOLUSI KONFLIK


Wira Hadi Kusuma
Jurusan Ushuluddin STAIN Bengkulu
Alamat : Jl. Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu




A.      Pendahuluan
Agama (religion) satu sisi dapat memberikan kontribusi dalam perdamaian, karena  agama setidaknya mampu menjadi upaya peace building, serta menjadi tawaran (suggestions), bahwa agama menjadi kekuatan dalam berperan sebagai pencegah konflik (conflict prevention), peringan atau kelonggaran ketegangan konflik (mitigation) dan sekaligus sebagai resolusi (resolution) atau peacemaking and post-conflict peacebuilding,[1] tetapi dilain pihak agama dapat menjadi pemicu konflik. Seperti yang dikemukakan Bikhu Parekh bahwa agama acapkali dalam prakteknya  bersifat absolutist, self-righteous, arrogant, dogmatic and impatient of compromise.[2]
Kenyatan ini dapat terlihat beberapa kejadian yang terjadi di belahan dunia, termasuk di tanah air Indonesia yaitu aksi kekerasan (violence action) yang dilakukan oleh kelompok tertentu melakukan bom bunuh diri atau sekarang lebih dikenal dengan terorisme. Perbedaan agama atau pemahaman ajaran agama telah menyulut beberapa konflik bahkan peperangan antaragama atau internagama yang paling brutal dalam sejarah manusia.[3]
Acapkali perbedaan-perbedaan kecil dalam hal ajaran agama melepaskan kuda-kuda perang (war) dan membenarkan pembantaian manusia secara masal, yang ironisnya atas nama Tuhan dan panggilan suci agama.[4] Di antara pemicu mendasar aksi kekerasan (violence action) adalah masing-masing pemeluk agama memiliki kecendrungan pemahaman ke arah exclusivism dan intolerance.[5] Dengan demikian sebenarnya bukanlah kesalahan ajaran agama itu sendiri, namun lebih diakibatkan oleh human error, yakni sikap sebagian pemeluknya yang kadangkala menafsirkan ajaran teologis-normatif  secara serampangan.[6]
 Berkaitan dengan hal di atas, pembahasan yang menarik adalah bagaimana Islam memandang kelompok lain dalam hal ini yang dipelopori oleh Ibn Miskawaih (bapak etika). Abad kesepuluh masehi menjadi periode gemilang dalam perkembangan peradaban Islam.[7] Pada masa itu, para intelektual Muslim telah sampai pada puncak kematangan pemikiran dan berbagai ide. Bahkan beragam ide yang berasal dari tradisi intelektual di luar Islam, khususnya filsafat Yunani. Apalagi kala itu, pada saat Dinasti Abasiyyah berkuasa, gencar melakukan translasi atau penerjemahaan karya-karya dari berbagai bidang ilmu ke dalam bahasa Arab. Sehingga banyak Dâr al-`Ilm (semacam perpustakaan umum) didirikan.[8]
Bukan hanya di pusat pemerintahan, Baghdad, tetapi juga di Kairo, Kordoba, dan di belahan dunia Islam lainnya. Tak hanya perpustakaan umum yang tumbuh bak cendawan di musim hujan, perpustakaan pribadi juga banyak bermunculan. Mudahnya akses ke berbagai pengetahuan ini tak heran membuat banyak kalangan yang membuat majelis kajian untuk berdiskusi mengenai hal ihwal agama, filsafat maupun bidang lainnya.
Pada masa seperti inilah kemudian muncul seorang intelektual Muslim terkemuka dalam bidang etika yaitu Ibn Miskawaih yang masa hidupnya dia habiskan di tanah kelahirannya. Kemudian Ibn Miskawaih meninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad, Irak. Ia bekerja sebagai pustakawan di perpustakaan umum pada masa pemerintah dinasti Abbasiyyah. Ia bekerja di sana hingga beberapa kali pergantian kekuasaan terjadi. Perpustakaan bagi dirinya merupakan sekolah yang membuatnya mampu berinteraksi dengan berbagai ilmu pengetahuan.
Ia secara tekun dan serius melakukan kajian di bidang filsafat, sejarah dan kedokteran, bahkan kimia. filsafat dan sejarah sebagai alat untuk menemukan kebanaran. Namun, ia lebih memberi tekanan kepada kajian filsafat terutama filsafat etika. Ia merumuskan langkah bagaimana membangun moral yang sehat serta menguraikan cara-cara membangun jiwa yang harmonis. Di kemudian hari ia lebih dikenal sebagai seorang Islam humanis. Pasalnya ia memiliki kecenderungan agar Islam dapat masuk ke dalam sistem praktik rasional yang lebih luas pada semua ranah kemanusiaan.
Dari uraian di atas, dengan jelas dapat diketahui bahwa Ibn Miskawaih adalah seorang filosuf terkemuka, yang telah berjasa terutama meletakkan dasar filsafat etika pada generasi penerus. Hal ini dapat terlihat bagaimana pandangannya tentang manusia dan teori evolusi Darwin.[9] Pada makalah ini akan membahas tentang etika Islam menurut Ibn Miskawaih dengan rujukan buku utama yang ditulisnya berjudul Tahzib al akhlaq (Pendidikan Akhlak). Ada yang menyebutnya Ibn Miskawaih atau Maskawaih, tetapi pada makalah ini akan menggunakan sebutan Ibn Miskawaih.
B.       Biografi Singkat dan Karya-karyanya
Nama lengkap Ibn Miskawaih adalah Abû Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih. Ia lahir di Rayy di dekat kota Teheran pada tahun 320 H/932 M dan wafat pada usia lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Pebruari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi (320-450 H./932-1062 M.) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syi’ah.[10]
Ibn Miskawaih memiliki keahlian dalam berbagai bidang ilmu. Ia dikenal sebagai sejarawan besar yang melebihi pendahulunya, at-Thabari (W. 310 H/923 M). Juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahliannya itu dibuktikan dengan karya tulisnya berupa 41 buah buku dan artikel dalam bidang tertentu namun selalu berkaitan dengan filsafat akhlak.
Dari 41 karyanya itu, 18 buah dinyatakan hilang, 8 buah masih berupa manuskrip, dan 15 buah sudah dicetak. Dari 15 naskah yang sudah dicetak hanya ditemukan 9 judul, yaitu Tahdzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, Kitab al-Sa’adat, al-Hikmat al-Khalidat, Kitab al-Fauz al-Ashghar, Maqalat fi al-Nafs wa al-Aql, Risalat fi al-Ladzdzat wa al-Âlam, Risalat fi Mahiyyat al-‘Adl, Kitab al-Aql wa Al-Ma’qul, dan Washiyyat Ibn Miskawaih.[11]
Dari segi latar belakang pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang rinci. Namun dijumpai keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadli, mempelajari filsafat dari Ibnu al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abu Thayyib. Dalam bidang pekerjaan, tercatat bahwa pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi. Disamping akrab dengan para penguasa, ia juga banyak bergaul dengan para ilmuan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya ibn ’Adi dan Ibnu Sina.
Ibn Miskawaiah selain dikenal sebagai pemikir (filosuf), ia juga sebagai penulis produktif. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy seperti yang dikutip oleh Sirajuddin Zar disebtukan beberapa tulisannya sebagai berikut:
a.       Al Fauz al Akbar
b.      Al Fauz al Asghar
c.       Tajarib al Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ia tulis pada tahun 369 H/979 M)
d.      Uns al Farid (Koleksi anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah)
e.       Tartib al Sa`adat (tentang akhlak dan politik)
f.       Al Mustaufa (tentang syair-syair pilihan)
g.      Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
h.      Al Jami`
i.        Al Siyab
j.        Kitab al Ashribah
k.      Tahzib al Aklaq
l.        Risalat fi al Lazzat wa al Alam fi Jauhar al Nafs
m.    Ajwibat wa As`ilat fi al Nafs wa al `Alaq
n.      Thaharat al Nafs dan lain-lain.[12]
Ibn Miskawaih selain dikenal sebagai bapak etika Islam, Miskawaih juga dikenal sebagai seorang guru ketiga (al Mu`allim al Tsalits), setelah al Farabi, yang digelar sebagai guru kedua (al Mu`allim al Tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai guru pertama (al Mu`allim al Awwal) adalah Aristoteles.[13]
Adapun situasi sosial politik pada masa Ibn Miskawaih. Ibn Miskawaih hidup pada masa Dinasti Buwaihi dari rangkaian kekhilafahan Abasiyah yang situasi sosial politiknya tergambar sebagai berikut. Pada periode 945-967 M merupakan masa kejayaan dan kemapanan. Dari tahun 967-1012 terjadi masa stagnasi dan kefakuman karena adanya perebutan kekuasaan sesama keluarga. Dalam periode 1012-1055 M Dinasti Buwaihi memasuki fase kemunduran dan kehacuran.[14]
Sedangkan situasi perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Ibn Miskawaih yaitu Dinasti Buwaihi sebagai rangkaian dari kekhilafahan Abasiyah mencurahkan perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa ini muncul ilmuwan-ilmuwan besar seperti Istakhari; ahli ilmu bumi, Nasawi; ahli matematika, Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M), Al-Farghani Abd al-Rahman al-Shuffi (w. 986 M), Abu al-‘Ala al-Ma’arri (w. 1057 M) dan kelompok Ihkwan al-Shafa.[15]

C.      Etika Islam Menurut Ibn Maskawaih
Ibnu Miskawaih dikenal sebagai bapak etika Islam. Ia telah telah merumuskan dasar-dasar etika di dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlaq (pendidikan budi). Sementara itu sumber filsafat etika ibnu Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Dalam menjelaskan Etika Islam Menurut Ibn Miskawaiah, akan dijelaskan poin-poin penting yang relevan dengan pembahasan ini.
1.    Pengertian Akhlak (khuluq)
Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq,    الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية ولا رويةyang berarti keadaan jiwa yang mengajak atau mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya.[16] Hal yang senada di kemukakan oleh Aristoteles bahwa watak seseorang sangat mungkin dapat berubah.
Dengan kata lain akhlak adalah keadaaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini terbagi menjadi dua; ada yang berasal dari watak (bawaan) atau fitrah sejak kecil dan ada pula yang berasal dari kebiasaan latihan.[17]
 Dengan demikian yang dapat mendorong perbuatan manusia secara spontan selain sebagai fitrah (naluria) manusia sejak kecil, juga dapat dilakukan melalui kebiasaan latihan dan proses pendidikan sehingga perbuatan-perbuatan itu menjadi baik. Dari defenisi di atas jelaslah bahwa Ibn Miskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan bahwa akhlak atau moralitas manusia berasal dari watak dan tidak mungkin dapat berubah. Ia menegaskannya bahwa kemungkinan perubahan akhlak dan moralitas itu selalu terbuka lebar terutama bila dilakukan melalui pendidikan (tarbiyyah). Hal ini juga terlihat dari gambaran awal dari pendahuluan buku Tazhib al Akhlaq Ibn miskawaih mengutip sebuah ayat al Quran Surat al Syams ayat 7-8.[18]
Mengawali pembahasan tentang akhlak ini, Ibn Miskawaih membahas atau memberi beberapa perinsip dasar tentang akhlak, yakni:[19]
ü  Tujuan ilmu akhlak adalah membawa manusia kepada kesempurnaan. Kesempurnaan manusia terletak pada pemikiran dan amal perbuatan. Yaitu kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan amal. Tugas ilmu akhlak terbatas pada sisi amal perbuatan saja, yakni meluruskan akhlak dan mewujudkan kesempurnaan moral seseorang, sehingga tidak ada pertentangan antar berbagai daya dalam dan semua perbuatannya lahir sesuai dengan daya berpikir.
ü  Kelezatan inderawi hanya sesuai dengan hewan tidak dengan manusia. Bagi manusia kelezatan akali adalah yang lebih sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
ü  Anak-anak harus didik sesuai dengan akhlak yang mulia, disesuaikan dengan rencananya dengan urutan daya-daya yang mula-mula lahir padanya. Jadi, dimulai dengan jiwa keinginan, lalu jiwa marah, dan akhirnya jiwa berpikir. Rencana pendidikan juga dimulai dengan adab makan, minum, berpakaian (jiwa keinginan), lalu sifat-sifat berani dan daya tahan (jiwa marah) dan akhirnya sifat bernalar, sehingga akal dapat mendominasi segala tingkahlaku (jiwa pikir).
2.         Jiwa (Al Nafs)
Memperbincangkan akhlak, moral atau etika sebagaimana definisi akhlak yang dikemukakan sebelumnya, sangat terkait dengan jiwa. Menurut Ibn Miskawaih jiwa adalah jauhar rohani yang kekal dan tidak hancur dengan sebab kematian jasad.[20]
Menurut Ibn Miskawaih penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia. Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran Tuhan.[21]
Jiwa dan daya menurut Ibnu Miskawaih dibagi menjadi tiga bagian:
a. Jiwa rasional (al-nafs an-natiqah) yang memiliki daya pikir, yang disebut jiwa atau daya raja (mulukiyah), yang merupakan fungsi jiwa tertinggi, yang memiliki kekuatan berpikir dan melihat fakta dengan alat otak. [22]
b. Jiwa binatang buas (al-nafs as-sab’iyah) yang memiliki daya marah, yaitu keberanian menghadapi resiko, ambisi terhadap kekuasaan, kedudukan dan kehormatan, yang menggunakan alat hati.
c. Jiwa binatang (al-nafs al-bahimiyah) dengan daya nafsu, yaitu daya hewani yang mendorong untuk makanan, minuman, kelezatan, seksualitas, dan segala macam kenikmatan indrawi, dan alat yang digunakan adalah jantung.[23]
Daya bernafsu dan berani berasal dari unsur materi, sedangkan daya berfikir berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran. Lebih lanjut Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa hubungan jiwa al-bahimiyyah/al-syahwiyyah (daya bernafsu) dan jiwa al-ghadabiyyah/ls-sabu’iyyah (daya berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi. Kuat atau lemahnya, sehat atau sakitnya tubuh berpengaruh terhadap kuat atau lemahnya dan sakit atau sehatnya kedua macam jiwa tersebut. Oleh karena itu, kedua macam jiwa ini, dalam melaksanakan fungsinya tidak akan sempurna kalau tidak menggunakan alat bendawi atau alat badani yang terdapat dalam tubuh manusia. Jadi manusia terdiri dari dua unsur jasad dan ruhani yang antara satu sama lainnya saling berhubungan.
Dalam hal jiwa manusia, yang memiliki tiga daya Ibn Miskawaih memiliki pendapat yang sama dengan Plato dan Aristoteles. Demikian pula mengenai teori Jalan Tengah (al-wasath), Ibn Miskawaih berpendapat sama dengan Plato dan Aristoteles yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah The Doktrin of The Mean atau The Golden. Hanya saja dalam pemaparan keempat pokok keutamaan itu Ibn Miskawaih lebih banyak dipengaruhi oleh Aristoteles. Perbedaan mencolok antara Ibn Miskawaih dengan Aristoteles terletak ketika membicarakan landasan untuk memperoleh posisi tengah. Aristoteles hanya menyebut akal sedangkan Ibn Miskawaih menyertakan syariat di dalamnya.
3.    Keutamaan (Al Fadilah)
Ibn Miskawaih mendasarkan teori keutamaan moralnya pada posisi al Wasath (pertengahan). Doktrin jalan ini sebenarnya sudah dikenalkan oleh filosuf sebelumnya, seperti Mencius, Palto, Aristoteles dan filosuf Muslim Al Kindi. Ibn Miskawaih secara umum memberikan pengertian “pertengahan” (jalan tengah) tersebut antara lain dengan berkesinambungan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi ektrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia.
Menurutnya, setiap sifat keutamaan memililiki dua ekstrem kekurangan, yang tengah adalah terpuji dan yang ekstrem adalah tercela. Posisi tengah yang dimaksudkana adalah suatu standar atau perinsip umum yang berlaku bagi manusia. Posisi tengah yang sebenarnya adalah satu, yakni keutamaan yang disebut garis lurus. Pokok sifat keutamaan itu terbagi menjadi empat, yaitu hikmah (kebijaksanaan), `Iffah (kesucian), Syaja`ah (keberanian), `adalah (keadilan), sedangkan yang jelek ada delapan. Rinciannya adalah nekad, pengecut, rakus, dingin hati, kelancaran, kedunguan, aniaya, dan teraniaya.[24]
Penjelasan lebih mendetail  dapat diperhatiakan tabel sebagai berikut:
Ekstrim kekurangan
(Al Tafrith)
Posisi Tengah
(Al Wasath)
Ekstrim kelebihan
(Al Ifrath)
Kedunguan
Kebijaksanaan
Kelancangan
Pengecut
Keberanian
Nekad
Dingin hati
Menahan diri
Rakus
Teraniaya
Keadilan
Aniaya
Ibn Miskawaih mengakui bahwa posisi tengah sifatnya relatif. Maka alat yang menjadi ukuran untuk memperolah sikap tengah ini adalah akal dan ajaran agama. Doktirn jalan tengah ini dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dinamis dan fleksibel. Jadi dengan doktrin jalan tengah manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.[25]
Setiap keutamaan tersebut memiliki cabangnya masing-masing. Hikmah atau kebijaksanaan memiliki tujuh cabang, yaitu ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas, jernih ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar. `Iffah atau menjaga diri memiliki dua belas cabang, yaitu malu, ketenangan, sabar, dermawan, kemerdekaan, bersahaja, kecenderungan kepada kebaikan, keteraturan, menghias diri dengan kebaikan, meninggalkan yang tidak baik, ketenangan, dan kehati-hatian.[26]
Adapun syaja`ah atau keberanian berkembang menjadi sembilan cabang, yaitu berjiwa besar, pantang takut, ketenangan, keuletan, kesabaran, murah hati, menahan diri, keperkasaan, dan memiliki daya tahan yang kuat atau senang bekerja berat. [27]  
Sementara keadilan (al `Adalah) oleh Ibn Miskawaih dibagi ke dalam tiga macam, yaitu keadilan alam, keadilan adat istiadat, dan keadilan Tuhan. Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat bahwa posisi jalan tengah tersebut bisa diraih dengan memadukan fungsi syariat dan filsafat. Syariat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa bernafsu dan jiwa berani. Sedangkan filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa berfikir. [28]
Dengan demikian, perinsip keadilan menjadi renungan dan juga harus dilaksanakan dalam kehidupan yang sekecil-kecilnya, karena hal ini akan menambah kua;itas hidup seseorang menjadi manusia yang mampu menggunakan akal cerdas, yang selanjutnya akan selalu mendapat ridha Allah swt.
Menurut Miskawaih asas semua keutamaan (al Fadilah) adalah cinta kepada semua manusia. Manusia tidak akan mencapai kepada tingkat kesempurnaan kecuali dengan memelihara jenisnya dan menunjukkan pengertian terhadap sesama jenisnya. Selanjutnya Miskawaih menjelaskan bahwa cinta tersebut tidak akan tampak bekasnya kecuali jika manusia berada di tengah-tengah masyarakat dan saling berinteraksi satu sama lain di dalamnya.
Selanjutnya Miskawaih menjelaskan bahwa seseorang yang mengucilkan diri dari masyarakat, belumlah dapat dinilai telah memiliki sifat terpuji atau tercela. Penilaian tersebut baru dapat diberikan hanya kepada seseorang yang telah berkecimpung di tengah masyarakat. Jadi, sikap uzlah dapat dipandang sebagai sikap yang mementingkan diri sendiri. Muncul sebuah pertanyaan bagaimana sesuatu masyarakat yang bobrok dapat diubah menjadi baik bila orang-orang terbaiknya memencilkan diri tanpa mau meberikan pertolongan kepada perbaikan masyarakat tersebut. Dari penjelasan tersebut, sifat uzlah dapat dipandang identik dengan sifat zalim dan bakhil (sifat tercela). Sehingga dapat dikatakan bahwa konsep akhlak atau moral dalam pandangan Ibn Miskawaih sangat terkait dengan konteks kehidupan masyarakat.
Kebahagiaan (Al Sa`adah)
Miskawaih membedakan antara al khair (kebaikan) dan al sa`adah (kebahagiaan). Menurut Miskawaih al khair adalah suatu keadaan dimana seseorang sampai pada batas akhir kesempurnaan wujud. [29] Kebaikan adakalanya bersifat umum dan adakalanya bersifat khusus. Di atas semua kebaikan mutlak yang identik dengan wujud tertinggi.  Kebaikan bersifat umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, atau dengan kata lain ukuran-ukuran kebaikan yang disepakati oleh seluruh manusia. Kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan yang kedua inilah yang disebut kebahagiaan.[30] Karena itu dapat dikatakan bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi tiap orang bergantung pada bagaimana orang-orang yang berusaha memperolehnya.
Ada dua pandangan pokok tentang kebahagiaan (sa`adah). Yang pertama diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja, kebahagiaan berbeda menurut masing-masing orang seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Ibnu Miskawaih mencoba mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju berderajat malaikat.
Cinta (Mahabbah)
            Miskawaih menekankan betapa pentingnya mengembangkan cinta dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga Miskawaih menjadikan cinta sebagai salah satu unsur etika. Ia membagi cinta menjadi dua: cinta suci dan cinta hewani. Cinta suci dikelompokkan menjadi dua bentuk yaitu cinta manusia kepada Allah swt atau Tuhan, dan manusian kepada manusia, terutama cinta murid kepada guru. Cinta dalam bentuk yang pertama sulit dicapai oleh manusia biasa. Sedangkan cinta dalam bentuk yang kedua disamakan juga dengan cinta anak kepada orang tua. Kebaikan yang diberikan anak kepada guru atau orang tua merupakan kebaikan ilahiah. Adapun cinta hewani merupakan bentuk cinta yang bertentangan dengan kedua bentuk sifat suci tersebut. Perbedaan keduanya terlihat pada objeknya. Objek cinta hewani adalah kesenangan, sedangkan objek cinta suci adalah kebaikan.[31]
            Miskawaih juga menjelaskan tentang persahabatan, secara umum persabatan adalah perbutan yang suci dan bermanfaat bagi manusia. Orang yang baik atau cenderung memiliki cinta suci akan bersabat dengan dirinya dan bersahabat dengan orang lain. Ia tidak memilki musuh. Orang yang bahagai adalah orang yang mempunyai sahabat dan berusaha agar dirinya bermanfaat bagi sahabatnya. Miskawaih mengatakan bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan teman dalam hidupnya, dalam keadaan baik maupun dalam keadaan buruk. Sehingga untuk mencapai kebahagian ini, maka manusia harus bekerja keras untuk membahagiakan sahabat-sahabanya.
  1. Relevansinya Bagi Resolusi Konflik
Uraian di atas, dapat  memberikan gambaran bagaimana etika menurut Ibn Miskawaih. Baik etika kepada diri sendiri, kepada Allah dan kepada sesama manusia. Dalam relasi etika Islam dalam pandangan Ibn Miskawaih  dengan resolusi konflik dapat dilihat dari beberapa segi, antara lain:
Pertama, berangkat dari definisi moral, etika atau akhlak yang dijelaskan  Ibn Miskawaih yaitu kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dipikirkan sebelumnya. Selanjutnya akhlak atau moral seseorang sangat mungkin dapat berubah melalui pendidikan dan latihan-latihan. Dari pengertian dapat ditarik kesimpulan dam hubungannya dengan reolusi konflik, misalnya ada anggapan watak orang pemarah tidak akan berubah dan akan tetap kekal menjadi akhlaknya, sehingga sulit dicari solusi penyelesaiannya. Anggapan tesebut terbantahkan dan ternyata akhlak tersebut dapat diubah melalui proses pendidikan dan latihan. Relasinya dengan resolusi konflik adalah sebesar apapun potensi konflik yang ada dalam masyarakat dapat dicegah (preventif) dengan proses pendidikan dan latihan. Akhirnya manusia  dengan dorongan tersebut yang menginternal menjadi pribadi menjadi semakin cerdas dalam menangani atau memanajemen konflik.
Dalam konteks riil sekarang ini, asumsi yang mengatakan bahwa watak kepolisian yang membabi buta, atau dengan kata lain watak penyidik tetapi bermain (suap-menyuap) dalam menangangi kasus dapat terbantahkan atau dapat berubah menjadi lebih baik apabila semua pihak kepolisian secara sadar dan ingin secara terus menerus melakukan latihan untuk menghapuskan budaya tebang-pilih dapat menyidik berbagai kasus di tanah air tercinta ini.
Kedua, konsep keutamaan etika atau moral “jalan tengah” atau al Wasath. Hal ini penting untuk dijadikan kajian dalam ranah resolusi konflik, baik konflik dalam skala kecil yaitu konflik individu maupun konflik dalam skala luas yang melibatkan orang lain. Konsep ini relevan dalam proses penyelesaian konflik, terutama posisi seseorang sebagai mediator, negisiator, arbiter dan sejenisnya. Dari konsep ini posisi mediator misalnya, memiliki peranan penting untuk berlaku adil, bijaksana, berani dan menjaga diri. Adil dalam pengertian tidak berat sebelah antara pihak yang berperkara. Dan begitu seterusnya dengan bijaksana, menahan diri dan berani. Seperti yang dijelaskan oleh Miskawaih bahwa konsep jalan tengah bersifat fleksibel, sehingga dalam konteks penyelesaian konflik dibutuhkan sifat ini. Dengan kata lain, sifat jalan tengah ini dapat menyesuaikan dengan konteks masalah yang dihadapi dan manusia yang sedang bertikai.
Kasus Bank Century dan Konflik antara KPK dan Kepolisian merupakan   kasus yang memalukan dan memilukan. Hal ini terjadi karena banyak pihak yang terlibat terutama para penegak hukum menjadi pelanggar hukum atau dengan kata lain tidak bersifat objektif dalam memberikan solusi terhadap kasus yang dihadapi. Misalnya Susno Duaji melakukan sumpah dan juga anggota KPK melakukan hal yang sama, yang menyatakan tidak melakukan hal-hal yang melanggar hukum. Tetapi dalam kenyataannya sumpah tersebut adalah sumpah palsu?Bagaimana hal ini disikapi dalam pandangan Ibn Miskawaih. Menurut penulis adalah penting untuk melakukan bimbingan yang kontinyu terhadap aparat penegak hukum akan pentingnya perinsip-perinsip keadilan dan kejujuran, sehingga secara perlahan akan merubah padigma dan kebiasaan buruk yang pernah dilkukan para pendahulunya.
Ketiga, konsep kabaikan dan  kebahagiaan. Bila ditarik hubungan dengan resolusi konflik bahwa ada titik temu antara konsep kebaikan yang telah disepakati oleh suatu masyarakat secara umum, misalnya seseorang akan kecewa apabila di zalimi, sehingga dengan konsep kebaikannya ia akan menghindari atau berusaha menjauhkan diri dari prilaku-prilaku kezaliman. Namun demikian, bagi orang yang  menggunakan daya akalnya atau Nafs Nathiq, ia akan tetap bahagia terhadap kezaliman yang diterimanya. Karena salah satu perinsip orang yang bahagia adalah tidak memiliki musuh atau dengan kata lain ia akan selalu bersahabat kepada siapapun dan berusaha untuk meberikan manfaat bagi mereka.
Keempat, konsep mahabbah yang dijelaskan Miskawaih juga menjadi penting untuk renungan, karena pada dasarnya potensi cinta suci yang dimiliki manusia lebih dominan dari pada potensi cinta hewani. Namun realitasnya banyak manusia yang lebih mengagungkan dan mengembangkan potensi cinta hewani, sehingga yang menjadi objeknya adalah kesenangan. Tetapi apabila manusia mampu mengembangkan potensi cinta suci, baik cinta kepada Allah maupun kepada sesama manusia dengan baik, maka ia akan memperoleh kebahagiaan. Adapun yang menjadi objeknya adalah kebaikan. Relasinya dengan resolusi konflik dapat dilihat dalam aplikasinya, yaitu sebagai mediator misalnya dapat mengetahui aspek psikologis dan jenis cinta yang dikembangkan seseorang dalam penyelesaiaan konflik, serta mencari metode yang tepat agar dapat meresolusi terhadap masalah yang ada.
  1. Penutup
Konsep akhlak yang dikembangkan Ibn Miskawaih lebih dekat bila dikatakan sebagai etika religius-filosofis, karena pemikirannnya yang diutarkannya selalu didasarkan atas tuntunan ajaran agama. Sehingga tidak jarang apabila dalam tulisanya ditemukan berbagai ayat al Quran dan Hadits sebagai pendukung argumentasinya. Sementara itu, ia juga mengambil pemikiran-pemikiran para filosuf sebelumnya, terutama filsafat Aristoteles. Namun selanjutnya, menjadi lebih khas tulisan-tulisannya adalah ia memadukan antara hasil kerja filosuf dan ajaran syariat Islam.
Dalam kaitannya dengan resolusi konflik, etika menurut Ibn Miskawaih ini menjadi penting untuk di ajarkan kepada masyarakat. Karena secara potensial manusia telah memiliki daya-daya yang telah Allah pancarkan kepada mereka, sehingga pancaran-pancaran dapat bercahaya dapat dilakukan melalui proses pendidikan dan latihan-latihan. Sehingga upaya pemanfaat al Nafs Nathiq dapat berjalan maksimal, atau paling tidak dapat menyeimbangkan antara al Nafs al Bahimiyyah, al Nafs Sabu`iyaah dan al Nafs Nathiq, selanjutnya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.



DAFTAR PUSTAKA

Abd. Ar Rahman Badawi, A History of Muslim Philosophy, Weisbaden: Otto Herrossowittz, 1997
Afifun Nidlom, “Filsafat Akhlak Ibn Miskawaih”, http; //www kajiislam. worpress .com. Diakses tanggal 10 November 2009.
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Ahmad Norma Permata, Agama dan Terorisme, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2006.
Amin Abdullah, “Agama dan Resolusi Konflik” makalah yang disampaikan dalam kegiatan seminar nasional yang bertema “Revitalisasi Agama Untuk Resolusi Konflik Di Indonesia” yang bekerjama dengan pemerintah daerah Propinsi Gorontalo, dalam rangka mensyukuri kelahiran Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga ke-25 di Hotel Saphir Yogyakarta, 14 Maret 2008.
Burhanuddin Daya,  Agama Dialogis Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antar Agama. Yogyakarta : LKiS, 2004, cet. I.
Bhikhu Parekh, Politics, Religion & Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002.
Depag RI, Alquran Terjemah, Jakarta: Syamil Press, 2007.
Farid Nu`man, “Ibn Miskawaih Bapak Etika Islam”, http :// darululum. Blogspot .com/2006/12/ibn-maskawaih-bapak-etika-islam-.html. Diakses tanggal 5 November 2009.
Hamid Reza Alavi, “Ethical views of Ibn miskawayh and Aquinas” dalam http://www.academicjournals.org/PPR. Diakses tanggal  10 Nopember 2009.
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 1999.
Ibn Miskawaih, Tahzib Al Aklaq wa Tahhir al A`raq, Kairo: Muassasat AlKhaniji, 1967 juga dapat dilihat http://www.alwarraq.com. Dalam google.com. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2009.

Judy Carter and Gordon  S. Smith, Religious Peacebuilding: From Potential to Action, within Harold Coward and Gordon S. Smith (Eds), Religion and Peace Building. Albany: State University on New York Press, 2004.
Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 23, Al Maktabah Asy Syamilah.
Karen  Amstrong, Islam: A Short History, terje Ira Puspito Rini, Surabaya: Ikon Tealitera, 2004.
Mustofa, Filsafat Islam Untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, dan Ushuludin Komponen MKDK, Bandung: Pustka Setia, 1997.
Rodney Stark, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terj. M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.
Saleh Partaonan Daulay, “Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Ibnu Maskawaih”, dalam Jurnal TA`DIB, Vol. VII, No. 2., Edisi Nopember 2003.
Syarif MM, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1998.
Thoha Hamim, dkk, Resolusi Konflik Islam Indonesia, Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2007.
Yusuf Musa, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1993.




[1]Judy Carter and Gordon  S. Smith, Religious Peacebuilding: From Potential to Action, within Harold Coward and Gordon S. Smith (Eds), Religion and Peace Building (Albany: State University on New York Press, 2004), hlm. 279.
[2]Bhikhu Parekh, Politics, Religion & Free Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002), hlm. 330.
[3]Burhanuddin Daya,  Agama Dialogis Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antar Agama  (Yogyakarta : LKiS, 2004, cet. I), hlm. 2. Perbedaan  itu sendiri ada secara alami karena terbentuk oleh belief, pandangan hidup atau wolrd view. Keyakinan lebih-lebih yang dogmatis-ideologis, dibentuk oleh kepentingan kepentingan untuk mempertahankan diri atau kelompok (survival for the fittest). Lihat Amin Abdullah, “Agama dan Resolusi Konflik” makalah yang disampaikan dalam kegiatan seminar nasional yang bertema “Revitalisasi Agama Untuk Resolusi Konflik Di Indonesia” yang bekerjama dengan pemerintah daerah Propinsi Gorontalo, dalam rangka mensyukuri kelahiran Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga ke-25 di Hotel Saphir Yogyakarta, 14 Maret 2008.
[4]Rodney Stark, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terj. M. Sadat Ismail, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), hlm. 169.
[5]Ahmad Norma Permata, Agama dan Terorisme (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2006), hlm. 69.
[6]Thoha Hamim, dkk, Resolusi Konflik Islam Indonesia (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2007), hlm. v.
[7]Karen  Amstrong, Islam: A Short History, terj Ira Puspito Rini (Surabaya: Ikon Tealitera, 2004, cet. IV), hlm. 97.
[8]Abd. Ar Rahman Badawi, A History of Muslim Philosophy (Weisbaden: Otto Herrossowittz, 1997), hlm. 54. Lihat juga Syarif MM, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 84.
[9]Dalam buku tersebut, Charles Darwin telah menyatakan bahawa manusia berkembang secara evolusi daripada spesies hidupan yang paling ringkas kepada yang kompleks.Perkembangan itu berlaku secara perlahan-lahan dan mengambil masa yang lama. Hasil daripada kajian dan pemerhatiannya terhadap pelbagai spesies hidupan dan fosil di beberapa buah benua, beliau akhirnya membuat keputusan bahawa manusia se­benarnya berasal daripada beruk melalui proses evolusi. Teori evolusinya telah menjadi kontroversi dan mendapat tentangan daripada pihak gereja kerana dia menafikan peranan Tuhan dalam menjadikan kehidupan di muka bumi ini.
[10]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 127.
[11]Lihat Farid Nu`man, “Ibn Miskawaih Bapak Etika Islam”, http :// darululum. Blogspot .com/2006/12/ibn-maskawaih-bapak-etika-islam-.html. Diakses tanggal 5 November 2009.

[12]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf  dan Filsafatnya, hlm. 128-129. dapat juga dilihat dalam buku aslinya yang ditulis Abd. Ar Rahman Badawi, A History of Muslim Philosophy, (Weisbaden: Otto Herrossowittz, 1997)
[13]A. Mustofa, Filsafat Islam Untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, dan Ushuludin Komponen MKDK, (Bandung: Pustka Setia, 1997), hlm. 176.
[14]Yusuf Musa, Filsafat Islam, (Jakarta: gaya Media Pratama, 1993), hlm 23.
[15] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm 53.
[16]Ibn Miskawaih, Tahzib Al Aklaq wa Tathhir A`raq, (Kairo: Muassasat AlKhaniji, 1967), hlm. 9. Dapat juga dilihat pada  http://www.alwarraq.com. Dalam google.com. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2009.
[17]Ibn Miskawaih, Tazhib al Akhlaq, hlm. 10. Lihat juga  Hamid Reza Alavi, “Ethical views of Ibn miskawayh and Aquinas” dalam http://www.academicjournals.org/PPR. Diakses tanggal  10 Nopember 2009.
[18]Ibid., hlm. 1. Artinya “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)” maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Q. S. Al Syams: 7-8)
[19]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 62.
[20]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, hlm. 133.
[21]A. Mustofa, Filsafat Islam., hlm. 178. dan Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, hlm. 131. Terdapat perbedaan antara `Aql Fa`al (akal aktif) yang memancarkan antara al Farabi dan Miskawaih. Menurut Miskawaih `Aql Fa`al  merupakan entitas yang pertama yang memancarkan dari Allah swt, sedangkan bagai al Farabi  akal yang pertama dan `Aql Fa`al  adalah akal yang kesepuluh. Dengan kata lain Allah swt. menjadikan alam semesta ini secara pancaran dari tiada menjadi ada, sedangkan al Farabi Allah swt. Menjadikan alam secara pancaran  dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
[22]Ibn Miskawaih, Tahzib al Akhlaq..,hlm. 5
[23]Afifun Nidlom, “Filsafat Akhlak Ibn Miskawaih”, http; //www kajiislam. worpress .com. Diakses tanggal 10 November 2009.

[24]Saleh Partaonan Daulay, “Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Ibnu Maskawaih”, dalam Jurnal TA`DIB, Vol. VII, No. 2., Edisi Nopember 2003. hal. 103.
[25]Ibid., hlm. 104.
[26]Afifun Nidlom, “Filsafat Akhlak Ibn Miskawaih”, http; //www kajiislam. worpress .com. Diakses tanggal 10 November 2009.
[27] Ibn Miskawaih, Tahzib al Akhlak..., hlm. 7.
[28]Selanjutnya lihat Afifun Nidlom, “Filsafat Akhlak Ibn Miskawaih”, dalam http;//www.kajiislam.worpress.com. Diakses tanggal 10 November 2009.
[29] Ibn Miskawaih, Tahzib al Akhlaq, hlm. 25.
[30] Ibn Miskawaih, Tahzib al Akhlaq, hlm. 25. lihat juga Saleh Partaonan Daulay, “Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Ibnu Maskawaih”, dalam Jurnal TA`DIB, hlm. 105
[31] Ibid., hlm. 106.

1 komentar: