PEMIKIRAN IBN MISKAWAIH
TENTANG ETIKA ISLAM
DAN RELEVANSINYA BAGI RESOLUSI KONFLIK
Wira Hadi Kusuma
Jurusan Ushuluddin
STAIN Bengkulu
Alamat : Jl. Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu
Email : wirahadikusumakusuma@yahoo.com
A.
Pendahuluan
Agama (religion)
satu sisi dapat memberikan kontribusi dalam perdamaian, karena agama setidaknya mampu menjadi upaya peace
building, serta menjadi tawaran (suggestions), bahwa agama menjadi
kekuatan dalam berperan sebagai pencegah konflik (conflict prevention),
peringan atau kelonggaran ketegangan konflik (mitigation) dan sekaligus
sebagai resolusi (resolution) atau peacemaking and post-conflict
peacebuilding,[1]
tetapi dilain pihak agama dapat menjadi pemicu konflik. Seperti yang
dikemukakan Bikhu Parekh bahwa agama acapkali dalam prakteknya bersifat absolutist,
self-righteous, arrogant, dogmatic and impatient of compromise.[2]
Kenyatan ini dapat
terlihat beberapa kejadian yang terjadi di belahan dunia, termasuk di tanah air
Indonesia yaitu aksi kekerasan (violence action) yang dilakukan oleh
kelompok tertentu melakukan bom bunuh diri atau sekarang lebih dikenal dengan
terorisme. Perbedaan agama atau pemahaman ajaran agama telah menyulut beberapa
konflik bahkan peperangan antaragama atau internagama yang paling brutal dalam
sejarah manusia.[3]
Acapkali perbedaan-perbedaan kecil
dalam hal ajaran agama melepaskan kuda-kuda perang (war) dan membenarkan
pembantaian manusia secara masal, yang ironisnya atas nama Tuhan dan panggilan
suci agama.[4]
Di antara pemicu mendasar aksi kekerasan (violence action) adalah
masing-masing pemeluk agama memiliki kecendrungan pemahaman ke arah exclusivism
dan intolerance.[5] Dengan
demikian sebenarnya bukanlah kesalahan ajaran agama itu sendiri, namun lebih
diakibatkan oleh human error, yakni sikap sebagian pemeluknya yang
kadangkala menafsirkan ajaran teologis-normatif secara serampangan.[6]
Berkaitan dengan hal di atas, pembahasan yang
menarik adalah bagaimana Islam memandang kelompok lain dalam hal ini yang
dipelopori oleh Ibn Miskawaih (bapak etika). Abad kesepuluh masehi menjadi
periode gemilang dalam perkembangan peradaban Islam.[7] Pada
masa itu, para intelektual Muslim telah sampai pada puncak kematangan pemikiran
dan berbagai ide. Bahkan beragam ide yang berasal dari tradisi intelektual di
luar Islam, khususnya filsafat Yunani. Apalagi kala itu, pada saat Dinasti
Abasiyyah berkuasa, gencar melakukan translasi atau penerjemahaan karya-karya
dari berbagai bidang ilmu ke dalam bahasa Arab. Sehingga banyak Dâr al-`Ilm (semacam
perpustakaan umum) didirikan.[8]
Bukan hanya di pusat pemerintahan,
Baghdad, tetapi juga di Kairo, Kordoba, dan di belahan dunia Islam lainnya. Tak
hanya perpustakaan umum yang tumbuh bak cendawan di musim hujan, perpustakaan
pribadi juga banyak bermunculan. Mudahnya akses ke berbagai pengetahuan ini tak
heran membuat banyak kalangan yang membuat majelis kajian untuk berdiskusi
mengenai hal ihwal agama, filsafat maupun bidang lainnya.
Pada masa seperti inilah kemudian
muncul seorang intelektual Muslim terkemuka dalam bidang etika yaitu Ibn
Miskawaih yang masa hidupnya dia habiskan di tanah kelahirannya. Kemudian Ibn
Miskawaih meninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad, Irak. Ia bekerja
sebagai pustakawan di perpustakaan umum pada masa pemerintah dinasti
Abbasiyyah. Ia bekerja di
sana hingga beberapa kali pergantian kekuasaan terjadi. Perpustakaan bagi
dirinya merupakan sekolah yang membuatnya mampu berinteraksi dengan berbagai
ilmu pengetahuan.
Ia secara
tekun dan serius melakukan kajian di bidang filsafat, sejarah dan kedokteran,
bahkan kimia. filsafat dan sejarah sebagai alat untuk menemukan kebanaran.
Namun, ia lebih memberi tekanan kepada kajian filsafat terutama filsafat etika.
Ia merumuskan langkah bagaimana membangun moral yang sehat serta menguraikan
cara-cara membangun jiwa yang harmonis. Di kemudian hari ia lebih dikenal
sebagai seorang Islam humanis. Pasalnya ia memiliki kecenderungan agar Islam
dapat masuk ke dalam sistem praktik rasional yang lebih luas pada semua ranah
kemanusiaan.
Dari uraian
di atas, dengan jelas dapat diketahui bahwa Ibn Miskawaih adalah seorang
filosuf terkemuka, yang telah berjasa terutama meletakkan dasar filsafat etika
pada generasi penerus. Hal ini dapat terlihat bagaimana pandangannya tentang
manusia dan teori evolusi Darwin.[9] Pada makalah ini akan
membahas tentang etika Islam menurut Ibn Miskawaih dengan rujukan buku utama
yang ditulisnya berjudul Tahzib al akhlaq (Pendidikan Akhlak). Ada yang
menyebutnya Ibn Miskawaih atau Maskawaih, tetapi pada makalah ini akan
menggunakan sebutan Ibn Miskawaih.
B.
Biografi
Singkat dan Karya-karyanya
Nama lengkap Ibn Miskawaih adalah Abû
Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih. Ia lahir di Rayy di dekat kota Teheran pada tahun
320 H/932 M dan wafat pada usia lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421
H/16 Pebruari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti
Buwaihi (320-450 H./932-1062 M.) yang sebagian besar pemukanya bermazhab
Syi’ah.[10]
Ibn Miskawaih memiliki keahlian dalam
berbagai bidang ilmu. Ia dikenal sebagai sejarawan besar yang melebihi
pendahulunya, at-Thabari (W. 310 H/923 M). Juga dikenal sebagai dokter, penyair
dan ahli bahasa. Keahliannya itu dibuktikan dengan karya tulisnya berupa 41
buah buku dan artikel dalam bidang tertentu namun selalu berkaitan dengan
filsafat akhlak.
Dari 41 karyanya itu, 18 buah
dinyatakan hilang, 8 buah masih berupa manuskrip, dan 15 buah sudah dicetak.
Dari 15 naskah yang sudah dicetak hanya ditemukan 9 judul, yaitu Tahdzib
al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, Kitab al-Sa’adat, al-Hikmat al-Khalidat, Kitab
al-Fauz al-Ashghar, Maqalat fi al-Nafs wa al-Aql, Risalat fi al-Ladzdzat wa
al-Âlam, Risalat fi Mahiyyat al-‘Adl, Kitab al-Aql wa Al-Ma’qul, dan Washiyyat
Ibn Miskawaih.[11]
Dari segi
latar belakang pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang rinci. Namun
dijumpai keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadli, mempelajari filsafat dari Ibnu al-Akhmar dan
mempelajari kimia dari Abu Thayyib. Dalam bidang pekerjaan, tercatat bahwa
pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan dan
pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi. Disamping akrab dengan para
penguasa, ia juga banyak bergaul dengan para ilmuan seperti Abu Hayyan
at-Tauhidi, Yahya ibn ’Adi dan Ibnu Sina.
Ibn
Miskawaiah selain dikenal sebagai pemikir (filosuf), ia juga sebagai penulis
produktif. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy seperti yang
dikutip oleh Sirajuddin Zar disebtukan beberapa tulisannya sebagai berikut:
a.
Al Fauz
al Akbar
b.
Al Fauz
al Asghar
c.
Tajarib
al Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang
ia tulis pada tahun 369 H/979 M)
d.
Uns al
Farid (Koleksi anekdot, syair, pribahasa, dan
kata-kata hikmah)
e. Tartib al Sa`adat (tentang akhlak dan politik)
f.
Al
Mustaufa (tentang syair-syair pilihan)
g. Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
h.
Al
Jami`
i.
Al
Siyab
j.
Kitab
al Ashribah
k.
Tahzib
al Aklaq
l.
Risalat fi al Lazzat wa al Alam fi Jauhar al Nafs
m.
Ajwibat
wa As`ilat fi al Nafs wa al `Alaq
Ibn
Miskawaih selain dikenal sebagai bapak etika Islam, Miskawaih juga dikenal
sebagai seorang guru ketiga (al Mu`allim al Tsalits), setelah al Farabi,
yang digelar sebagai guru kedua (al Mu`allim al Tsani). Sedangkan yang
dipandang sebagai guru pertama (al Mu`allim al Awwal) adalah
Aristoteles.[13]
Adapun situasi
sosial politik pada masa Ibn Miskawaih. Ibn Miskawaih hidup pada masa Dinasti
Buwaihi dari rangkaian kekhilafahan Abasiyah yang situasi sosial politiknya
tergambar sebagai berikut. Pada periode 945-967 M merupakan masa kejayaan dan
kemapanan. Dari tahun 967-1012 terjadi masa stagnasi dan kefakuman karena
adanya perebutan kekuasaan sesama keluarga. Dalam periode 1012-1055 M Dinasti
Buwaihi memasuki fase kemunduran dan kehacuran.[14]
Sedangkan
situasi perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Ibn Miskawaih yaitu Dinasti
Buwaihi sebagai rangkaian dari kekhilafahan Abasiyah mencurahkan perhatian
besar terhadap ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa ini muncul
ilmuwan-ilmuwan besar seperti Istakhari; ahli ilmu bumi, Nasawi; ahli
matematika, Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M), Al-Farghani Abd
al-Rahman al-Shuffi (w. 986 M), Abu al-‘Ala al-Ma’arri (w. 1057 M) dan kelompok
Ihkwan al-Shafa.[15]
C. Etika Islam
Menurut Ibn Maskawaih
Ibnu
Miskawaih dikenal sebagai bapak etika Islam. Ia telah telah merumuskan
dasar-dasar etika di dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlaq (pendidikan budi).
Sementara itu sumber filsafat etika ibnu Miskawaih berasal dari filsafat
Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Dalam
menjelaskan Etika Islam Menurut Ibn Miskawaiah, akan dijelaskan poin-poin
penting yang relevan dengan pembahasan ini.
1. Pengertian Akhlak
(khuluq)
Menurut
Ibnu Miskawaih, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq, الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير
فكر ولا روية ولا رويةyang
berarti keadaan jiwa yang mengajak atau mendorong seseorang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya.[16] Hal yang senada di kemukakan oleh Aristoteles bahwa watak seseorang sangat
mungkin dapat berubah.
Dengan kata
lain akhlak adalah keadaaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan
secara spontan. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini terbagi menjadi dua;
ada yang berasal dari watak (bawaan) atau fitrah sejak kecil dan ada pula yang
berasal dari kebiasaan latihan.[17]
Dengan demikian yang dapat mendorong perbuatan manusia secara
spontan selain sebagai fitrah (naluria) manusia sejak kecil, juga dapat
dilakukan melalui kebiasaan latihan dan proses pendidikan sehingga
perbuatan-perbuatan itu menjadi baik. Dari defenisi di atas jelaslah bahwa Ibn
Miskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan bahwa akhlak
atau moralitas manusia berasal dari watak dan tidak mungkin dapat berubah. Ia
menegaskannya bahwa kemungkinan perubahan akhlak dan moralitas itu selalu terbuka
lebar terutama bila dilakukan melalui pendidikan (tarbiyyah). Hal ini
juga terlihat dari gambaran awal dari pendahuluan buku Tazhib al Akhlaq Ibn
miskawaih mengutip sebuah ayat al Quran Surat al Syams ayat 7-8.[18]
Mengawali pembahasan tentang akhlak
ini, Ibn Miskawaih membahas atau memberi beberapa perinsip dasar tentang
akhlak, yakni:[19]
ü Tujuan ilmu akhlak adalah membawa manusia
kepada kesempurnaan. Kesempurnaan manusia terletak pada pemikiran dan amal
perbuatan. Yaitu kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan amal. Tugas ilmu akhlak
terbatas pada sisi amal perbuatan saja, yakni meluruskan akhlak dan mewujudkan
kesempurnaan moral seseorang, sehingga tidak ada pertentangan antar berbagai
daya dalam dan semua perbuatannya lahir sesuai dengan daya berpikir.
ü Kelezatan inderawi
hanya sesuai dengan hewan tidak dengan manusia. Bagi manusia kelezatan akali
adalah yang lebih sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
ü Anak-anak harus didik
sesuai dengan akhlak yang mulia, disesuaikan dengan rencananya dengan urutan
daya-daya yang mula-mula lahir padanya. Jadi, dimulai dengan jiwa keinginan,
lalu jiwa marah, dan akhirnya jiwa berpikir. Rencana pendidikan juga dimulai
dengan adab makan, minum, berpakaian (jiwa keinginan), lalu sifat-sifat berani
dan daya tahan (jiwa marah) dan akhirnya sifat bernalar, sehingga akal dapat
mendominasi segala tingkahlaku (jiwa pikir).
2.
Jiwa (Al Nafs)
Memperbincangkan
akhlak, moral atau etika sebagaimana definisi akhlak yang dikemukakan
sebelumnya, sangat terkait dengan jiwa. Menurut Ibn Miskawaih jiwa adalah
jauhar rohani yang kekal dan tidak hancur dengan sebab kematian jasad.[20]
Menurut Ibn
Miskawaih penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah adalah
materi. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi
merupakan sebab adanya tubuh manusia. Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir
yang hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran Tuhan.[21]
Jiwa dan
daya menurut Ibnu Miskawaih dibagi menjadi tiga bagian:
a. Jiwa
rasional (al-nafs an-natiqah) yang memiliki daya pikir, yang disebut
jiwa atau daya raja (mulukiyah), yang merupakan fungsi jiwa tertinggi,
yang memiliki kekuatan berpikir dan melihat fakta dengan alat otak. [22]
b. Jiwa
binatang buas (al-nafs as-sab’iyah) yang memiliki daya marah, yaitu
keberanian menghadapi resiko, ambisi terhadap kekuasaan, kedudukan dan
kehormatan, yang menggunakan alat hati.
c. Jiwa
binatang (al-nafs al-bahimiyah) dengan daya nafsu, yaitu daya hewani
yang mendorong untuk makanan, minuman, kelezatan, seksualitas, dan segala macam
kenikmatan indrawi, dan alat yang digunakan adalah jantung.[23]
Daya
bernafsu dan berani berasal dari unsur materi, sedangkan daya berfikir berasal
dari ruh Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran. Lebih lanjut Ibnu
Miskawaih berpendapat bahwa hubungan jiwa al-bahimiyyah/al-syahwiyyah
(daya bernafsu) dan jiwa al-ghadabiyyah/ls-sabu’iyyah (daya berani)
dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi. Kuat
atau lemahnya, sehat atau sakitnya tubuh berpengaruh terhadap kuat atau
lemahnya dan sakit atau sehatnya kedua macam jiwa tersebut. Oleh karena itu,
kedua macam jiwa ini, dalam melaksanakan fungsinya tidak akan sempurna kalau
tidak menggunakan alat bendawi atau alat badani yang terdapat dalam tubuh
manusia. Jadi manusia terdiri dari dua unsur jasad dan ruhani yang antara satu
sama lainnya saling berhubungan.
Dalam hal
jiwa manusia, yang memiliki tiga daya Ibn Miskawaih memiliki pendapat yang sama
dengan Plato dan Aristoteles. Demikian pula mengenai teori Jalan Tengah (al-wasath),
Ibn Miskawaih berpendapat sama dengan Plato dan Aristoteles yang dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah The Doktrin of The Mean atau The Golden.
Hanya saja dalam pemaparan keempat pokok keutamaan itu Ibn Miskawaih lebih
banyak dipengaruhi oleh Aristoteles. Perbedaan mencolok antara Ibn Miskawaih
dengan Aristoteles terletak ketika membicarakan landasan untuk memperoleh
posisi tengah. Aristoteles hanya menyebut akal sedangkan Ibn Miskawaih menyertakan
syariat di dalamnya.
3. Keutamaan (Al
Fadilah)
Ibn
Miskawaih mendasarkan teori keutamaan moralnya pada posisi al Wasath (pertengahan).
Doktrin jalan ini sebenarnya sudah dikenalkan oleh filosuf sebelumnya, seperti
Mencius, Palto, Aristoteles dan filosuf Muslim Al Kindi. Ibn Miskawaih secara
umum memberikan pengertian “pertengahan” (jalan tengah) tersebut antara lain
dengan berkesinambungan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi ektrem
kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia.
Menurutnya, setiap
sifat keutamaan memililiki dua ekstrem kekurangan, yang tengah adalah terpuji
dan yang ekstrem adalah tercela. Posisi tengah yang dimaksudkana adalah suatu
standar atau perinsip umum yang berlaku bagi manusia. Posisi tengah yang
sebenarnya adalah satu, yakni keutamaan yang disebut garis lurus. Pokok sifat
keutamaan itu terbagi menjadi empat, yaitu hikmah (kebijaksanaan), `Iffah
(kesucian), Syaja`ah (keberanian), `adalah (keadilan),
sedangkan yang jelek ada delapan. Rinciannya adalah nekad, pengecut, rakus,
dingin hati, kelancaran, kedunguan, aniaya, dan teraniaya.[24]
Penjelasan lebih
mendetail dapat diperhatiakan tabel sebagai
berikut:
Ekstrim kekurangan
(Al Tafrith)
|
Posisi Tengah
(Al Wasath)
|
Ekstrim kelebihan
(Al Ifrath)
|
Kedunguan
|
Kebijaksanaan
|
Kelancangan
|
Pengecut
|
Keberanian
|
Nekad
|
Dingin hati
|
Menahan diri
|
Rakus
|
Teraniaya
|
Keadilan
|
Aniaya
|
Ibn
Miskawaih mengakui bahwa posisi tengah sifatnya relatif. Maka alat yang menjadi
ukuran untuk memperolah sikap tengah ini adalah akal dan ajaran agama. Doktirn
jalan tengah ini dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dinamis
dan fleksibel. Jadi dengan doktrin jalan tengah manusia tidak akan kehilangan
arah dalam kondisi apapun.[25]
Setiap keutamaan
tersebut memiliki cabangnya masing-masing. Hikmah atau kebijaksanaan
memiliki tujuh cabang, yaitu ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas,
tangkas, jernih ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar. `Iffah
atau menjaga diri memiliki dua belas cabang, yaitu malu, ketenangan, sabar,
dermawan, kemerdekaan, bersahaja, kecenderungan kepada kebaikan, keteraturan,
menghias diri dengan kebaikan, meninggalkan yang tidak baik, ketenangan, dan
kehati-hatian.[26]
Adapun syaja`ah
atau keberanian berkembang menjadi sembilan cabang, yaitu berjiwa besar,
pantang takut, ketenangan, keuletan, kesabaran, murah hati, menahan diri,
keperkasaan, dan memiliki daya tahan yang kuat atau senang bekerja berat. [27]
Sementara
keadilan (al `Adalah) oleh Ibn Miskawaih dibagi ke dalam tiga macam,
yaitu keadilan alam, keadilan adat istiadat, dan keadilan Tuhan. Selanjutnya
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa posisi jalan tengah tersebut bisa diraih dengan
memadukan fungsi syariat dan filsafat. Syariat berfungsi efektif bagi
terciptanya posisi tengah dalam jiwa bernafsu dan jiwa berani. Sedangkan
filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa berfikir. [28]
Dengan demikian, perinsip keadilan
menjadi renungan dan juga harus dilaksanakan dalam kehidupan yang
sekecil-kecilnya, karena hal ini akan menambah kua;itas hidup seseorang menjadi
manusia yang mampu menggunakan akal cerdas, yang selanjutnya akan selalu
mendapat ridha Allah swt.
Menurut
Miskawaih asas semua keutamaan (al Fadilah) adalah cinta kepada semua
manusia. Manusia tidak akan mencapai kepada tingkat kesempurnaan kecuali dengan
memelihara jenisnya dan menunjukkan pengertian terhadap sesama jenisnya.
Selanjutnya Miskawaih menjelaskan bahwa cinta tersebut tidak akan tampak
bekasnya kecuali jika manusia berada di tengah-tengah masyarakat dan saling
berinteraksi satu sama lain di dalamnya.
Selanjutnya
Miskawaih menjelaskan bahwa seseorang yang mengucilkan diri dari masyarakat, belumlah
dapat dinilai telah memiliki sifat terpuji atau tercela. Penilaian tersebut
baru dapat diberikan hanya kepada seseorang yang telah berkecimpung di tengah
masyarakat. Jadi, sikap uzlah dapat dipandang sebagai sikap yang
mementingkan diri sendiri. Muncul sebuah pertanyaan bagaimana sesuatu
masyarakat yang bobrok dapat diubah menjadi baik bila orang-orang terbaiknya
memencilkan diri tanpa mau meberikan pertolongan kepada perbaikan masyarakat
tersebut. Dari penjelasan tersebut, sifat uzlah dapat dipandang identik
dengan sifat zalim dan bakhil (sifat tercela). Sehingga dapat dikatakan bahwa
konsep akhlak atau moral dalam pandangan Ibn Miskawaih sangat terkait dengan
konteks kehidupan masyarakat.
Kebahagiaan (Al Sa`adah)
Miskawaih
membedakan antara al khair (kebaikan) dan al sa`adah (kebahagiaan).
Menurut Miskawaih al khair adalah suatu keadaan dimana seseorang
sampai pada batas akhir kesempurnaan wujud. [29] Kebaikan adakalanya
bersifat umum dan adakalanya bersifat khusus. Di atas semua kebaikan mutlak
yang identik dengan wujud tertinggi.
Kebaikan bersifat umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam
kedudukannya sebagai manusia, atau dengan kata lain ukuran-ukuran kebaikan yang
disepakati oleh seluruh manusia. Kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang
secara pribadi. Kebaikan yang kedua inilah yang disebut kebahagiaan.[30] Karena itu dapat
dikatakan bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi tiap orang bergantung pada
bagaimana orang-orang yang berusaha memperolehnya.
Ada dua
pandangan pokok tentang kebahagiaan (sa`adah). Yang pertama diwakili
oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih
berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua
dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di
dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja, kebahagiaan
berbeda menurut masing-masing orang seperti orang miskin memandang kebahagiaan
itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Ibnu
Miskawaih mencoba mengompromikan kedua pandangan yang
berlawanan itu. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa
dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih
rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan
jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan,
serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwa
merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju
berderajat malaikat.
Cinta (Mahabbah)
Miskawaih menekankan betapa pentingnya mengembangkan cinta dalam
kehidupan bermasyarakat. Sehingga Miskawaih menjadikan cinta sebagai salah satu
unsur etika. Ia membagi cinta menjadi dua: cinta suci dan cinta hewani. Cinta
suci dikelompokkan menjadi dua bentuk yaitu cinta manusia kepada Allah swt atau
Tuhan, dan manusian kepada manusia, terutama cinta murid kepada guru. Cinta dalam bentuk yang pertama sulit
dicapai oleh manusia biasa. Sedangkan cinta dalam bentuk yang kedua disamakan
juga dengan cinta anak kepada orang tua. Kebaikan yang diberikan anak kepada
guru atau orang tua merupakan kebaikan ilahiah. Adapun cinta hewani merupakan
bentuk cinta yang bertentangan dengan kedua bentuk sifat suci tersebut.
Perbedaan keduanya terlihat pada objeknya. Objek cinta hewani adalah kesenangan,
sedangkan objek cinta suci adalah kebaikan.[31]
Miskawaih juga menjelaskan tentang persahabatan, secara
umum persabatan adalah perbutan yang suci dan bermanfaat bagi manusia. Orang
yang baik atau cenderung memiliki cinta suci akan bersabat dengan dirinya dan
bersahabat dengan orang lain. Ia tidak memilki musuh. Orang yang bahagai adalah
orang yang mempunyai sahabat dan berusaha agar dirinya bermanfaat bagi
sahabatnya. Miskawaih mengatakan bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan teman
dalam hidupnya, dalam keadaan baik maupun dalam keadaan buruk. Sehingga untuk
mencapai kebahagian ini, maka manusia harus bekerja keras untuk membahagiakan
sahabat-sahabanya.
- Relevansinya Bagi Resolusi Konflik
Uraian di
atas, dapat memberikan gambaran
bagaimana etika menurut Ibn Miskawaih. Baik etika kepada diri sendiri, kepada
Allah dan kepada sesama manusia. Dalam relasi etika Islam dalam pandangan Ibn
Miskawaih dengan resolusi konflik dapat
dilihat dari beberapa segi, antara lain:
Pertama,
berangkat dari definisi moral, etika atau akhlak yang dijelaskan Ibn Miskawaih yaitu kondisi jiwa yang mendorong
seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dipikirkan sebelumnya.
Selanjutnya akhlak atau moral seseorang sangat mungkin dapat berubah melalui
pendidikan dan latihan-latihan. Dari pengertian dapat ditarik kesimpulan dam
hubungannya dengan reolusi konflik, misalnya ada anggapan watak orang pemarah
tidak akan berubah dan akan tetap kekal menjadi akhlaknya, sehingga sulit
dicari solusi penyelesaiannya. Anggapan tesebut terbantahkan dan ternyata
akhlak tersebut dapat diubah melalui proses pendidikan dan latihan. Relasinya
dengan resolusi konflik adalah sebesar apapun potensi konflik yang ada dalam
masyarakat dapat dicegah (preventif) dengan proses pendidikan dan
latihan. Akhirnya manusia dengan
dorongan tersebut yang menginternal menjadi pribadi menjadi semakin cerdas
dalam menangani atau memanajemen konflik.
Dalam
konteks riil sekarang ini, asumsi yang mengatakan bahwa watak kepolisian yang
membabi buta, atau dengan kata lain watak penyidik tetapi bermain
(suap-menyuap) dalam menangangi kasus dapat terbantahkan atau dapat berubah
menjadi lebih baik apabila semua pihak kepolisian secara sadar dan ingin secara
terus menerus melakukan latihan untuk menghapuskan budaya tebang-pilih dapat
menyidik berbagai kasus di tanah air tercinta ini.
Kedua, konsep
keutamaan etika atau moral “jalan tengah” atau al Wasath. Hal ini
penting untuk dijadikan kajian dalam ranah resolusi konflik, baik konflik dalam
skala kecil yaitu konflik individu maupun konflik dalam skala luas yang
melibatkan orang lain. Konsep ini relevan dalam proses penyelesaian konflik,
terutama posisi seseorang sebagai mediator, negisiator, arbiter dan sejenisnya.
Dari konsep ini posisi mediator misalnya, memiliki peranan penting untuk
berlaku adil, bijaksana, berani dan menjaga diri. Adil dalam pengertian tidak
berat sebelah antara pihak yang berperkara. Dan begitu seterusnya dengan
bijaksana, menahan diri dan berani. Seperti yang dijelaskan oleh Miskawaih
bahwa konsep jalan tengah bersifat fleksibel, sehingga dalam konteks
penyelesaian konflik dibutuhkan sifat ini. Dengan kata lain, sifat jalan tengah
ini dapat menyesuaikan dengan konteks masalah yang dihadapi dan manusia yang
sedang bertikai.
Kasus Bank
Century dan Konflik antara KPK dan Kepolisian merupakan kasus yang memalukan dan memilukan. Hal ini
terjadi karena banyak pihak yang terlibat terutama para penegak hukum menjadi
pelanggar hukum atau dengan kata lain tidak bersifat objektif dalam memberikan
solusi terhadap kasus yang dihadapi. Misalnya Susno Duaji melakukan sumpah dan
juga anggota KPK melakukan hal yang sama, yang menyatakan tidak melakukan
hal-hal yang melanggar hukum. Tetapi dalam kenyataannya sumpah tersebut adalah
sumpah palsu?Bagaimana hal ini disikapi dalam pandangan Ibn Miskawaih. Menurut
penulis adalah penting untuk melakukan bimbingan yang kontinyu terhadap aparat
penegak hukum akan pentingnya perinsip-perinsip keadilan dan kejujuran,
sehingga secara perlahan akan merubah padigma dan kebiasaan buruk yang pernah
dilkukan para pendahulunya.
Ketiga,
konsep kabaikan dan kebahagiaan. Bila
ditarik hubungan dengan resolusi konflik bahwa ada titik temu antara konsep
kebaikan yang telah disepakati oleh suatu masyarakat secara umum, misalnya
seseorang akan kecewa apabila di zalimi, sehingga dengan konsep kebaikannya ia
akan menghindari atau berusaha menjauhkan diri dari prilaku-prilaku kezaliman.
Namun demikian, bagi orang yang
menggunakan daya akalnya atau Nafs Nathiq, ia akan tetap bahagia
terhadap kezaliman yang diterimanya. Karena salah satu perinsip orang yang
bahagia adalah tidak memiliki musuh atau dengan kata lain ia akan selalu
bersahabat kepada siapapun dan berusaha untuk meberikan manfaat bagi mereka.
Keempat, konsep
mahabbah yang dijelaskan Miskawaih juga menjadi penting untuk renungan,
karena pada dasarnya potensi cinta suci yang dimiliki manusia lebih dominan
dari pada potensi cinta hewani. Namun realitasnya banyak manusia yang lebih
mengagungkan dan mengembangkan potensi cinta hewani, sehingga yang menjadi
objeknya adalah kesenangan. Tetapi apabila manusia mampu mengembangkan potensi
cinta suci, baik cinta kepada Allah maupun kepada sesama manusia dengan baik,
maka ia akan memperoleh kebahagiaan. Adapun yang menjadi objeknya adalah
kebaikan. Relasinya dengan resolusi konflik dapat dilihat dalam aplikasinya,
yaitu sebagai mediator misalnya dapat mengetahui aspek psikologis dan jenis
cinta yang dikembangkan seseorang dalam penyelesaiaan konflik, serta mencari
metode yang tepat agar dapat meresolusi terhadap masalah yang ada.
- Penutup
Konsep akhlak yang dikembangkan Ibn
Miskawaih lebih dekat bila dikatakan sebagai etika religius-filosofis, karena
pemikirannnya yang diutarkannya selalu didasarkan atas tuntunan ajaran agama.
Sehingga tidak jarang apabila dalam tulisanya ditemukan berbagai ayat al
Quran dan Hadits sebagai pendukung argumentasinya. Sementara itu, ia juga
mengambil pemikiran-pemikiran para filosuf sebelumnya, terutama filsafat
Aristoteles. Namun selanjutnya, menjadi lebih khas tulisan-tulisannya adalah ia
memadukan antara hasil kerja filosuf dan ajaran syariat Islam.
Dalam kaitannya dengan resolusi
konflik, etika menurut Ibn Miskawaih ini menjadi penting untuk di ajarkan
kepada masyarakat. Karena secara potensial manusia telah memiliki daya-daya
yang telah Allah pancarkan kepada mereka, sehingga pancaran-pancaran dapat
bercahaya dapat dilakukan melalui proses pendidikan dan latihan-latihan.
Sehingga upaya pemanfaat al Nafs Nathiq dapat berjalan maksimal, atau
paling tidak dapat menyeimbangkan antara al Nafs al Bahimiyyah, al Nafs
Sabu`iyaah dan al Nafs Nathiq, selanjutnya dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Ar Rahman Badawi, A History of Muslim Philosophy, Weisbaden:
Otto Herrossowittz, 1997
Afifun Nidlom, “Filsafat Akhlak Ibn Miskawaih”, http; //www kajiislam. worpress .com. Diakses
tanggal 10 November 2009.
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1992.
Ahmad Norma Permata, Agama dan Terorisme, Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2006.
Amin Abdullah, “Agama dan Resolusi Konflik” makalah yang
disampaikan dalam kegiatan seminar nasional yang bertema “Revitalisasi Agama
Untuk Resolusi Konflik Di Indonesia” yang bekerjama dengan pemerintah daerah
Propinsi Gorontalo, dalam rangka mensyukuri kelahiran Pasca Sarjana UIN Sunan
Kalijaga ke-25 di Hotel Saphir Yogyakarta, 14 Maret 2008.
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Merenda Dialektika Idealita
dan Realita Hubungan Antar Agama. Yogyakarta : LKiS, 2004, cet. I.
Bhikhu Parekh, Politics, Religion & Free
Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory.
Cambridge, Massachutts: Harvard University Press, 2002.
Depag RI, Alquran Terjemah, Jakarta: Syamil Press,
2007.
Farid Nu`man, “Ibn Miskawaih Bapak Etika Islam”, http ://
darululum. Blogspot .com/2006/12/ibn-maskawaih-bapak-etika-islam-.html. Diakses
tanggal 5 November 2009.
Hamid Reza Alavi, “Ethical views of Ibn miskawayh and
Aquinas” dalam http://www.academicjournals.org/PPR.
Diakses tanggal 10 Nopember 2009.
Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 1999.
Ibn Miskawaih, Tahzib Al Aklaq wa Tahhir al A`raq, Kairo: Muassasat AlKhaniji, 1967 juga dapat dilihat http://www.alwarraq.com.
Dalam google.com. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2009.
Judy Carter and Gordon
S. Smith, Religious Peacebuilding: From Potential to Action,
within Harold Coward and Gordon S. Smith (Eds), Religion and Peace Building.
Albany: State University on New York Press, 2004.
Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 23, Al Maktabah Asy
Syamilah.
Karen Amstrong, Islam:
A Short History, terje Ira Puspito Rini, Surabaya: Ikon Tealitera, 2004.
Mustofa, Filsafat Islam Untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah,
dan Ushuludin Komponen MKDK, Bandung: Pustka Setia, 1997.
Rodney Stark, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu,
terj. M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2009.
Saleh Partaonan Daulay, “Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif
Ibnu Maskawaih”, dalam Jurnal TA`DIB, Vol. VII, No. 2., Edisi Nopember
2003.
Syarif MM, Para Filosof Muslim, Bandung:
Mizan, 1998.
Thoha Hamim, dkk, Resolusi Konflik
Islam Indonesia, Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2007.
Yusuf Musa, Filsafat Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1993.
[1]Judy Carter and Gordon S.
Smith, Religious Peacebuilding: From Potential to Action, within Harold
Coward and Gordon S. Smith (Eds), Religion and Peace Building (Albany:
State University on New York Press, 2004), hlm. 279.
[2]Bhikhu Parekh, Politics, Religion & Free
Speech in Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge,
Massachutts: Harvard University Press, 2002), hlm. 330.
[3]Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Merenda Dialektika Idealita
dan Realita Hubungan Antar Agama (Yogyakarta : LKiS, 2004, cet. I), hlm. 2.
Perbedaan itu sendiri ada secara alami
karena terbentuk oleh belief, pandangan hidup atau wolrd view. Keyakinan
lebih-lebih yang dogmatis-ideologis, dibentuk oleh kepentingan kepentingan
untuk mempertahankan diri atau kelompok (survival for the fittest).
Lihat Amin Abdullah, “Agama dan Resolusi Konflik” makalah yang disampaikan
dalam kegiatan seminar nasional yang bertema “Revitalisasi Agama Untuk Resolusi
Konflik Di Indonesia” yang bekerjama dengan pemerintah daerah Propinsi
Gorontalo, dalam rangka mensyukuri kelahiran Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga
ke-25 di Hotel Saphir Yogyakarta, 14 Maret 2008.
[4]Rodney Stark, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu,
terj. M. Sadat Ismail, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), hlm. 169.
[5]Ahmad Norma Permata, Agama dan Terorisme (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2006), hlm. 69.
[6]Thoha Hamim, dkk, Resolusi Konflik Islam Indonesia (Yogyakarta:
LKiS Pelangi Aksara, 2007), hlm. v.
[7]Karen Amstrong, Islam: A
Short History, terj Ira Puspito Rini (Surabaya: Ikon Tealitera, 2004, cet.
IV), hlm. 97.
[8]Abd. Ar Rahman Badawi, A History of Muslim Philosophy (Weisbaden:
Otto Herrossowittz, 1997), hlm. 54. Lihat juga Syarif MM, Para Filosof
Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 84.
[9]Dalam buku tersebut, Charles Darwin telah menyatakan bahawa manusia
berkembang secara evolusi daripada spesies hidupan yang paling ringkas kepada
yang kompleks.Perkembangan itu berlaku secara perlahan-lahan dan mengambil masa
yang lama. Hasil daripada kajian dan pemerhatiannya terhadap pelbagai spesies
hidupan dan fosil di beberapa buah benua, beliau akhirnya membuat keputusan
bahawa manusia sebenarnya berasal daripada beruk melalui proses evolusi. Teori
evolusinya telah menjadi kontroversi dan mendapat tentangan daripada pihak gereja
kerana dia menafikan peranan Tuhan dalam menjadikan kehidupan di muka bumi ini.
[10]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 127.
[11]Lihat Farid Nu`man, “Ibn
Miskawaih Bapak Etika Islam”, http :// darululum. Blogspot
.com/2006/12/ibn-maskawaih-bapak-etika-islam-.html. Diakses tanggal 5
November 2009.
[12]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf
dan Filsafatnya, hlm.
128-129. dapat juga dilihat dalam buku aslinya yang ditulis Abd. Ar Rahman Badawi, A History of Muslim Philosophy, (Weisbaden:
Otto Herrossowittz, 1997)
[13]A. Mustofa, Filsafat Islam Untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, dan
Ushuludin Komponen MKDK, (Bandung: Pustka Setia, 1997), hlm. 176.
[14]Yusuf Musa, Filsafat Islam, (Jakarta: gaya Media Pratama,
1993), hlm 23.
[15] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1999),
hlm 53.
[16]Ibn Miskawaih, Tahzib Al Aklaq wa Tathhir A`raq, (Kairo:
Muassasat AlKhaniji, 1967), hlm. 9. Dapat juga dilihat pada http://www.alwarraq.com.
Dalam google.com. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2009.
[17]Ibn Miskawaih, Tazhib al Akhlaq, hlm. 10.
Lihat juga Hamid Reza Alavi, “Ethical
views of Ibn miskawayh and Aquinas” dalam http://www.academicjournals.org/PPR.
Diakses tanggal 10 Nopember 2009.
[18]Ibid., hlm. 1. Artinya “dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)” maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Q. S.
Al Syams: 7-8)
[19]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), hlm. 62.
[20]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, hlm.
133.
[21]A. Mustofa, Filsafat Islam., hlm. 178. dan Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosuf dan Filsafatnya, hlm. 131. Terdapat perbedaan antara `Aql
Fa`al (akal aktif) yang memancarkan antara al Farabi dan Miskawaih. Menurut
Miskawaih `Aql Fa`al merupakan entitas
yang pertama yang memancarkan dari Allah swt, sedangkan bagai al Farabi akal yang pertama dan `Aql Fa`al adalah akal yang kesepuluh. Dengan kata lain
Allah swt. menjadikan alam semesta ini secara pancaran dari tiada menjadi ada,
sedangkan al Farabi Allah swt. Menjadikan alam secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada
menjadi ada.
[22]Ibn Miskawaih, Tahzib al Akhlaq..,hlm. 5
[23]Afifun Nidlom, “Filsafat Akhlak Ibn Miskawaih”, http; //www kajiislam. worpress .com.
Diakses tanggal 10 November 2009.
[24]Saleh Partaonan Daulay, “Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Ibnu
Maskawaih”, dalam Jurnal TA`DIB, Vol. VII, No. 2., Edisi Nopember 2003.
hal. 103.
[26]Afifun Nidlom, “Filsafat Akhlak Ibn Miskawaih”, http; //www kajiislam. worpress .com.
Diakses tanggal 10 November 2009.
[27] Ibn Miskawaih, Tahzib al Akhlak..., hlm. 7.
[28]Selanjutnya lihat Afifun Nidlom, “Filsafat
Akhlak Ibn Miskawaih”, dalam http;//www.kajiislam.worpress.com. Diakses tanggal
10 November 2009.
[29] Ibn Miskawaih, Tahzib al Akhlaq, hlm. 25.
[30] Ibn Miskawaih,
Tahzib al Akhlaq, hlm. 25. lihat juga Saleh Partaonan Daulay,
“Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Ibnu Maskawaih”, dalam Jurnal TA`DIB, hlm.
105
[31] Ibid., hlm. 106.
tks
BalasHapus